Bersimbah Darah, Tony Blair Ditolak Berjabat Tangan

Written By Juhernaidi on Selasa, 07 Juni 2011 | 8:19:00 AM

Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair dalam acara peringatan pertempuran Irak. Dalam acara itu Blair harus menanggung malu karena ditolak berjabat tangan dengan salah satu orangtua tentara. (Berita SuaraMedia)
LONDON  – Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, disebut memiliki tangan yang "bersimbah darah" olah ayahanda dari seorang prajurit Inggris yang kehilangan nyawa. Ungkapan tersebut dilontarkan kepada Blair setelah acara peringatan bagi para prajurit yang kehilangan nyawa di medan tempur Irak, di ibukota Inggris, London.
Mantan perdana menteri tersebut bergabung bersama dengan Ratu Elizabeth II, Presiden Irak, Jalal Talabani, Perdana Menteri Gordon Brown dan para prajurit serta kerabatnya pada sebuah upacara peringatan untuk mengenang 179 orang prajurit Inggris yang terbunuh setelah menginvasi Irak.

Cercaan tersebut terjadi dalam acara resepsi di Katedral Saint Paul yang digelar setelah upacara peringatan. Kala itu, Uskup Besar Canterbury mengkritik para pembuat kebijakan karena tidak mempertimbangkan benar-benar mengenai nyawa yang harus dibayarkan di medan perang Irak.

Peter Brieley, ayahanda dari Shaun, 28, yang kehilangan nyawa pada bulan Maret 2003, menolak untuk menjabat tangan Blair meski sang mantan perdana menteri sudah menyodorkan tangannya. Dengan ketus, ia mengatakan kepada Blair: "Saya tidak akan menjabat tangan Anda yang berlumuran darah."

Brierly kemudian berpaling dan menjauhi Blair, namun selepas acara tersebut ia berkata: "Saya mengerti bahwa seorang prajurit memang mengemban tanggung jawab untuk terjun ke medan pertempuran dan memiliki resiko untuk kehilangan nyawa, namun para prajurit seharusnya pergi ke medan tempur dengan alasan yang baik dan dilengkapi dengan perangkat yang memadai untuk berperang."

"Menurut saya Tony Blair adalah seorang penjahat perang. Saya tidak sudi berada satu ruangan dengan dia. Saya bahkan tidak percaya bahwa dia diundang ke acara resepsi ini," tambahnya seusai acara resepsi di kawasan London tengah.

Dalam misa yang berlangsung sebelumnya, Uskup Besar Rowan Williams, pemuka gereja Anglikan, mengingatkan para jemaatnya mengenai perpecahan yang ditimbulkan oleh invasi ke Irak.

"Kita telah mulai menyadari harga yang harus kita bayar. Dan ketika konflik semacam itu muncul ke permukaan, ada orang-orang – baik dari kalangan pembuat kebijakan maupun komentator yang mampu berbicara mengenai hal tersebut tanpa benar-benar mempertimbangkan harganya, harga yang harus dibayar untuk sebuah keadilan."

Upacara yang digelar pada hari Jumat tersebut menandai penarikan para personil militer Inggris yang bertugas sebagai pelatih di Irak pada bulan April lalu.

Williams mengatakan bahwa perang Irak, yang telah memicu adanya demonstrasi publik di seluruh Britania Raya dan menyebabkan ketegangan antara para sekutu, dan ditentang oleh Perancis dan Jermaan, akan terius diperdebatkan di masa mendatang.

"Konflik di Irak akan – dalam waktu lama – melatih para sejarawan, para moralis, dan pakar internasional. Dalam sebuah dunia yang serumit dunia yang kita tinggali bersama ini, maka seseorang terlalu gegabah jika mengatakan bahwa hal ini adalah hal yang benar atau salah, tempat berpijak yang benar atau salah."

Dalam acara resepsi yang juga dihadiri oleh Pangeran Charles, istrinya Camilla dan

Pangeran William, Brierly mengatakan bahwa rasa sakit yang melanda dirinya, akibat kematian sang putra, selalu menusuk jantungnya.

"Saya yakin bahwa tangannya (Blair) bersimbah darah putra saya serta para pria dan wanita lainnya yang meninggal di luar sana. Hal itu selalu terngiang dalam pikiran saya setiap hari, setiap kali saya melihat ada peti mati yang diturunkan dari atas pesawat.

"Hal itu mengingatkan saya akan apa yang menimpa Shaun," katanya.

Ratusan ribu orang memprotes invasi terhadap Irak ketika perang tersebut terus berlangsung. Invasi AS ke Irak pada tahun 2003 dipandang oleh para kritikus sebagai sebuah agresi yang melanggar hukum internasional.

Kebijakan penjajahanAS berikutnya menyebabkan Irak menjadi semakin terbenam dalam kekacauan total. Diperkirakan ada 1,3 juta rakyat Irak yang terbantai sebagai hasil dari invasi tersebut, sementara jutaan lainnya terpaksa meninggalkan negara asalnya.
Para kritikus berpendapat bahwa kejahatan atas invasi terhadap Irak tidak dapat dimaafkan meski telah diumumkan tercapainya stabilitas di negara tersebut, mereka juga menyerukan untuk menyeret para arsitek perang Irak untuk diadili atas kejahatan kemanusiaan.

Simulasi Jangka Sorong