Obama, Sang Pemenang Nobel Penghancur Libya

Written By Juhernaidi on Kamis, 24 Maret 2011 | 10:31:00 AM

Seorang mahasiswa memakai topeng Presiden AS, Barack Obama selama protes menentang kehadiran Obama di El Salvador pada 22 Maret 2011. (Foto: Getty Images)
Seorang mahasiswa memakai topeng Presiden AS, Barack Obama selama protes menentang kehadiran Obama di El Salvador pada 22 Maret 2011. (Foto: Getty Images)

SAN SALVADOR  – Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengaku sadar bahwa dirinya adalah seorang pemenang Nobel Perdamaian yang melancarkan serangan udara di Libya. Tapi, menurutnya, rakyat Amerika tidak melihat ada pertentangan saat Obama ingin memastikan bahwa rakyat Libya tidak, dalam bahasa sang presiden, "Dibantai karena ada seorang diktator yang ingin mempertahankan kekuasaan." Obama mengaku menyadari ironi dalam pidato penerimaan hadiahnya pada tahun 2009 lalu.
Saat berkunjung ke El Salvador pada hari Selasa (23/3), Obama mengatakan kepada saluran televisi CNN berbahasa Spanyol bahwa dirinya terbiasa sekaligus berperan sebagai komandan angkatan bersenjata dan seseorang yang menginginkan perdamaian.
Presiden Venezuela Hugo Chavez mengkritik Obama karena turut bergabung dengan upaya militer melawan Moammar Gaddafi. Chavez mengatakan bahwa Obama mendapat anugerah Nobel Perdamaian namun justru memicu lahirnya perang lain di tengah kecamuk perang di Irak dan Afghanistan.
Pada Desember 2009 di Oslo, dalam pidatonya saat menerima Nobel, Obama menyebut diri sebagai seorang komandan tertinggi dari sebuah negara yang tengah menjalankan dua peperangan. Obama juga mengatakan bahwa konflik bersenjata kadang diperlukan.
Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya pada Maret 2011, Obama sudah berada di tengah tiga peperangan, yang terakhir di Libya. Hal itu pun memicu lahirnya perdebatan mengenai kelayakan Obama menerima Nobel Perdamaian.
Presiden Bolivia Evo Morales pada hari Selasa (22/3) meminta agar anugerah Nobel Perdamaian untuk Obama dicabut karena keputusan sang pemimpin AS untuk  menyerang Libya menunjukkan bahwa dia tidak pantas menerima kehormatan tersebut.
"Dua tahun lalu kita sama-sama dengar Presiden Barack Obama memenangkan Nobel Perdamaian, tapi apakah dia saat ini mempertahankan perdamaian atau justru memicu kekerasan?" kata Morales kepada para wartawan, beberapa hari setelah Obama memerintahkan pengeboman di Libya.
"Bagaimana mungkin anugerah Nobel Perdamaian diberikan kepada seseorang yang telah meluncurkan invasi, pengeboman? Itu adalah pelangaran, serangan, sebuah agresi," kata Morales, salah satu pemimpin berhaluan kiri di Amerika Latin dan pengkritik Amerika yang vokal.
"Obama adalah pemimpin dari sekelompok penjahat yang memimpin serangan dan invasi, dan hal-hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan mempertahankan hak asasi manusia," tandasnya.
Sementara itu, Presiden Venezuela Hugo Chavez mengecam pengeboman AS dan para sekutunya terhadap Libya. Chavez mengatakan serangan itu tidak dapat dibenarkan dan hanya akan membuat lebih banyak darah tertumpah.
Pemerintah Kuba juga mengkritik serangan tersebut dan menyarankan agar konflik tersebut diselesaikan melalui jalur negosiasi.
Chavez mengatakan bahwa AS mengincar minyak Libya. Ia juga memperingatkan Obama agar tidak coba-coba melakukan hal serupa terhadap negaranya. "Jangan coba-coba dengan Venezuela Tuan Obama," kata Chavez.
Chavez, yang telah sejak lama menjalin hubungan dengan pemimpin Libya Muammar Gaddafi, meminta serangan udara dihentikan, ia menyebutkan kembali mengenai korban sipil yang berjatuhan di Libya akibat pengeboman.
Akan tetapi, Pentagon mengklaim tidak ada laporan mengenai korban sipil dalam serangan udara tersebut.
"Libya mendapat serangan kekaisaran. Tidak ada yang bisa membenarkan ini," kata Chavez seraya memegang surat kabar yang di halaman depan memuat berita pengeboman di Libya dilengkapi foto ledakan.
"Pengeboman yang tidak dapat dibenarkan," kata Chavez. "Siapa yang memberikan hak (mengebom) kepada negara-negara itu? Amerika Serikat, Perancis, Inggris, atau negasra lain tidak punya hak menjatuhkan bom," tambah Chavez.
Chavez mengatakan, para pemimpin Uni Afrika menggelar rapat di Mauritania untuk membicarakan konflik tersebut.
"Semestinya itu yang dilakukan, berbicara dengan pihak-pihak yang terlibat konflik di sana (Libya), bukannya menjatuhkan bom. Semakin banyak bom, maka akan semakin banyak kematian," kata Chavez.
Dari Havana, Kementerian Luar Negeri Kuba mengatakan, konflik Libya harus diselesaikan dengan dialog dan negosiasi, bukan dengan cara militer.
"Kuba mengecam keras inervensi asing dalam konflik dalam negeri di Libya," demikian isi pernyataan Kementerian Luar Negeri Kuba dalam pemberitaan di televisi.

Simulasi Jangka Sorong