
Keseluruhan, hasil poling tersebut melukiskan sebuah gambaran warga
Mesir sebagai sebuah masyarakat yang memilih keterbukaan daripada
ekstrimisme dan nilai-nilai demokrasi bahkan jika mereka berada pada
resiko beberapa ketidakstabilan politik.
Hasil poling tersebut dirilis pada Senin dan datang lima bulan
menjelang pemilihan legislatif, yang pertama sejak penggulingan pemimpin
otoriter Hosni Mubarak pada bulan Februari lalu.
Banyak partai Islami diharapkan membuat sebuah pertunjukan yang
signifikan di dalam pemilihan penting, dengan 50 persen orang-orang
mengatakan bahwa pemilihan tersebut "sangat penting" untuk partai-partai
keagamaan menjadi bagian dari sebuah pemerintahan masa depan dan
sebanyak 37 persen memiliki sebuah pandangan yang sangat mendukung
tentang Ikhwanul Muslimin, kelompok Islam terbesar dan terorganisir
dengan baik di negara tersebut.
62 persen warga Mesir percaya bahwa hukum di negara mereka seharusnya
dengan ketat mengikuti ajaran-ajaran Al-Qur'an, walaupun 27 persen
berpikir bahwa cukup bahwa undang-undang mencerminkan nilai-nilai umum
Islam dan prinsip-prinsipnya.
Poling tersebut, berdasarkan pada wawancara dengan 1.000 warga Mesir,
dilaksakanan oleh Pusat Penelitian Pew antara 24 Maret dan 7 April.
Poling tersebut menaksir suasana hati di Mesir pada suatu masa ketika
masa depan negara tersebut terbuka lebar setelah sebuah akhir dari 29
tahun kekuasaan oleh Mubarak – sebuah masa yang digambarkan bagi banyak
oleh penindasan politik, korupsi, dan disparitas sosio-ekonomi yang
luas.
Kepergian Mubarak di hadapan kerusuhan populer selama 18 hari
sekarang akan memberikan warga Mesir kebebasan yang belum pernah ada
sebelumnya untuk memilih pemerintah masa depan mereka begitu juga
memberikan kesempatan baru untuk kekuatan politik dan sosial yang telah
lama terbungkus rapat.
Kelompok Islam lama ditindas di bawah Mubarak sekarang bebas untuk
beroperasi secara publik dan rencana untuk berkompetisi pada pemilihan
September, termasuk yang mendukung penciptaan sebuah negara yang
dijalankan oleh hukum Islam.
Di dalam sebuah hasil yang tidak menunjukkan dengan baik untuk
permasalahan sektarian yang tidak hilang-hilang, poling tersebut
menunjukkan bahwa hanya 36 persen dari pertanyaan tersebut percaya bahwa
merupakan hal yang "sangat penting" bagi umat Kristen dan minoritas
lainnya untuk secara bebas mempraktikkan agama mereka, menyarankan
pengaruh dari kelompok militan tersebut, yang telah menyulut kebencaian
10 persen minoritas Kristen di negara tersebut.
Mesir pasca-Mubarak juga menderita dari sebuah kekosongan keamanan
yang telah menuntun pada sebuah gelombang dramatis dalam kejahatan.
Permasalahan ekonomi juga semakin mendalam dan negara tersebut telah
harus meminjam dari Pendanaan Moneter Internasional (IMF) selama tiga
bulan terakhir telah merusak produktivitas, membuat takut para turis dan
menghantam ekspor.
Poling tersebut juga menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari semua
warga Mesir ingin melihat perjanjian perdamaian tahun 1979 dengan
Israel dicabut, menyoroti dalamnya ketidakpopuleran perjanjian tersebut,
yang merupakan pusat kebijakan AS di kawasan tersebut dan dengan teliti
dipatuhi oleh Mubarak.
Bagaimanapun juga, lebih dari apapun gerakan pro-demokrasi yang
dipimpin pemuda, yang mengerjakan kembali lingkungan politik, secara
dramatis meningkatkan sikap orang-orang. Poling tersebut menunjukkan
sebuah peningkatan besar di dalam optimisme dan perubahan prioritas
nasional.
Di tahun 2007, Mesir dibagi rata tentang yang mana yang lebih
penting, sebuah pemimpin kuat atau demokrasi, namun poling terbaru, 64
persen peringkat demokrasi lebih tinggi.
Dari mereka yang nama-namanya telah ditempatkan di depan sebagai
kandidat yang mungkin untuk pemilihan kepresidenan akhir tahun ini,
mantan pimpinan Liga Arab, Amr Moussa adalah yang paling populer, dengan
89 persen memberinya sebuah peringkat yang sangat mendukung.
Kandidat mantan kepresidenan Ayman Nour bersaing dengan 70 persen
peringkat sementara Penerima Hadiah Nobel dan mantan pemimpin reformasi
Mohamed Al-Baradei hanya mendapatkan 57 persen.
AS, pendukung terkuat Mesir sejak pertengahan tahun 1970-an,
melanjutkan untuk mengumpulkan peringkat persetujuan rendah, dengan
hanya 20 persen warga Mesir melihat hal tersebut di dalam sebuah cara
positif, meningkat dari 17 persen di tahun 2010.