Bimbingan Belajar, (Bukti) Gagalnya Pendidikan

Written By Juhernaidi on Rabu, 22 Juni 2011 | 8:58:00 AM

Kegagalan pendidikan formal (baca: sekolah) untuk mencetak manusia cerdas menambah segudang masalah di republik ini. Kegagalan tersebut menjadi bukti menurunnya kepercayaan publik akan tugas yang diemban institusi pendidikan.
Selama ini kita masih percaya bahwa roh ilmu pengetahuan diperoleh dengan belajar melalui sekolah. Ternyata, pernyataan tersebut dapat dibantah karena sekolah tidak dapat diandalkan untuk menjawab tantangan pendidikan itu sendiri. Buktinya, pendidikan banyak melahirkan pengangguran, kemiskinan dan bahkan masalah sosial di masyarakat. Intinya, sekolah tidak bisa dijadikan parameter keberhasilan pendidikan. Tidak salah, ketika kegagalan tersebut banyak dimanfaatkan oleh berbagai lembaga pendidikan non formal untuk membuka bimbingan belajar (Bimbel) guna menampung unek-unek masyarakat soal pendidikan. Kehadiran bimbel semakin diminati publik karena terbongkarnya berbagai persoalan seputar pendidikan seperti, angka ketidaklulusan siswa semakin tinggi, anak yang tidak bisa berhitung dengan cepat dan problema lain turut membumbui hancurnya pendidikan kita. Melihat realita diatas, bimbel menjadi sahabat bagi setiap orang untuk menambah pengetahuan. Selain itu, bimbel juga menawarkan motto yang cukup kreatif, cara belajar cepat untuk menuntaskan semua materi pelajaran tentu menjadi daya tarik orang tua untuk menghendaki kehadiran bimbel tersebut.
Tidak ada manusia yang mau ketinggalan dengan pendidikan. Buktinya kita selalu menghidupkan slogan carilah ilmu sampai ke negeri China. Hadirnya bimbel bisa jadi realita slogan diatas. Salahkah bimbel hadir? Kehadiran bimbel tidak masalah selagi publik percaya kepada sekolah. Tapi,bimbel bukan solusi ketika masyarakat menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan anak kepada bimbingan. Apa yang diajarkan bimbel hanyalah fokus kepada hal-hal tertentu. Dapat dikatakan, kehadiran bimbel hanya momentuman. Pada saat persiapan kenaikan kelas, menjelang Ujian Nasional (UN), dan persiapan memasuki Perguruan Tinggi Negeri (PTN), misalnya. Sedangkan pendidikan budi pekerti, agama tidak didapatkan melalui bimbel. Ketika kedua ilmu ini minus akan lahir manusia terdidik tanpa karakter.
Oleh karena itu, menghasilkan anak yang benar-benar memiliki karakter masih tanggung jawab sekolah. Pemerintah harus mengatasi sifat pesimis publik terhadap intitusi pendidikan. Jika publik pesimis, tentu menambah runyamnya arah pendidikan kita. Rata-rata bimbel mengajarkan mata pelajaran yang dianggap paling susah dipahami anak disekolah. Terus terang kita akui, melalui bimbel akan lahir calon-calon Einstein yang jenius. Kehadiran sang jenius tanpa dibarengi dengan pendidikan karakter akan merusak generasi bangsa. Intinya, bimbingan belum juga jawaban untuk memperbaiki pendidikan. Lebih tepatnya, kehadiran bimbel hanya untuk mengulangi kembali pelajaran sekolah yang belum dikuasai anak secara matang.
Kegagalan sekolah menjadi alat pencetak manusia cerdas jelas peluang besar bagi bimbel untuk melebarkan sayapnya. Setelah membaca situasi dan kondisi maka direalisasikanlah kegiatan pembelajaran yang dianggap mempermudah siswa. Bimbel menawarkan berbagai daya tarik supaya orang tua memasukkan anak bimbingan. Adapun daya tarik tersebut adalah:
Pertama, fasilitas belajar. Bimbel sebelum memulai kegiatannya tentu mempersiapkan diri terlebih dahulu, mulai dari pembangunan gedung, pemenuhan fasilitas, seperti ruangan yang full AC, tempat belajar yang jauh dari keramaian dan cara belajar yang menggunakan carceb (cara cepat belajar). Tentu hal ini merupakan nilai tambah dibandingkan dengan sekolah yang tidak menyediakan fasilitas demikian.
Kedua, tenaga pengajar. Kebanyakan bimbel untuk mencapai tujuannya dengan cara mempersiapkan tenaga pendidik yang profesional. Tenaga professional ini termasuk mereka yang ilmunya masih segar yaitu mahasiswa yang memiliki kualitas tinggi. Bahkan, bimbel menggunakan jasa guru dari sekolah milik pemerintah (Pegawai Negeri Sipil) karena dianggap memiliki nilai jual.
Ketiga, penggunaan bahan ajar. Bimbel tetap berpacu kepada program yang dibuat pemerintah dalam hal ini kurikulum. Namun bimbel cukup menyederhanakan kurikulum tersebut karena kebutuhan tambahan.
Kurangnya Intervensi Pemerintah
Menjamurnya bimbel di berbagai daerah di Indonesia menjadi bukti bahwa sistem pendidikan yang selama ini dipersiapkan mengalami kegagalan. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang dilakukan sekolah. Kehadiran bimbel telah mengalahkan fungsi sekolah sebagai lembaga yang mempersiapkan generasi masa depan. Hal ini menjadi fakta terjadinya penyimpangan terhadap Pembukaan UUD 1945. Tujuan negara merdeka adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita lihat negara tetangga, ternyata disana tidak ditemukan bimbel. Jelas, pendidikan di negara tersebut mengalami kemajuan. Artinya, proses belajar mengajar tetap dipercayakan ke sekolah. Berbeda dengan Indonesia, seolah-olah peran sekolah telah diambil alih oleh bimbingan. Buktinya, bimbingan sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat.
Dikhawatirkan, jika publik lebih percaya kepada bimbel daripada sekolah, jelas negara telah gagal melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan kurangnya intervensi pemerintah terhadap pendidikan. Intinya, ketidakpercayaan orang tua terhadap lembaga pendidikan akan menambah persoalan baru bagi pendidikan. Orang tua berharap anaknya berhasil kelak dikemudian hari dengan pendidikan yang tepat guna. Penulis melihat dalam berbagai hal, bimbel telah banyak mengambil peran untuk mempersiapkan anak antara lain, untuk menghadapi UN, untuk masuk PTN orangtua menggunakan bimbingan. Bahkan juga sekolah mengadakan kerja sama dengan bimbingan untuk mempersiapkan siswa lulus UN. Meskipun,Tanggung jawab negara untuk mempersiapkan masa depan siswa telah terabaikan.
Kehadiran bimbel tidak bisa disalahkan, karena keberadaannya sah dibuktikan dengan kepemilikan izin berdiri. Menjadi pertanyaan bagi kita, ternyata banyak bimbingan yang memakai jasa guru dari sekolah. Tindakan ini adalah suatu perbuatan yang menyalahi aturan. Guru harus mengabdi disekolah apalagi setelah adanya sertifikasi. Guru harus bekerja sesuai dengan peraturan ditetapkan pemerintah. Apa boleh buat, slogan peraturan dibuat untuk dilanggar sudah lumrah di negara ini. Lagi-lagi peraturan yang ada belum bisa menjadi jawaban terhadap realita di lapangan. Di lain sisi guru sekolah mengajar di bimbingan tidak bisa disalahkan karena bukti lemahnya tanggung jawab pemerintah dalam mensejahterakan guru. Selagi pemerintah belum memperhatikan kesejahteraan guru, selama itu pula pendidikan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, pemerintah sebagai stake houlder harus bersikap bijak dalam memberikan dukungan terhadap guru. Sertifikasi guru yang dinilai sebagian kalangan untuk meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan guru belum jawaban. Dilapangan masih banyak guru yang tidak bisa mengikuti sertifikasi karena tidak memenuhi syarat.
Kembali ke Konstitusi
Apapun alasannya, pendidikan yang dilaksanakan pemerintah harus benar-benar memanusiakan manusia. Pendidikan yang memerdekakan setiap orang. Kehadiran bimbel sebagai bentuk menurunnya optimis publik terhadap lembaga pendidikan (sekolah). Sedangkan masuknya guru sekolah menjadi pengajar di bimbel merupakan fakta gagalnya pemerintah mensejahterakan pendidik. Padahal mustahil suatu negara maju tanpa pendidikan yang mencerdaskan. Tentu pendidikan menjadi modal utama pembangunan masa depan. Pemerintah harus menjunjung tinggi amanat agung yang tertuang dalam konstitusi.
Dengan jelas ditegaskan bahwa tujuan negara Indonesia merdeka adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945 Alinea 4). Peraturan ini memiliki kekuatan hukum yang harus dijalankan pemerintah. Kita perlu belajar bagaimana pendidikan di negara lain yang benar-benar memanusiakan manusia. Maka pendidikan mutlak dilakukan sekolah. Untuk memegang teguh amanat ini pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan yang sedang berjalan. Mengapa rakyat lebih percaya terhadap kehadiran bimbel daripada sekolah. Lebih parah lagi, jangan sampai orang tua hanya mendapatkan ijazah dari institusi pendidikan, sedangkan menggali pengetahuan anak lebih difokuskan pada bimbel. Hal ini akan merusak tatanan masa depan generasi muda. Kita berharap sekolah masih tetap menjadi alat untuk mencerdaskan semua manusia.
Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan kesejahteraan guru karena hal ini menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan. Guru yang sejahtera akan diikuti dengan pendidikan yang cerah. Jika hal ini terlaksana maka, pendidikan akan kembali ke filosopinya, memanusiakan manusia. Dengan demikian, kehadiran bimbel dapat kita terima sebagai tempat untuk menambah ilmu, bukan akibat dari gagalnya pendidikan yang diselenggarakan pemerintah (negara). Maka ekspektasi publik akan hadirnya generasi intelektual yang berkarakter akan nyata di mata dunia.

Simulasi Jangka Sorong