Apa Kontribusi Islam Dalam Perkembangan Ilmu Astronomi?

Written By Juhernaidi on Sabtu, 30 April 2011 | 9:07:00 AM

ILUSTRASI: Sejak awal kemunculan Islam, umat Muslim telah didorong agar lebih banyak berpikir dan mencari ilmu pengetahuan. Salah satu perkembangan itu menjadi pengetahuan akan astronomi. (Foto: 123Muslim)
WASHINGTON – Bulan Maret tahun ini, bulan mencapai titik terdekatnya dengan Bumi sejak dua dekade terakhir. Namun, dengan pemerintah AS yang memotong program luar angkasa, tampaknya kita menjauh dari secara fisik menjelajahi perbatasan sistem tata surya kita. Tahun lalu, Presiden Obama memotong program Constellation NASA, yang rencananya akan meluncurkan lagi misi bulan pada tahun 2020, dan mengirimkan manusia ke Mars pada pertengahan abad. Setelah hampir 30 tahun mengabdi, program Space Shuttle mendekati masa pensiun. Pesawat ulang-alik Discovery mendarat di Bumi untuk terakhir kalinya pada tanggal 9 Maret, dan dalam 26 tahun masa bertugasnya, ia telah menghabiskan 365 hari di ruang angkasa dan mencatat perjalanan sejauh 240 juta km. Meskipun kita mungkin tidak akan menjelajah di luar sana, itu belum mencegah penemuan lebih jauh dari bumi. Astronom menemukan sistem planet yang dikenal dengan nama Kepler-11, terdiri atas enam planet yang mengorbit sebuah bintang mirip matahari, yang berjarak 2,000 tahun cahaya dari Bumi.
Lalu apa yang telah disumbangkan oleh Islam di bidang astronomi? Sebelum Islam, Kristen dan Yahudi menggunakan siklus Metonik 19 tahun, yang terdiri atas 12 tahun dari 12 bulan lunar dan tujuh tahun dari 13 bulan. Perkembangan Islam mengajarkan bahwa kaum Muslim harus mengejar ilmu di bidang astronomi, dan itu bukan hanya secara ritual. Al-Qur'an bersikukuh agar kita mengamati, berpikir, dan merenung untuk setiap kesimpulan, yang mana berlawanan dengan Yunani Kuno yang percaya bahwa akal saja adalah kunci untuk memahami alam, menunjukkan ketidakpercayaan pada perasaan dan yang ghaib. Tapi itu adalah pondasi yang di atasnya dibangun studi astronomi pra-Islam selama 700 tahun.
Al-Qur'an menyatakan bahwa terdapat 12 bulan dalam satu tahun (Q.S. 9:36), sehingga siklus Metonik disingkirkan. Karena kalender Islam juga lunar, maka kaum Muslim harus mengembangkan cara untuk melihat bulan baru. Terlebih lagi, ibadah sholat dilakukan sebanyak lima kali dalam sehari, sehingga kaum Muslim harus teliti akan waktu-waktunya, dan bisa menentukan arah Ka’bah di Makkah.
Sementara untuk perkembangan ilmiah lainnya, dunia Muslim memanfaatkan kedekatannya dengan pusat budaya kuno. Selama abad ke-9, banyak dari naskah Yunani Kuno, Sansekerta, dan Persia Tengah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga kaum Muslim bisa mengambil praktik terbaik dari masing-masing pemahaman astronomi.
Almagest dari Ptolemy adalah naskah utama yang digunakan untuk astronomi pada saat itu. Sepanjang abad ke-9, 10, dan 11, sistem Ptolemaic diterima dan disesuaikan berdasar pada penelitian empiris. Namun, sistem itu menyatakan bahwa Bumi tidak bergerak dan merupakan pusat semesta. Banyak astronom kontemporer Arab memandang itu sebagai gagasan yang diberikan, karena tidak ada model alternatif lain yang diusulkan saat itu.
Faktor kontribusi lain pada penelitian astronomi yang ekstensif didukung oleh khalifah Abbasid, Ma’mun al Rashid. Dia mengumpulkan cendekiawan Muslim untuk membangun sebuah akademi intelektual di Baghdad, yang dikenal sebagai Rumah Kebijaksaan.

Simulasi Jangka Sorong