Kegagalan
pendidikan formal (baca: sekolah) untuk mencetak manusia cerdas
menambah segudang masalah di republik ini. Kegagalan tersebut menjadi
bukti menurunnya kepercayaan publik akan tugas yang diemban institusi
pendidikan.
Selama ini kita masih percaya bahwa roh ilmu
pengetahuan diperoleh dengan belajar melalui sekolah. Ternyata,
pernyataan tersebut dapat dibantah karena sekolah tidak dapat
diandalkan untuk menjawab tantangan pendidikan itu sendiri. Buktinya,
pendidikan banyak melahirkan pengangguran, kemiskinan dan bahkan
masalah sosial di masyarakat. Intinya, sekolah tidak bisa dijadikan
parameter keberhasilan pendidikan. Tidak salah, ketika kegagalan
tersebut banyak dimanfaatkan oleh berbagai lembaga pendidikan non
formal untuk membuka bimbingan belajar (Bimbel) guna menampung unek-unek
masyarakat soal pendidikan. Kehadiran bimbel semakin diminati publik
karena terbongkarnya berbagai persoalan seputar pendidikan seperti,
angka ketidaklulusan siswa semakin tinggi, anak yang tidak bisa
berhitung dengan cepat dan problema lain turut membumbui hancurnya
pendidikan kita. Melihat realita diatas, bimbel menjadi sahabat bagi
setiap orang untuk menambah pengetahuan. Selain itu, bimbel juga
menawarkan motto yang cukup kreatif, cara belajar cepat untuk
menuntaskan semua materi pelajaran tentu menjadi daya tarik orang tua
untuk menghendaki kehadiran bimbel tersebut.
Tidak
ada manusia yang mau ketinggalan dengan pendidikan. Buktinya kita
selalu menghidupkan slogan carilah ilmu sampai ke negeri China. Hadirnya
bimbel bisa jadi realita slogan diatas. Salahkah bimbel hadir?
Kehadiran bimbel tidak masalah selagi publik percaya kepada sekolah.
Tapi,bimbel bukan solusi ketika masyarakat menyerahkan sepenuhnya
tanggung jawab pendidikan anak kepada bimbingan. Apa yang diajarkan
bimbel hanyalah fokus kepada hal-hal tertentu. Dapat dikatakan,
kehadiran bimbel hanya momentuman. Pada saat persiapan kenaikan kelas,
menjelang Ujian Nasional (UN), dan persiapan memasuki Perguruan Tinggi
Negeri (PTN), misalnya. Sedangkan pendidikan budi pekerti, agama tidak
didapatkan melalui bimbel. Ketika kedua ilmu ini minus akan lahir
manusia terdidik tanpa karakter.
Oleh
karena itu, menghasilkan anak yang benar-benar memiliki karakter masih
tanggung jawab sekolah. Pemerintah harus mengatasi sifat pesimis publik
terhadap intitusi pendidikan. Jika publik pesimis, tentu menambah
runyamnya arah pendidikan kita. Rata-rata bimbel mengajarkan mata
pelajaran yang dianggap paling susah dipahami anak disekolah. Terus
terang kita akui, melalui bimbel akan lahir calon-calon Einstein yang
jenius. Kehadiran sang jenius tanpa dibarengi dengan pendidikan karakter
akan merusak generasi bangsa. Intinya, bimbingan belum juga jawaban
untuk memperbaiki pendidikan. Lebih tepatnya, kehadiran bimbel hanya
untuk mengulangi kembali pelajaran sekolah yang belum dikuasai anak
secara matang.
Kegagalan sekolah menjadi
alat pencetak manusia cerdas jelas peluang besar bagi bimbel untuk
melebarkan sayapnya. Setelah membaca situasi dan kondisi maka
direalisasikanlah kegiatan pembelajaran yang dianggap mempermudah siswa.
Bimbel menawarkan berbagai daya tarik supaya orang tua memasukkan anak
bimbingan. Adapun daya tarik tersebut adalah:
Pertama,
fasilitas belajar. Bimbel sebelum memulai kegiatannya tentu
mempersiapkan diri terlebih dahulu, mulai dari pembangunan gedung,
pemenuhan fasilitas, seperti ruangan yang full AC, tempat belajar yang
jauh dari keramaian dan cara belajar yang menggunakan carceb (cara cepat
belajar). Tentu hal ini merupakan nilai tambah dibandingkan dengan
sekolah yang tidak menyediakan fasilitas demikian.
Kedua,
tenaga pengajar. Kebanyakan bimbel untuk mencapai tujuannya dengan cara
mempersiapkan tenaga pendidik yang profesional. Tenaga professional ini
termasuk mereka yang ilmunya masih segar yaitu mahasiswa yang memiliki
kualitas tinggi. Bahkan, bimbel menggunakan jasa guru dari sekolah milik
pemerintah (Pegawai Negeri Sipil) karena dianggap memiliki nilai jual.
Ketiga,
penggunaan bahan ajar. Bimbel tetap berpacu kepada program yang dibuat
pemerintah dalam hal ini kurikulum. Namun bimbel cukup menyederhanakan
kurikulum tersebut karena kebutuhan tambahan.
Kurangnya Intervensi Pemerintah
Menjamurnya
bimbel di berbagai daerah di Indonesia menjadi bukti bahwa sistem
pendidikan yang selama ini dipersiapkan mengalami kegagalan. Pendidikan
yang dimaksud adalah pendidikan yang dilakukan sekolah. Kehadiran bimbel
telah mengalahkan fungsi sekolah sebagai lembaga yang mempersiapkan
generasi masa depan. Hal ini menjadi fakta terjadinya penyimpangan
terhadap Pembukaan UUD 1945. Tujuan negara merdeka adalah untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita lihat negara tetangga, ternyata
disana tidak ditemukan bimbel. Jelas, pendidikan di negara tersebut
mengalami kemajuan. Artinya, proses belajar mengajar tetap dipercayakan
ke sekolah. Berbeda dengan Indonesia, seolah-olah peran sekolah telah
diambil alih oleh bimbingan. Buktinya, bimbingan sudah menjadi kebutuhan
bagi masyarakat.
Dikhawatirkan, jika publik
lebih percaya kepada bimbel daripada sekolah, jelas negara telah gagal
melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan kurangnya intervensi
pemerintah terhadap pendidikan. Intinya, ketidakpercayaan orang tua
terhadap lembaga pendidikan akan menambah persoalan baru bagi
pendidikan. Orang tua berharap anaknya berhasil kelak dikemudian hari
dengan pendidikan yang tepat guna. Penulis melihat dalam berbagai hal,
bimbel telah banyak mengambil peran untuk mempersiapkan anak antara
lain, untuk menghadapi UN, untuk masuk PTN orangtua menggunakan
bimbingan. Bahkan juga sekolah mengadakan kerja sama dengan bimbingan
untuk mempersiapkan siswa lulus UN. Meskipun,Tanggung jawab negara untuk
mempersiapkan masa depan siswa telah terabaikan.
Kehadiran
bimbel tidak bisa disalahkan, karena keberadaannya sah dibuktikan
dengan kepemilikan izin berdiri. Menjadi pertanyaan bagi kita, ternyata
banyak bimbingan yang memakai jasa guru dari sekolah. Tindakan ini
adalah suatu perbuatan yang menyalahi aturan. Guru harus mengabdi
disekolah apalagi setelah adanya sertifikasi. Guru harus bekerja sesuai
dengan peraturan ditetapkan pemerintah. Apa boleh buat, slogan peraturan
dibuat untuk dilanggar sudah lumrah di negara ini. Lagi-lagi peraturan
yang ada belum bisa menjadi jawaban terhadap realita di lapangan. Di
lain sisi guru sekolah mengajar di bimbingan tidak bisa disalahkan
karena bukti lemahnya tanggung jawab pemerintah dalam mensejahterakan
guru. Selagi pemerintah belum memperhatikan kesejahteraan guru, selama
itu pula pendidikan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, pemerintah
sebagai stake houlder harus bersikap bijak dalam memberikan dukungan
terhadap guru. Sertifikasi guru yang dinilai sebagian kalangan untuk
meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan guru belum jawaban. Dilapangan
masih banyak guru yang tidak bisa mengikuti sertifikasi karena tidak
memenuhi syarat.
Kembali ke Konstitusi
Apapun
alasannya, pendidikan yang dilaksanakan pemerintah harus benar-benar
memanusiakan manusia. Pendidikan yang memerdekakan setiap orang.
Kehadiran bimbel sebagai bentuk menurunnya optimis publik terhadap
lembaga pendidikan (sekolah). Sedangkan masuknya guru sekolah menjadi
pengajar di bimbel merupakan fakta gagalnya pemerintah mensejahterakan
pendidik. Padahal mustahil suatu negara maju tanpa pendidikan yang
mencerdaskan. Tentu pendidikan menjadi modal utama pembangunan masa
depan. Pemerintah harus menjunjung tinggi amanat agung yang tertuang
dalam konstitusi.
Dengan jelas ditegaskan
bahwa tujuan negara Indonesia merdeka adalah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945 Alinea 4). Peraturan ini memiliki
kekuatan hukum yang harus dijalankan pemerintah. Kita perlu belajar
bagaimana pendidikan di negara lain yang benar-benar memanusiakan
manusia. Maka pendidikan mutlak dilakukan sekolah. Untuk memegang teguh
amanat ini pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap sistem
pendidikan yang sedang berjalan. Mengapa rakyat lebih percaya terhadap
kehadiran bimbel daripada sekolah. Lebih parah lagi, jangan sampai orang
tua hanya mendapatkan ijazah dari institusi pendidikan, sedangkan
menggali pengetahuan anak lebih difokuskan pada bimbel. Hal ini akan
merusak tatanan masa depan generasi muda. Kita berharap sekolah masih
tetap menjadi alat untuk mencerdaskan semua manusia.
Selain
itu, pemerintah juga harus memperhatikan kesejahteraan guru karena hal
ini menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan.
Guru yang sejahtera akan diikuti dengan pendidikan yang cerah. Jika hal
ini terlaksana maka, pendidikan akan kembali ke filosopinya,
memanusiakan manusia. Dengan demikian, kehadiran bimbel dapat kita
terima sebagai tempat untuk menambah ilmu, bukan akibat dari gagalnya
pendidikan yang diselenggarakan pemerintah (negara). Maka ekspektasi
publik akan hadirnya generasi intelektual yang berkarakter akan nyata di
mata dunia.