Tsunami
yang melanda pantai Jepang - akibat gempa besar yang mengguncang -
telah menghancurkan segala sesuatu yang dilewatinya bahkan telah
menghilangkan sebuah desa yang berpenduduk 250 orang dengan 70 rumah
atau lebih.
Sekarang, tiga hari kemudian pasca gempa, Saito telah menjadi desa
kematian yang hanya berisi puing-puing kehancuran. Gempa yang diikuti
tsunami di Jepang Jumat lalu menjadi salah satu gempa terkuat di bumi
dalam 110 tahun terakhir.
Di Saito dan sekitarnya, tidak ada listrik, dan tidak ada air yang
mengalir. Tidak ada generator yang hidup. Malam menjadi gelap gulita.
Bangunan yang masih berdiri tetap tertutup. Tidak ada toko yang terbuka.
Semuanya telah berhenti.
"Tidak
ada yang tersisa," seorang warga bernama Toshio Abe mengatakan kepada
Associated Press pada hari Senin kemarin (14/3) pada saat tim pemadam
kebakaran melalui 'gurun' yang luas dengan puing, bukan untuk mencari
korban hidup tetapi untuk mencari korban yang tewas. Abe mengatakan
sedikitnya 40 warga Saito meninggal atau belum ditemukan.
Abe mengatakan dia sedang berkebun Jumat sore lalu ketika ia merasa
bumi bergoyang di bawah kakinya. Sirene tsunami berbunyi dan pengumuman
pengeras suara memperingatkan orang untuk mengungsi ke tempat yang lebih
tinggi.
Pria
70 tahun ini panik kemudian mendaki bukit di belakang rumahnya sekitar
dua kilometer, atau sekitar satu mil, dari pantai. Dari sudut pandang
aman, ia mengamati, 20 atau 30 menit kemudian, gelombang raksasa datang
dengan suara gemuruh menggelegar.
Gelombang air laut yang besar menghantam semua yang dilewatinya di
desa Saito. Sejumlah rumah hancur tak bersisa bahkan pondasi rumah pun
sampai terbongkar.
"Saya tidak pernah berpikir tsunami akan datang sejauh ini masuk ke pedalaman," kata Abe. "Saya pikir kami aman."
Abe menunjuk landasan beton yang hancur di tengah lanskap yang telah
rata. Landasan beton itu bekas rumahnya sebelum tsunami menerjang. "Saya
akan mendirikannya kembali," katanya, "tapi tidak di sini."
Hari ini, segala sesuatu di Saito hanya bisa diucapkan dengan kenangan masa lampau.
"Itu balai kota," kata pekerja konstruksi 48 tahun Takao Oyama,
menunjuk ke arah bangunan putih dua lantai yang berdiri di dekat pantai,
tersandar di sudut menjadi lembaran lumpur dan pasir.
"Itu sekolah dasar kami," katanya, sambil menunjuk sebuah bangunan
tiga lantai yang telah hancur dan ditutupi oleh puing-puing. Kebanyakan
bangunan yang ada, semuanya telah menghilang.
"Kami telah berjuang, tapi semua telah hilang," kata Oyama. "Semuanya hilang."
Di belakangnya, sebuah pulau yang tertutup pohon dapat dilihat tak
jauh dari pantai. Bahwa kehancuran seperti itu bisa datang dari
pandangan indah yang terlihat, sangat sulit dipercaya.
"Kami tidak pernah bisa hidup di sini lagi," kata Oyama saat ia beristirahat bersama istrinya di jalan aspal yang telah rusak.
Ketika ditanya berapa banyak orang yang meninggal, Oyama mengangkat
bahu. "Kami hanya melihat beberapa mayat di sini," katanya. "Saya pikir
semua orang telah tersapu ke laut."