Setujukan Anda dengan teori itu? Apapun sikap Anda, nyatanya teori
itu pernah berpengaruh dalam dunia pendidikan kita. Bahkan, hingga saat
ini, masih banyak pendidik yang mempraktekkan teori itu di sekolah.
Dalam batas tertentu, hal ini tak menjadi masalah. Dan mungkin ada
benarnya. Masalah timbul ketika seorang pendidik menerapkannya secara
over dosis, tanpa memadukan dengan teori lain.
Mungkin masih ada sebagian guru yang memperlakukan siswa sebagai
botol kosong yang perlu diisi air. Guru menganggap dirinya sebagai teko
yang berisi air. Dalam hal ini, air itu adalah sejumlah ilmu
pengetahuan yang harus dimasukkan ke otak para siswa. Jika teko itu
berisi air putih, maka setelah belajar otak anak akan berisi air putih.
Begitu pula jika teko itu berisi air teh manis, maka pulang sekolah
kepala anak akan berisi teh manis. Mudah mudahan saja tidak ada
teko-teko di sekolah yang berisi minuman keras yang membuat generasi
pemabok.
Jika analogi teori itu kita anut secara sakleg, maka akan terdapat
sejumlah kejanggalan dan kelemahan dalam implementasinya di dunia
pendidikan, yakni: Pertama, semakin lama guru mengajar, air teko itu
semakin berkurang, dan habis. Kedua, ilmu pengetahuan yang akan
dimiliki siswa persis sama dengan ilmu yang dituangkan dari teko.
Ketiga, jumlah ilmu yang diperoleh siswa di sekolah , maksimal sebanyak
air yang berada dalam teko itu.
Saya percaya Anda tidak sependapat dengan analogi ini. Ya, proses
pendidikan dan pembelajaran memang tidak selinier itu. Banyak faktor
lain yang mempengaruhi proses dan hasil belajar di sekolah. Guru
hanyalah salah satu sumber belajar di samping banyak sumber belajar lain
di sekolah. Bahkah, saat ini guru bukan lagi dianggap sebagai
satu-satunya sumber bagi siswa. Alangkah sayangnya jika saat ini
masih ada guru yang menganggap dirinya sebagai sumber belajar utama (apa
lagi satu satunya sumber belajar) bagi anak didiknya.
Posisi guru sebagai satu-satunya sumber belajar mungkin hanya pernah
terjadi pada jaman “pendekar persilatan”. Konon, kala itu jika ingin
menjadi orang sakti mandraguna ia harus mencari “guru” ke pertapaan.
Sang guru kemudian mengajarkan semua ilmu yang dimilikinya kepada
murid. Setelah semua ilmu gurunya terkuras habis, kemudian sang murid
“turun gunung” dengan membawa kesaktian yang setara dengan sang
guru. Dalam hal ini pantaslah jika murid itu menganggap guru merupakan
satu-satunya sumber belajar.
Kembali ke tabula rasa, teori botol kosong/ kertas putih.
Tabula rasa hanya salah satu teori dasar untuk melihat manusia pada
konteks pendidikan, ketika persekolahan dijalankan di atas satu ikhtiar
teknis bahwa sesuatu mesti ditransfer ke otak anak didik. Di sini
digagas satu opini klasik untuk pendidikan bahwa anak didik harus
mendapatkan ilmu di sekolah-sekolah. Mereka dilihat sebagai deretan
botol kosong. Pendidik pun tampaknya terbelenggu di tengah-tengah satu
peran, yaitu seperti corong air atau minyak. Mereka bertanggung jawab
menjadi talang-talang kecil untuk memasukkan cairan ke mulut-mulut botol
yang berderet di kelas-kelas.
Pendidikan tiba-tiba menjadi rutinitas yang tidak berujung. Rutinitas
tersebut diterima sebagai yang seharusnya. Rutinitas itu, baik bagi
anak didik maupun bagi para guru. Tradisi ini sebenarnya belenggu
persekolahan. Pengajaran dan pembelajaran menjadi kebiasaan dan strategi
di restoran-restoran siap saji, harus cepat, mesti instan. Seluruh menu
pembelajaran telah siap saji. Anak didik benar-benar menjadi sekumpulan
konsumen.
Sebagai konsumen, anak didik dikondisikan di tengah-tengah kultur
kelas yang terlampau tidak kondusif. Segalanya berjalan mekanis.
Ironisnya, kondisi tersebut kurang disadari. Walaupun kerap muncul
kesadaran-kesadaran untuk membebaskan diri dari tradisi pengajaran dan
pembelajaran yang membelenggu, tetapi, tiba-tiba saja, muncul kesadaran
yang lebih dominan, yaitu kesadaran terhadap sistem makro. Bersamaan
dengan hal ini, kesadaran-kesadaran kecil untuk membebaskan diri dari
belenggu mekanistik pembelajaran, pun harus mati. Para pendidik dan
lembaga-lembaga pendidikan ternyata lebih memilih berpihak kepada sistem
itu.
Sehubungan dengan hal itu, yang dibutuhkan oleh persekolahan adalah
tetap berani memilih munculnya dan hidupnya kesadaran-kesadaran
pendidikan yang membebaskan, sesuai dengan ikhtiar mulia para guru dan
sejalan dengan kemampuan mereka.
Pada sisi ini para pendidik bisa melakukan refleksi sederhana
mengenai pandangan klasik yang mereka anut untuk melihat posisi anak
didik di kelas-kelas yang mereka ajar. Pertanyaan seperti ini bisa
diajukan, “Benarkah anak didik hanya sederetan botol kosong yang
didudukkan di ruang-ruang kelas sekolah?” Pertanyaan lain pun mesti
dikemukakan, “Sebagai guru, mengapa aku hanya seperti tukang minyak,
yang hanya mengecer dan dengan hati-hati, setiap hari lebih memilih
menjadi corong?” Jawaban pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi sebagai
pengakuan terhormat para guru untuk menilai diri dan menilai peran-peran
profesional itu. Dengan demikian, misalnya, ketika seorang guru telah
hadir di kelas, di awal pembelajaraan hari itu, tidak mengucapkan salam,
“Selamat pagi anak-anak?” Salam yang telah kehilangan makna dan
kehangatan dan setiap diucapkan semata-mata hanya konsekuensi dari
formalitas.
Di awal pelajaran, ketika pagi yang segar masih dirasakan di kelas,
seorang guru bisa mengawali pembelajaran dengan pertanyaan, “Anak-anak,
Bapak/Ibu pagi ini merasa sangat bahagia. Apakah Kalian juga merasakan
hal itu?” Pertanyaan ini dikemukakan dengan penuh motivasi, tulus,
komunikatif, dan jujur. Suasana cair pasti tercipta dan anak didik
tiba-tiba disapa dengan ucapan lain. Rasa ingin tahu anak terbit.
Barangkali anak dirangsang untuk berpikir dan menyusun pertanyaan di
otaknya, “Mengapa guru saya bahagia dan apa yang bisa diceritakannya?”
Lebih jauh dengan pertanyaan ini, “Apa rencana kalian untuk pelajaran
kita pagi ini? Adakah di antara kalian telah menyiapkan rencana hari ini
untuk kelas kita?” menjadikan tumbuhnya rasa dihargai, rasa dilibatkan,
rasa diterima, oleh gurunya, di kelas. Pertanyaan tersebut mencerminkan
sebuah kesadaran bahwa seorang guru menggunakan perspektif di luar
tradisi untuk melihat posisi anak didiknya. Mereka sama sekali bukan
botol-botol kosong. Terimplisit pula pandangan bahwa guru bersangkutan
tidak menyepelekan entry behaviour anak didiknya. Jadi, pembelajaran
sama sekali bukan sebagai ruang rutinitas yang terlampau mekanik,
menegangkan dan sesungguhnya menyiksa emosi anak didik.
Di perguruan tinggi pun tradisi akademik telah menjadi rutinitas.
Mahasiswa hanya termotivasi untuk belajar jika ada tes atau ketika
tugas-tugas telah didesak dead line. Perkuliahan diawali dengan
pertanyaan, “Apa rencana Anda untuk kuliah hari ini?” Apakah kita harus
kecewa jika pertanyaan sederhana itu tidak pernah dijawab dengan
meyakinkan oleh puluhan mahasiswa, pada suatu angkatan dan juga pada
angkatan di tahun-tahun yang lain?
Hal tersebut menunjukkan satu konsep tradisi belajar yang diikuti
oleh mahasiswa, yaitu belajar adalah kegiatan rutin yang dikendalikan
oleh program akademik kampus, yang diwujudkan di rumah-rumah kos
mahasiswa, menjadi secarik kertas tertempel di dinding, di sana jadwal
kuliah untuk satu semester dituliskan.
Mengapa para pebelajar tidak memiliki rencana belajar? Hari ini sama
sekali bukan waktu yang tersisa untuk menemukan jawaban terhadap
pertanyaan tersebut. Yang bisa dikerjakan hanya langkah-langkah kecil
untuk menyadarkan pebelajar bahwa belajar sama sekali tidak sekadar
rutinitas. Belajar harus dikaitkan dengan motivasi-motivasi internal,
belajar harus menggairahkan, belajar adalah proses memperkaya diri tidak
hanya di kelas-kelas tetapi pun di mana saja. Dengan demikian, konsep
belajar telah diperluas.
Pebelajar harus dapat membebaskan diri dari konsep-konsep sempit
tentang belajar dan pembelajaran. Dengan demikian, sama sekali tidak ada
alasan untuk menuduhkan kebodohan pada anak didik. Pendidik, perlu
sekali berani membayangkan, setiap anak didik di ruang kelasnya itu,
tampil dengan bintang menyala di keningnya. Pembelajaran sama sekali
tidak semata-mata harus dikaitkan dengan dikotomi bodoh >< pintar.
Melalui hal ini proses belajar harus ditekankan dan setiap anak, siapa
pun dia harus dilibatkan dan menikmati pengalaman belajar, juga hal yang
sama untuk para pendidik. Ikhtiar-ikhtiar positif anak harus dihargai.
Perengkingan yang selama ini hanya bagi mereka, sang juara, para bintang
di sebuah sekolah, yang didasarkan atas prestasi akademik, harus
diperluas.
Sekolah perlu menghargai setiap prestasi anak dan dinyatakan secara
terbuka, lewat takaran yang disediakan dalam simbol-simbol tertentu.
Dengan demikian, sekolah harus menghargai seorang siswa yang selalu
tampil menarik, bersih, dan sopan. Juga, mungkin, seorang siswa yang
harus bekerja untuk membiayai pendidikannya sendiri. Bisa pula mereka
yang paling sukses menyelenggarakan acara-acara perayaan sekolah. Tentu,
masih tersedia banyak kategori yang bisa dihargai.
Paham atau pandangan bahwa anak didik hanyalah botol kosong telah
menjadikan pembelajaran sebagai proses yang lewat tanpa makna-makna yang
harus dikonstruksi bersama. Bahkan pembelajar sendiri yang telah sejak
lama diobjekkan, tidak menyadari proses itu. Pembelajaran pada
prinsipnya adalah mengalami, pencarian, dan menemukan bersama-sama.
Pembelajaran sama sekali bukan penerimaan sesuatu yang sudah jadi dan
usang.
Pembelajaran adalah dialog dan monolog. Juga, pembelajaran harus
diposisikan bukan sesuatu yang parsial, dibatasi tetapi sebaliknya,
adalah aktivitas atau proses yang holistik.