SASTRA adalah bentuk kegiatan simbolik. Kehadirannya
tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan dengan realitas kehidupan yang
melahirkannya. Sastra menyorongkan renungan di seputar peliknya realitas
kehidupan meski bukan harus merupakan sebuah solusi dari persoalan
eksistensial yang ditampilkan. Ia terkadang hanya memaparkan
gejala-gejala atau simtom-simtom saja (sastra simtomatis).
Karya sastra mengangkat peristiwa atau kejadian di dalam realitas
kehidupan dengan mengabstraksikannya. Dalam konteks ini sastra menjadi
sebuah teks yang informatif karena berbagai kejadian disajikan dalam
sebuah cerita yang inspiratif dalam memahami peristiwa atau kejadian
yang terjadi di masyarakat.
Renungan apa yang disorongkan oleh novel Rimba Kaban sebagai sebuah
karya sastra? Banyak persoalan kegelisahan kemanusiaan termunculkan
sepintas-sepintas di novel ini. Sebagaimana perjalanan manusia dalam
kehidupan sosialnya, perjalanan tokoh Kaban diwarnai banyak persoalan
yang menggelisahkan; persoalan bertahan hidup di kalangan mereka yang
mengalami keterbatasan ekonomi, persoalan di sekitar kehidupan rumah
tangga, keberagamaan, jalan hidup berkesenian vis a vis tuntutan sosial,
dan rupa-rupa persoalan lain. Di antara rupa-rupa persoalan itu,
renungan eksistensial di seputar pendidikan sepertinya adalah yang
dominan dan menjadi tulang punggung pergerakan kehidupan si tokoh novel
sebagai “manusia”.
Di kulit muka buku ini bahkan tertera satu kutipan dialog dari bagian
isi novel yang berbunyi “Ijazah Muallimin ini, Nak, tidak laku….” yang
sepertinya sengaja ditonjolkan untuk memancing pembaca segera memasuki
tulang punggung permenungan yang diusung buku ini. Rimba Kaban memang
bercerita tentang perjalanan kehidupan si tokoh sebagai siswa Madrasah
Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, dimulai dari latar belakang
perjalanan hidupnya sebelum dimasukkan Muallimin dan sampai kepada
masa-masa panjang perjalanan hidupnya setelah lulus dari Muallimin.
Kalimat “Ijazah Muallimin ini, Nak, tidak laku…” menggiring kita untuk
mendiskusikan problem eksistensial di dunia pendidikan kita. Perjalanan
dunia pendidikan kita yang makin berorientasi pada hal-hal yang
formal-eksternal telah menjadikan pendidikan kita sebagai semata
fenomena lifestyle. Pendidikan berubah menjadi gaya hidup, bagian dari
aksesori yang memperindah penampilan seseorang. Yang diperhitungkan dari
seseorang karena pendidikannya adalah bukan soal sejauh mana kedewasaan
intelektual dan emosional mereka, tapi pada faktor-faktor asal sekolah
dan ijazah.
Realitas demikian tercipta karena dunia pendidikan kita dan
kebijakan-kebijakan Pemerintah dalam bidang pendidikan sendiri cenderung
lebih berorientasi kepada hal-hal yang sifatnya formalistik-eksternal,
penampakan, atau sisi kulitnya saja dan kurang tertanamnya orientasi
kepada hal-hal yang sifatnya lebih basis, lebih internal.
Kegelisahan-kegelisahan yang berakar pada moralitas pendidikan kurang
dibicarakan dan direspon oleh insan pendidikan dan Pemerintah.
Yang dikejar oleh pendidikan kita adalah angka kelulusan, predikat
sekolah favorit, dan seterusnya yang berimbas kepada tingginya biaya
pendidikan. Sekolah tidak menjadi ajang pembekalan ilmu dan sikap atau
moralitas orang berilmu, tetapi semata penjejalan obsesi meraih angka
tinggi pada nilai rapor/ijazah dalam pengertiannya yang verbal.
Dunia yang tercipta dalam novel Rimba Kaban menghadirkan suasanya yang
berbeda dari keumuman suasana di dalam dunia pendidikan kita saat ini.
Rimba Kaban menceritakan kehidupan orang-orang yang bersekolah dalam
keadaan tidak yakin ijazah yang nanti mereka terima akan berguna secara
pragmatis, baik itu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi maupun untuk melamar pekerjaan.
Hari-hari Kaban menyusuri “rimba” kehidupan pascakelulusan dari
Muallimin menegaskan bahwa orang bisa hidup tanpa ijazah. Bahkan, seolah
Kaban memang digiring untuk menjalani ketegasan ini. Ketika Kaban lulus
dari Muallimin, ia menolak tawaran Buya untuk menjadi ustaz atau guru
di sebuah sekolah yang sudah dilobi oleh Buya. Kaban menolak dan memilih
jalan hidup berteater.
Perjalanan hidup “tanpa ijazah” memang harus dilalui dengan lebih
banyak duka dibanding suka, tapi spirit petualangan sungguh menakjubkan.
Kaban mondar-mandir dari satu kota ke kota lain, bahkan menyeberang
pulau ke Kalimantan Timur sebagai pekerja seni utamanya teater. Ia
menjual jasa untuk tidak dibilang mengamen dengan keahliannya berteater.
Singkat kata, pada akhirnya Kaban berhasil melalui “rimba” itu. Awal
novel yang merupakan sebuah foreshadowing dan halaman-halaman akhir
novel menampakkan bahwa Kaban adalah orang sukses di antara teman-teman
lain sesama alumni Muallimin. Kaban telah menjadi orang penting di
sebuah perusahaan media massa di Kaltim. Dan kesuksesan ini dilalui
dengan tanpa ijazah formal. Ia sukses bukan oleh ijazah formal Madrasah
Muallimin Muhammadiyah, tapi oleh “pendidikan yang sesungguhnya” yang
dialaminya selama menjadi anak asrama di Muallimin itu.
“Orientasi masa itu sungguh bikin hati mengkeret, menghadapi masa
depan. Tapi sekarang saya merasa beruntung sekali! Anak-anak selalu saya
ajari ‘bahwa pendidikan formal saja tidak cukup. Setinggi apa pun
pendidikan yang kalian tempuh, tetap tak akan berarti apa-apa, jika
kalian tidak terbiasa dalam latihan-latihan pembentukan kepribadian’.”
Latihan-latihan seperti itulah yang telah dia peroleh di Mu’allimin.
Itulah bekal tak terkira, yang diberikan para guru kepadanya….
(halaman 404)
…
“Tapi, setelah tigapuluh tahun, tahulah saya sekarang! Ijazah itu tidak
diberikan guru-guru kami dalam lembaran kertas! Ijazah itu diberikan
guru-guru kami untuk tertanam dalam di sini! Di sini!” suara Kaban
meninggi. Tangan kanannya menepuk-nepuk dada kiri. Terus begitu,
berulang-ulang.
(halaman 412)
Beberapa pendidikan berasrama memang dapat dijadikan contoh dari sistem
pendidikan yang tidak semata “mengejar” ijazah formal. Mereka
menekankan pendidikan kepribadian dan akhlaq mulia. Muallimin pada masa
itu, sebagai sekolah kader Muhammadiyah, termasuk dalam kategori ini.
Untuk saat sekarang, beberapa pesantren salafiyah NU masih tetap tegar
dengan kesahajaannya mendidik anak bangsa untuk menjadi ummat yang
berakhlaq mulia dan berkepribadian tinggi tanpa terlalu risau dengan
angka-angka verbal atau formal. Sebuah tamparan yang keras bagi agenda
pemanusiaan pendidikan kita.
Tentu saja yang juga harus tertampar adalah para pengelola pendidikan
berlabel agama (termasuk Muhammadiyah di dalamnya). Saat ini pendidikan
berlabel agama banyak yang terjebak mengikuti arus glamourisasi
pendidikan. Berlomba-lomba menjadi sekolah favorit atau berebut menjadi
sekolah elit dan memahalkan biaya pendidikan. Mengejar prestasi-prestasi
verbal dan mengesampingkan kesahajaan sikap dan kepribadian.
Mungkinkah pendidikan kita menjadi manusiawi dengan tanpa pemujaan pada sisi formal-material semata? Ah, Kaban