
Sebastian mengatakan, kunjungan kerja DPR terkesan
dipaksakan karena biaya kunjungan sudah dianggarkan. "Jadi semangatnya
menggunakan anggaran yang sudah ditetapkan, walaupun agendanya tidak
penting," ujar Sebastian.
Dia melanjutkan, konsep kunjungan
kerja juga tidak menjamin anggota DPR mendapatkan hal-hal penting dan
substansial bagi penyusunan sebuah undang-undang. "Kunjungan kerja yang
berbondong-bondong juga akan membuat sulit pertanggungjawaban pribadi,"
ujarnya.
Seperti diketahui, Komisi VIII dan Komisi X DPR
mengunjungi Australia dan Spanyol di saat parlemen kedua negara tersebut
sedang reses.
Bahkan dalam sebuah acara tatap muka dengan
masyarakat di aula KBRI Madrid, Senin (25/4) lalu, Wakil Ketua Komisi X,
Rully Chairul Azwar, mengatakan, salah satu tugas komisinya adalah
memang mengunjungi obyek-obyek wisata.
"Saat ini DPR memang
sedang menjadi sorotan banyak pihak, tapi ya gimana lagi, kan memang
tugas kami seperti ini," ujar Rully Chairul Azwar, seperti direkam
Masindo.
Sebelumnya, Duta Besar Indonesia untuk Swiss heran
terhadap reaksi Dewan Perwakilan Rakyat terkait pernyataannya soal
kunjungan kerja keluar negeri beberapa waktu lalu. Djoko Susilo beberapa
hari mengkritisi agenda kunjungan kerja DPR ke luar negeri yang
dinilainya tak bermanfaat. Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso sempat
mengancam akan meninjau anggaran kedutaan-kedutaan besar yang ada.
"Saya heran, Priyo Budi Santoso bereaksi seperti itu," kata Djoko.
Menurut Djoko, dia tak bermaksud menghina atau melarang anggota DPR
berkunjung ke luar negeri. Ia mengatakan, hanya minta agar kunjungan ke
luar negeri anggota DPR dilakukan terencana, matang, dan efektif. "Agar
bermanfaat," ujarnya.
Ia mencontohkan salah satu rombongan DPRD sebuah provinsi di Sumatera
pada 2010 lalu. Waktu itu mereka kirim surat akan tiba pada Jumat pukul
11.00 waktu Swiss, dan mereka minta diaturkan jadwal pertemuan dengan
instansi terkait . Mereka bilang hanya punya waktu hingga Jumat Sore.
"Surat dikirim sehari sebelum mereka tiba," kata mantan anggota Komisi I
DPR RI ini. Padahal, dalam jadwal resmi kunjungan kerja rombongan DPRD
itu, mereka berencana tinggal di sana selama enam hari. "Sisanya mereka
mau jalan-jalan ke kota Lusen, bahkan ke Paris, dan Amsterdam," kata
Djoko.
Djoko mengaku sempat menolak menandatangani surat pertanggungjawaban
para anggota DPRD itu. Karena kedubes harus memberi stempel dan
tandatangan soal kunjungan mereka untuk pertanggungjawaban anggarannya.
Djoko mengatakan, kunjungan kerja yang dilakukan DPR sebaiknya
dipersiapkan jauh hari. "Supaya semua sudah tertata dengan baik mau
kemana, ketemu siapa, tujuannya apa," ujarnya.
Ia juga mengingatkan agar anggota DPR memperhatikan jadwal kerja
instansi yang akan ditemui. "Harus disesuaikan apakah mereka sedang
libur atau tidak, jangan anggota DPR sudah datang kesana ternyata yang
ingin ditemui tak bisa karena sedang reses juga," ujarnya.
Ia
mengatakan, tak seluruh kunjungan ke luar negeri itu buruk. Djoko memuji
kunjungan Komisi I baru-baru ini ke Turki. "Mereka bisa bertemu
Presiden Turki, ketemu menteri pertahanan, dan anggota parlemennya, saya
kira kunjungan itu contoh kiunjungan yang benar dan bermanfaat," kata
Djoko.
Sementara itu, Persatuan Pelajar Indonesia di Australia
(PPIA) akan menyurati Hugh Borrowman, Sekretaris Pertama Departemen Luar
Negeri Australia Untuk Wilayah Asia Tenggara, terkait dengan jawaban
Komisi VIII soal kunjungan kerja ke negeri Kanguru tersebut.
"Sebagai upaya untuk membentuk transparansi kami akan mengirimi surat
terkait dengan substansi jawaban yang kami terima," ujar Ketua PPIA
Muhammad Subhan Zein, dalam surat jawabannya kepada Ketua Komisi VIII
Abdul Kadir Karding.
Komisi VIII sebelumnya membalas surat terbuka PPIA terkait kritikan
kunjungan ke Australia yang dianggap tak tepat. Dalam suratnya, Karding
membantah semua tudingan PPIA bahwa kunjungan tersebut tidak
direncanakan dengan matang.
Menurut Karding, Komisi VIII hanya menerima usulan jadwal kegiatan
selama berada di sana dari Departemen Luar Negeri Australia. Karding
juga mengatakan, Komisi VIII selama di Australia akan bertemu dengan
sejumlah pejabat setingkat Direktur Jenderal.
Subhan pun menganggap jawaban yang diberikan Komisi VIII ini janggal.
Ia mempertanyakan kenapa jadwal kunjungan tersebut diatur oleh
Kementerian Luar Negeri Australia. "Padahal yang memahami kebutuhan Tim
Panja RUU Fakir Miskin adalah anggota tim itu sendiri," ujarnya.
Ia juga melihat kejanggalan soal tidak dijadwalkannya pertemuan
dengan tim perumus kebijakan, menteri dan anggota parlemen, penanganan
masyarakat miskin oleh Departemen Luar Negeri Australia.
"Padahal mereka (Departemen Luar Negeri Australia) tahu bahwa yang akan berkunjung adalah anggota DPR RI," ujarnya.
Ia juga menilai janggal usulan untuk mengunjungi komunitas muslim
Australia dan Lembaga Swadaya Masyarakat Pemberdayaan Perempuan yang tak
berhubungan dengan RUU itu. Lagi pula, kedua institusi ini berlokasi di
Sydney dan Melbourne, kota yang berbeda dengan kota tujuan studi
banding ke Canberra. Karena itu, Subhan menjelaskan, mereka akan
melakukan cek ulang kepada
Departemen Luar Negeri Australia mengenai cerita Komisi VIII ini.
PPIA juga merasa kecewa Komisi VIII tak menanggapi usulan mereka untuk
mengikutsertakan perwakilan PPIA dan media massa Indonesia untuk
memantau kegiatan rombongan selama di Australia. Komisi VIII juga
dianggap tak merespons usulan PPIA untuk mengunjungi kantor-kantor
pelayanan bagi masyarakat miskin yang justru berkaitan langsung dengan
RUU ini.