JAKARTA – Komisi untuk Orang
Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menyayangkan penembakan yang
terjadi kepada tersangka ‘teroris’ di Poso. Koordinator Kontras, Haris
Azhar, mengungkap operasi ini bukan yang pertama dilakukan oleh
pemerintah terhadap kelompok yang dianggap sebagai ‘teroris’ disana.
Haris menilai pemerintah (negara) sengaja menjadikan Poso sebagai
daerah konflik. “Penyelesaian Poso sengaja digantungkan,” katanya pada
Ahad (5/6/2011).
Seringnya Poso dijadikan sasaran tempat operasi ‘terorisme’,
memperlihatkan betapa rekonsialisi tidak pernah dituntaskan oleh
pemerintah. “Poso seperti dijadikan area permainan, kasihan warga sipil
di sana,” ungkapnya.
Haris menuding apabila pemerintah membiarkan kondisi ini terus
terjadi di Poso, maka akan membuat semangat anti-negara semakin
berkembang. Dampaknya, potensi konflik akan terus terjadi di daerah yang
dulunya bekas konflik tersebut.
Sementara itu, dua tersangka dalam daftar pencarian orang (DPO)
penembakan polisi di Palu, Sulawesi Tengah, Fauzan dan Faruk alias
Dayat, ditangkap dalam keadaan tewas, Sabtu (4/6) pagi.
Saat penangkapan, terjadi kontak senjata antara dua DPO, Fauzan dan
Faruk, dengan tim Satgas Anti-Teror Mabes Polri dan Polda Sulteng di
sekitar bukit Buyungkele, Poso, Sabtu (4/6) sekitar pukul 11.30 WITA.
Akibatnya, dua DPO itu meninggal dunia dan tidak ada yang terluka di
pihak anggota kepolisian.
Penembakan terhadap terduga ‘terorisme’ yang mengarah pada opini
‘pembelaan atas perlawanan para ‘teroris’ perlu dipertanyakan. Terlebih
kasus penembakan oleh Densus 88 di Sukoharjo beberapa waktu lalu
menyisakan tanda tanya akan kesengajaan polisi ‘mematikan’ saksi kunci
Nur Iman karena ditemukan tanda penyiksaan di jenazah Hendro.
Ada apa dengan sistem hukum di Indonesia? Apakah dengan label
‘teroris’ kemudian polisi dan para penegak hukum lain bebas membunuh
mereka?