
Menteri
Luar Negeri Mesir, Nabil Al-Arabi dalam konferensi berita (15/3). Arabi
mengkonfirmasi bahwa permasalahan yang menyangkut Gaza adalah sebuah
prioritas bagi kebijakan luar negeri Mesir. (Foto: AP)
KAIRO – Nabil Al-Arabi, yang ditunjuk sebagai
menteri luar negeri setelah revolusi Mesir telah mengkonfirmasi bahwa
permasalahan yang menyangkut Gaza adalah sebuah prioritas bagi kebijakan
luar negeri Mesir.
"Kami menganggap situasi di Jalur Gaza sebuah prioritas bagi Mesir,
terutama sejak apa yang telah terjadi di sana adalah hal yang tidak
dapat diterima dalam hal hak-hak asasi manusia," Arabi mengatakan selama
sebuah rilisan pers gabungan dengan Menteri Luar Negeri Austria
Spindelegger pada hari Selasa di Kairo.
"Sekarang kami bekerja untuk mendirikan sebuah metode untuk menghadapi semua situasi tersebut.
"Komite tersebut dapat menyelesaikan banyak pekerjaan akhir pekan
ini. Kami membahas masalah ini dengan semua bagian negara Mesir," ia
mengatakan.
Arabi mengatakan bahwa Mesir juga memiliki ketertarikan yang kuat
dalam rekonsiliasi Palestina dan telah menghubungi keduanya, Hamas dan
Fatah untuk membahasnya.
Ia menambahkan bahwa pimpinan Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas
dijadwalkan untuk mengunjungi Mesir pada hari Rabu untuk membahas semua
permasalahan tentang rekonsilisasi yang tertunda dengan Hamas.
Ia telah bertemu dengan seorang delegasi dari Hamas pekan lalu.
Pada Rabu (6/4), Arabi bertemu dengan para tokoh independen dalam
sebuah delegasi yang dipimpin oleh Dr. Yasser Al-Wadia dan mengadakan
pembicaraan tentang penyatuan Palestina dan masa depan permasalahan
Palestina dalam menyoroti perkembangan terbaru di dalam dunia Arab.
Sementara itu, koalisi Mesir untuk menghancurkan kepungan dan membangun kembali Gaza
dikembalikan oleh para pejabat ketika pihaknya berusaha untuk
mendapatkan sepuluh ton semen masuk ke dalam Jalur Gaza melalui lahan
pelabuhan Rafah di perbatasan dengan Mesir.
Koalisi tersebut telah membereskan sebuah penjanjian pada bulan Maret
dengan British Aloha Palestine untuk mengimpor semen ke Gaza sebagai
perjanjian resmi pertama untuk membawa bahan-bahan bangunan masuk ke
dalam Gaza melalui Mesir. Perjanjian tersebut datang setelah para
aktivis Eropa dengan sukses mendapatkan dukungan semen pertama dengan
menyeberangi perbatasan.
Berdasarkan atas perjanjian tersebut, Aloha Palestine bertanggung
jawab untuk memindahkan barang-barang tersebut menurut undang-undang
perdagangan Mesir, sementara bagian koalisi adalah untuk menempatkan
tekanan populer dengan tujuan untuk mendapatkan ijin untuk truk tersebut
masuk.
Setelah dua pekan menetap di kota El-Arish di dekat perbatasan,
Mahkamah Agung Pasukan Bersenjata, yang kekuasaan Mesir diberikan kepada
Mahkamah tersebut, menolak untuk mengulangi permintaan dan mediasi
untuk membawa masuk persediaan bahan bangunan yang dibutuhkan di dalam
kota Gaza yang hancur dan terkepung oleh perang. Mereka dipaksa untuk
meninggalkan kota tersebut setelah mengalamai kerugian besar.
Koalisi tersebut berjanji setelah revolusi 25 Januari di Mesir untuk
bertemu dengan Menteri Luar Negeri Baru Mesir, Arabi dan Mahkamah Agung
untuk memberikan penjelasan singkat tentang perjanjian tersebut dan
meminta untuk mempermudah dalam membawa masuk barang-barang dan mengatur
untuk perjanjian masa depan yang lebih luas yang akan memperluas
horizon untuk ekonomi Mesir dan Jalur Gaza.
Kesepakatan Kamp David yang Mesir telah tandatangani dengan Israel
telah melarang Mesir menggunakan pebatasan Rafah untuk tujuan komersial.