
SITTWE - Ketika kerusuhan di Myanmar hanya menyalakan sedikit percikan harapan perubahan politik, pengungsi di Bangladesh yang lama menderita terpaku ke radio mereka. Mereka berharap untuk kesempatan untuk merebut kembali tanah mereka dan martabat mereka. Sayangnya, mereka mungkin akan menunggu dengan sia-sia. Tidak hanya terdapat sedikit sekali tanda-tanda perubahan dari penguasa represif junta militer, tapi juga para Rohingya ini, anggota minoritas Muslim yang miskin, tak pernah benar-benar diterima di negara mereka.
Penganiayaan Junta terhadap umat Islam sangat ekstrem. Tetapi
sentimen anti-Islam telah mendidih selama berabad-abad di Burma.
Rohingya yang berkulit gelap, memiliki lebih banyak kesamaan secara
fisik dan budaya dengan Bangladesh dibandingkan dengan sebagian besar
orang Burma, selalu menderita pelecehan.
Junta telah menyingkirkan mereka, dengan menolak kewarganegaraan
penuh Myanmar, menyebut mereka hanya "warga negara bagian Rakhine".
Hampir semua kira-kira ada 800.000 penduduk Rohingya hari ini yang tidak
memiliki kewarganegaraan. Rezim militer menekan mereka secara rutin
menjadi budak, sangat membatasi hak-hak mereka untuk perjalanan dan
menikah, dan menolak akses mereka untuk pendidikan dan perawatan medis.
Di Sittwe, ibukota Rakhine (sebelumnya Arakan), Rohingyas menjalani
hidup yang penuh kemiskinan. Mereka yang tidak dipaksa bekerja dalam
pembangunan jalan dengan gaji yang amat kecil hidup dari pertanian dan
perikanan. "Itu karena kami muslim," ungkap seorang pengemudi becak. Dia
mengatakan orang-orang memberikan pekerjaan untuk umat Buddha. Ada
banyak masyarakat Buddha miskin di Sittwe juga. Tetapi persepsi
perlakuan tidak adil tetap hidup diantara Muslim.
Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar selama beberapa dekade.
Banyak yang berbaur di antara sejuta atau lebih migran ilegal Burma
yang tinggal di Thailand. Dan kantor dari UNHCR telah mendokumentasikan
12.000 di Malaysia, tapi mengakui jumlah yang ada mungkin dua kali angka
itu. Jumlah terbesar telah melarikan diri ke Bangladesh. Tapi
Bangladesh telah enggan menjadi tuan rumah. Mengutip kelebihan penduduk
dan kelangkaan lahan, pemerintah berturut-turut telah secara paksa
memulangkan para pengungsi: 250.000 yang dikeluarkan antara tahun 1991
dan 1992, dan hampir sama banyak sejak itu.
Sejak tahun 1992 Bangladesh telah menolak untuk mengabulkan status
pengungsi Rohingya. Hanya dua kamp UNHCR resmi kini tetap berada dekat
Chittagong. Tapi kebanyakan dari mereka yang dipulangkan ke kondisi
mengerikan yang sama seperti yang telah mereka tinggalkan telah kembali
pada tenda-tenda pengungsian darurat di seberang perbatasan. Hari ini
sekitar 8.000 tinggal di sebuah kamp tidak resmi yang disebut Tal.
Sementara 200.000 lainnya telah menetap di daerah sekitarnya.
Tal terlahir dari Operation Clean Heart, sebuah kerusuhan tahun 2002
di mana ribuan Rohingya ditarik keluar dari desa-desa setempat. Frido
Herinckx dari Médecins Sans Frontieres, sebuah organisasi bantuan,
menggambarkan bagaimana polisi mengancam Bangladesh lokal dengan penjara
kecuali mereka melaporkan keberadaaan tetangga Burma mereka. Alih-alih
kembali ke Myanmar, ribuan tunawisma Rohingya berkumpul kembali dan
menetap di 30 meter hamparan luas lumpur di sepanjang tepi Sungai Naf.
Di Tal sebanyak 12 orang yang berdesakan dalam tempat penampungan
yang rentan dengan ditambal bersama-sama dari alang-alang dan lembaran
plastik. Banjir rutin membanjiri perkemahan, dan permusuhan lokal
terhadap pendatang sering mengarah pada kekerasan. Namun, sebagian besar
merasa bahwa kehidupan itu adalah lebih baik daripada menderita
penghinaan setiap hari di Myanmar. "Jika saya bahkan tidak bisa
mengatakan 'rumah ini adalah milik saya, bagaimana saya bisa tinggal di
sana?" tanya seorang pria berusia 32-tahun. Dia mengatakan rezim telah
menyita segala yang dimilikinya.
Pemerintah di Bangladesh baru-baru ini menunjukkan tanda-tanda
pelunakan kebijakan. Pihaknya berencana untuk memindahkan Tal ke lokasi
yang lebih kering dan permanen. Pekerja bantuan berharap Rohingya pada
akhirnya akan diberikan kewarganegaraan oleh Bangladesh. Kebanyakan
Rohingya mengatakan bahwa jika demokrasi didirikan di Myanmar, mereka
akan kembali. Namun junta bukan hanya mereka musuh mereka satu-satunya.