Rimba Kaban, Novel yang Menampar Dunia Pendidikan

Written By Juhernaidi on Rabu, 22 Juni 2011 | 9:03:00 AM

SASTRA adalah bentuk kegiatan simbolik. Kehadirannya tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan dengan realitas kehidupan yang melahirkannya. Sastra menyorongkan renungan di seputar peliknya realitas kehidupan meski bukan harus merupakan sebuah solusi dari persoalan eksistensial yang ditampilkan. Ia terkadang hanya memaparkan gejala-gejala atau simtom-simtom saja (sastra simtomatis).
Karya sastra mengangkat peristiwa atau kejadian di dalam realitas kehidupan dengan mengabstraksikannya. Dalam konteks ini sastra menjadi sebuah teks yang informatif karena berbagai kejadian disajikan dalam sebuah cerita yang inspiratif dalam memahami peristiwa atau kejadian yang terjadi di masyarakat.
Renungan apa yang disorongkan oleh novel Rimba Kaban sebagai sebuah karya sastra? Banyak persoalan kegelisahan kemanusiaan termunculkan sepintas-sepintas di novel ini. Sebagaimana perjalanan manusia dalam kehidupan sosialnya, perjalanan tokoh Kaban diwarnai banyak persoalan yang menggelisahkan; persoalan bertahan hidup di kalangan mereka yang mengalami keterbatasan ekonomi, persoalan di sekitar kehidupan rumah tangga, keberagamaan, jalan hidup berkesenian vis a vis tuntutan sosial, dan rupa-rupa persoalan lain. Di antara rupa-rupa persoalan itu, renungan eksistensial di seputar pendidikan sepertinya adalah yang dominan dan menjadi tulang punggung pergerakan kehidupan si tokoh novel sebagai “manusia”.
Di kulit muka buku ini bahkan tertera satu kutipan dialog dari bagian isi novel yang berbunyi “Ijazah Muallimin ini, Nak, tidak laku….” yang sepertinya sengaja ditonjolkan untuk memancing pembaca segera memasuki tulang punggung permenungan yang diusung buku ini. Rimba Kaban memang bercerita tentang perjalanan kehidupan si tokoh sebagai siswa Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, dimulai dari latar belakang perjalanan hidupnya sebelum dimasukkan Muallimin dan sampai kepada masa-masa panjang perjalanan hidupnya setelah lulus dari Muallimin.
Kalimat “Ijazah Muallimin ini, Nak, tidak laku…” menggiring kita untuk mendiskusikan problem eksistensial di dunia pendidikan kita. Perjalanan dunia pendidikan kita yang makin berorientasi pada hal-hal yang formal-eksternal telah menjadikan pendidikan kita sebagai semata fenomena lifestyle. Pendidikan berubah menjadi gaya hidup, bagian dari aksesori yang memperindah penampilan seseorang. Yang diperhitungkan dari seseorang karena pendidikannya adalah bukan soal sejauh mana kedewasaan intelektual dan emosional mereka, tapi pada faktor-faktor asal sekolah dan ijazah.
Realitas demikian tercipta karena dunia pendidikan kita dan kebijakan-kebijakan Pemerintah dalam bidang pendidikan sendiri cenderung lebih berorientasi kepada hal-hal yang sifatnya formalistik-eksternal, penampakan, atau sisi kulitnya saja dan kurang tertanamnya orientasi kepada hal-hal yang sifatnya lebih basis, lebih internal. Kegelisahan-kegelisahan yang berakar pada moralitas pendidikan kurang dibicarakan dan direspon oleh insan pendidikan dan Pemerintah.
Yang dikejar oleh pendidikan kita adalah angka kelulusan, predikat sekolah favorit, dan seterusnya yang berimbas kepada tingginya biaya pendidikan. Sekolah tidak menjadi ajang pembekalan ilmu dan sikap atau moralitas orang berilmu, tetapi semata penjejalan obsesi meraih angka tinggi pada nilai rapor/ijazah dalam pengertiannya yang verbal.
Dunia yang tercipta dalam novel Rimba Kaban menghadirkan suasanya yang berbeda dari keumuman suasana di dalam dunia pendidikan kita saat ini. Rimba Kaban menceritakan kehidupan orang-orang yang bersekolah dalam keadaan tidak yakin ijazah yang nanti mereka terima akan berguna secara pragmatis, baik itu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi maupun untuk melamar pekerjaan.
Hari-hari Kaban menyusuri “rimba” kehidupan pascakelulusan dari Muallimin menegaskan bahwa orang bisa hidup tanpa ijazah. Bahkan, seolah Kaban memang digiring untuk menjalani ketegasan ini. Ketika Kaban lulus dari Muallimin, ia menolak tawaran Buya untuk menjadi ustaz atau guru di sebuah sekolah yang sudah dilobi oleh Buya. Kaban menolak dan memilih jalan hidup berteater.
Perjalanan hidup “tanpa ijazah” memang harus dilalui dengan lebih banyak duka dibanding suka, tapi spirit petualangan sungguh menakjubkan. Kaban mondar-mandir dari satu kota ke kota lain, bahkan menyeberang pulau ke Kalimantan Timur sebagai pekerja seni utamanya teater. Ia menjual jasa untuk tidak dibilang mengamen dengan keahliannya berteater.
Singkat kata, pada akhirnya Kaban berhasil melalui “rimba” itu. Awal novel yang merupakan sebuah foreshadowing dan halaman-halaman akhir novel menampakkan bahwa Kaban adalah orang sukses di antara teman-teman lain sesama alumni Muallimin. Kaban telah menjadi orang penting di sebuah perusahaan media massa di Kaltim. Dan kesuksesan ini dilalui dengan tanpa ijazah formal. Ia sukses bukan oleh ijazah formal Madrasah Muallimin Muhammadiyah, tapi oleh “pendidikan yang sesungguhnya” yang dialaminya selama menjadi anak asrama di Muallimin itu.

“Orientasi masa itu sungguh bikin hati mengkeret, menghadapi masa depan. Tapi sekarang saya merasa beruntung sekali! Anak-anak selalu saya ajari ‘bahwa pendidikan formal saja tidak cukup. Setinggi apa pun pendidikan yang kalian tempuh, tetap tak akan berarti apa-apa, jika kalian tidak terbiasa dalam latihan-latihan pembentukan kepribadian’.”
Latihan-latihan seperti itulah yang telah dia peroleh di Mu’allimin. Itulah bekal tak terkira, yang diberikan para guru kepadanya….
(halaman 404)
“Tapi, setelah tigapuluh tahun, tahulah saya sekarang! Ijazah itu tidak diberikan guru-guru kami dalam lembaran kertas! Ijazah itu diberikan guru-guru kami untuk tertanam dalam di sini! Di sini!” suara Kaban meninggi. Tangan kanannya menepuk-nepuk dada kiri. Terus begitu, berulang-ulang.
(halaman 412)

Beberapa pendidikan berasrama memang dapat dijadikan contoh dari sistem pendidikan yang tidak semata “mengejar” ijazah formal. Mereka menekankan pendidikan kepribadian dan akhlaq mulia. Muallimin pada masa itu, sebagai sekolah kader Muhammadiyah, termasuk dalam kategori ini. Untuk saat sekarang, beberapa pesantren salafiyah NU masih tetap tegar dengan kesahajaannya mendidik anak bangsa untuk menjadi ummat yang berakhlaq mulia dan berkepribadian tinggi tanpa terlalu risau dengan angka-angka verbal atau formal. Sebuah tamparan yang keras bagi agenda pemanusiaan pendidikan kita.
Tentu saja yang juga harus tertampar adalah para pengelola pendidikan berlabel agama (termasuk Muhammadiyah di dalamnya). Saat ini pendidikan berlabel agama banyak yang terjebak mengikuti arus glamourisasi pendidikan. Berlomba-lomba menjadi sekolah favorit atau berebut menjadi sekolah elit dan memahalkan biaya pendidikan. Mengejar prestasi-prestasi verbal dan mengesampingkan kesahajaan sikap dan kepribadian.
Mungkinkah pendidikan kita menjadi manusiawi dengan tanpa pemujaan pada sisi formal-material semata? Ah, Kaban

Simulasi Jangka Sorong