Saito, Sebuah Desa Jepang yang Hilang Akibat Tsunami

Written By Juhernaidi on Selasa, 15 Maret 2011 | 10:23:00 AM

Tsunami yang melanda pantai Jepang - akibat gempa besar yang mengguncang - telah menghancurkan segala sesuatu yang dilewatinya bahkan telah menghilangkan sebuah desa yang berpenduduk 250 orang dengan 70 rumah atau lebih.
Sekarang, tiga hari kemudian pasca gempa, Saito telah menjadi desa kematian yang hanya berisi puing-puing kehancuran. Gempa yang diikuti tsunami di Jepang Jumat lalu menjadi salah satu gempa terkuat di bumi dalam 110 tahun terakhir.
Di Saito dan sekitarnya, tidak ada listrik, dan tidak ada air yang mengalir. Tidak ada generator yang hidup. Malam menjadi gelap gulita. Bangunan yang masih berdiri tetap tertutup. Tidak ada toko yang terbuka. Semuanya telah berhenti.
"Tidak ada yang tersisa," seorang warga bernama Toshio Abe mengatakan kepada Associated Press pada hari Senin kemarin (14/3) pada saat tim pemadam kebakaran melalui 'gurun' yang luas dengan puing, bukan untuk mencari korban hidup tetapi untuk mencari korban yang tewas. Abe mengatakan sedikitnya 40 warga Saito meninggal atau belum ditemukan.
Abe mengatakan dia sedang berkebun Jumat sore lalu ketika ia merasa bumi bergoyang di bawah kakinya. Sirene tsunami berbunyi dan pengumuman pengeras suara memperingatkan orang untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.
Pria 70 tahun ini panik kemudian mendaki bukit di belakang rumahnya sekitar dua kilometer, atau sekitar satu mil, dari pantai. Dari sudut pandang aman, ia mengamati, 20 atau 30 menit kemudian, gelombang raksasa datang dengan suara gemuruh menggelegar.
Gelombang air laut yang besar menghantam semua yang dilewatinya di desa Saito. Sejumlah rumah hancur tak bersisa bahkan pondasi rumah pun sampai terbongkar.
"Saya tidak pernah berpikir tsunami akan datang sejauh ini masuk ke pedalaman," kata Abe. "Saya pikir kami aman."
Abe menunjuk landasan beton yang hancur di tengah lanskap yang telah rata. Landasan beton itu bekas rumahnya sebelum tsunami menerjang. "Saya akan mendirikannya kembali," katanya, "tapi tidak di sini."
Hari ini, segala sesuatu di Saito hanya bisa diucapkan dengan kenangan masa lampau.
"Itu balai kota," kata pekerja konstruksi 48 tahun Takao Oyama, menunjuk ke arah bangunan putih dua lantai yang berdiri di dekat pantai, tersandar di sudut menjadi lembaran lumpur dan pasir.
"Itu sekolah dasar kami," katanya, sambil menunjuk sebuah bangunan tiga lantai yang telah hancur dan ditutupi oleh puing-puing. Kebanyakan bangunan yang ada, semuanya telah menghilang.
"Kami telah berjuang, tapi semua telah hilang," kata Oyama. "Semuanya hilang."
Di belakangnya, sebuah pulau yang tertutup pohon dapat dilihat tak jauh dari pantai. Bahwa kehancuran seperti itu bisa datang dari pandangan indah yang terlihat, sangat sulit dipercaya.
"Kami tidak pernah bisa hidup di sini lagi," kata Oyama saat ia beristirahat bersama istrinya di jalan aspal yang telah rusak.
Ketika ditanya berapa banyak orang yang meninggal, Oyama mengangkat bahu. "Kami hanya melihat beberapa mayat di sini," katanya. "Saya pikir semua orang telah tersapu ke laut."

Simulasi Jangka Sorong