SAN SALVADOR – Presiden Amerika Serikat Barack
Obama mengaku sadar bahwa dirinya adalah seorang pemenang Nobel
Perdamaian yang melancarkan serangan udara di Libya. Tapi, menurutnya,
rakyat Amerika tidak melihat ada pertentangan saat Obama ingin
memastikan bahwa rakyat Libya tidak, dalam bahasa sang presiden,
"Dibantai karena ada seorang diktator yang ingin mempertahankan
kekuasaan."
Obama mengaku menyadari ironi dalam pidato penerimaan hadiahnya pada tahun 2009 lalu.
Saat berkunjung ke El Salvador pada hari Selasa (23/3), Obama mengatakan kepada saluran televisi CNN
berbahasa Spanyol bahwa dirinya terbiasa sekaligus berperan sebagai
komandan angkatan bersenjata dan seseorang yang menginginkan perdamaian.
Presiden Venezuela Hugo Chavez mengkritik Obama karena turut
bergabung dengan upaya militer melawan Moammar Gaddafi. Chavez
mengatakan bahwa Obama mendapat anugerah Nobel Perdamaian namun justru
memicu lahirnya perang lain di tengah kecamuk perang di Irak dan
Afghanistan.
Pada Desember 2009 di Oslo, dalam pidatonya saat menerima Nobel,
Obama menyebut diri sebagai seorang komandan tertinggi dari sebuah
negara yang tengah menjalankan dua peperangan. Obama juga mengatakan
bahwa konflik bersenjata kadang diperlukan.
Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya pada Maret 2011, Obama sudah
berada di tengah tiga peperangan, yang terakhir di Libya. Hal itu pun
memicu lahirnya perdebatan mengenai kelayakan Obama menerima Nobel
Perdamaian.
Presiden Bolivia Evo Morales pada hari Selasa (22/3) meminta agar
anugerah Nobel Perdamaian untuk Obama dicabut karena keputusan sang
pemimpin AS untuk menyerang Libya menunjukkan bahwa dia tidak pantas
menerima kehormatan tersebut.
"Dua tahun lalu kita sama-sama dengar Presiden Barack Obama memenangkan Nobel Perdamaian,
tapi apakah dia saat ini mempertahankan perdamaian atau justru memicu
kekerasan?" kata Morales kepada para wartawan, beberapa hari setelah
Obama memerintahkan pengeboman di Libya.
"Bagaimana mungkin anugerah Nobel Perdamaian diberikan kepada
seseorang yang telah meluncurkan invasi, pengeboman? Itu adalah
pelangaran, serangan, sebuah agresi," kata Morales, salah satu pemimpin
berhaluan kiri di Amerika Latin dan pengkritik Amerika yang vokal.
"Obama adalah pemimpin dari sekelompok penjahat yang memimpin
serangan dan invasi, dan hal-hal itu sama sekali tidak ada hubungannya
dengan mempertahankan hak asasi manusia," tandasnya.
Sementara itu, Presiden Venezuela Hugo Chavez mengecam pengeboman AS
dan para sekutunya terhadap Libya. Chavez mengatakan serangan itu tidak
dapat dibenarkan dan hanya akan membuat lebih banyak darah tertumpah.
Pemerintah Kuba juga mengkritik serangan tersebut dan menyarankan agar konflik tersebut diselesaikan melalui jalur negosiasi.
Chavez mengatakan bahwa AS mengincar minyak Libya. Ia juga
memperingatkan Obama agar tidak coba-coba melakukan hal serupa terhadap
negaranya. "Jangan coba-coba dengan Venezuela Tuan Obama," kata Chavez.
Chavez, yang telah sejak lama menjalin hubungan dengan pemimpin Libya
Muammar Gaddafi, meminta serangan udara dihentikan, ia menyebutkan
kembali mengenai korban sipil yang berjatuhan di Libya akibat
pengeboman.
Akan tetapi, Pentagon mengklaim tidak ada laporan mengenai korban sipil dalam serangan udara tersebut.
"Libya mendapat serangan kekaisaran. Tidak ada yang bisa membenarkan
ini," kata Chavez seraya memegang surat kabar yang di halaman depan
memuat berita pengeboman di Libya dilengkapi foto ledakan.
"Pengeboman yang tidak dapat dibenarkan," kata Chavez. "Siapa yang
memberikan hak (mengebom) kepada negara-negara itu? Amerika Serikat,
Perancis, Inggris, atau negasra lain tidak punya hak menjatuhkan bom,"
tambah Chavez.
Chavez mengatakan, para pemimpin Uni Afrika menggelar rapat di Mauritania untuk membicarakan konflik tersebut.
"Semestinya itu yang dilakukan, berbicara dengan pihak-pihak yang
terlibat konflik di sana (Libya), bukannya menjatuhkan bom. Semakin
banyak bom, maka akan semakin banyak kematian," kata Chavez.
Dari Havana, Kementerian Luar Negeri Kuba mengatakan, konflik Libya
harus diselesaikan dengan dialog dan negosiasi, bukan dengan cara
militer.
"Kuba mengecam keras inervensi asing dalam konflik dalam negeri di
Libya," demikian isi pernyataan Kementerian Luar Negeri Kuba dalam
pemberitaan di televisi.