TEHERAN – Sanksi lebih jauh terhadap rencana nuklir Iran tampaknya tidak akan mungkin diberikan, ujar seorang pejabat senior Rusia.
Penasihat Presiden Dmitry Medvedev, Sergei Prikhodko, mengatakan
bahwa sanksi terhadap Iran "tidak akan mungkin terjadi dalam waktu
dekat."
Komentarnya muncul saat pemerintah Iran mengatakan bahwa mereka akan
merespon sebuah proposal dari badan pengawas nuklir PBB tentang ekspor
uranium pada hari Kamis.
Barat takut bahwa Iran sedang membangun senjata nuklir namun negara itu membantahnya.
Teheran mengatakan bahwa mereka hanya akan mengayakan uranium untuk kepentingan sipil, termasuk energi.
Iran telah menjadi subyek sanksi PBB, termasuk penyelidikan finansial
dan larangan ekspor senjata, untuk pengayaan uranium di pabrik Natanz
miliknya.
Pengawas nuklir PBB, Badan Energi Atom Internasional (IAEA), telah
mengusulkan untuk mengekspor sebagian besar uranium Iran yang sudah
diperkaya ke Rusia dan Perancis, di mana uranium itu akan diubah menjadi bahan bakar dulu sebelum dikembalikan ke Iran.
Rencana tersebut disetujui oleh AS, Rusia, dan Perancis, setelah
pembicaraan di Wina, namun Iran telah melewatkan batas waktu pada hari
Jumat untuk memberikan tanggapan.
Kantor berita Iran , Mehr, melaporkan bahwa negosiator Iran di IAEA,
Ali Asghar Soltaniheh, akan bertemu dengan ketua IAEA Mohamed ElBaradei
pada hari Kamis dan memberikan tanggapan Iran terhadap pembicaraan
Wina.
Ketua kebijakan luar negeri Uni Eropa, Javier Solana, akan berbicara
dengan pemerintah Iran pada hari Rabu mengenai kesepakatan itu.
Sebelumnya ia telah mengatakan bahwa itu adalah kesepakatan yang bagus dan tidak ada membutuhkan perubahan fundamental.
Sehari sebelumnya media melaporkan bahwa Iran menginginkan perubahan
yang sangat penting terhadap kesepakatan itu sebelum mereka bersedia
menerimanya.
Menurut draft proposal, Iran akan mengirim uraniumnya yang telah
diperkaya ke Rusia dan Perancis untuk diubah menjadi bahan bakar.
Semua pihak telah mengkonfirmasi dukungannya terhadap kesepakatan
yang dianggap sebagai sebuah cara bagi Teheran untuk memperoleh bahan
bakar reaktor dan memberikan jaminan pada Barat bahwa uranium yang telah
diperkaya itu tidak akan digunakan membangun senjata nuklir.
Sementara itu, Wakil Perdana Menteri Rusia Sergei Ivanov mengatakan
bahwa rudal pertahanan udara S-300 – senjata anti pesawat tempur yang
paling canggih milik Rusia – belum dikirim ke Iran.
Iran mengindikasikan di tahun 2007 bahwa mereka akan membeli S-300.
Pada hari Rabu, Ivanonv memberitahu media bahwa "kami tidak menyuplai
S-300." Ketika ditanya apakah Rusia akan mengirimkan rudal itu ke Iran,
Ivanov mengatakan, "Belum ada pengiriman semacam itu hingga hari ini.
Dan jangan menyebutnya sebagai sistem rudal penyerang karena S-300 murni
bersifat defensif." Israel khawatir senjata itu akan digunakan untuk
melindungi fasilitas nuklir.
Namun, ia belum mengatakan apakah Rusia akan mulai menyuplai sistem S-300 di kemudian hari.
Kontrak itu menimbulkan kekhawatiran serius di Barat dan Israel
karena mereka meyakini bahwa sistem itu akan mendestabilkan kawasan dan
mereka tidak mau Teheran memiliki perlindungan dari serangan udara.
Dengan tekad Iran untuk meneruskan program nuklirnya yang kontroversial,
banyak analis yang mengatakan bahwa Israel kemungkinan akan melancarkan
serangan preemptive terhadap Republik Islam Iran.
Menurut pernyataan resmi dari militer yang dikeluarkan tanggal 22 Oktober, Rusia tidak melakukan kerjasama teknologi militer dengan Republik Islam Iran sesuai dengan hukum yang ada dan tanggung jawabnya secara internasional, dan akan terus seperti itu di masa depan.
Komentar tersebut dibuat mengenai penjualan rudal S-300 ke Iran dan
dipasang di situs resmi Federal Service for Military and Technological
Cooperation.
"Kami tidak dapat memberikan komentar mengenai rencana spesifik atau
pertanggungjawaban dalam kontrak-kontrak yang ada, karena akan sama
dengan membuktikan bahwa kami adalah rekan yang tidak dapat diandalkan
dan memberikan kesempatan bagi pesaing potensial untuk mengambil
keuntungan dari situasi tersebut."
Telah banyak dibicarakan di media bahwa Rusia dapat membatalkan kontraknya untuk mengirim sistem S-300 ke Teheran yang ditandatangani bulan Desember 2005.
RIA Novosti, mengutip analis militer Rusia Konstantin Makiyenko,
mengatakan bahwa keputusan untuk membatalkan perjanjian akan merugikan
Rusia sebesar USD 1 miliar dalam bentuk hilangnya profit dan USD 300-400
juta dalam bentuk denda dan penalti.
Namun, Interfax Agency, mengutip sebuah sumber rahasia, melaporkan
bahwa kemungkinan penolakan Moskow untuk memenuhi kontrak pengiriman
S-300 ke Iran tidak akan memberikan konsekuensi finansial yang serius
karena belum dilakukan pembayaran.
"Meskipun kontrak telah ditandatangani beberapa tahun lalu, pihak
Rusia belum mengkonfirmasi pemberlakuannya hingga sejauh ini. Karena
itu, pihak Iran belum melakukan pembayaran apa pun." Sumber rahasia ini
juga mengatakan bahwa setelah ditandatangani, kontrak militer harus
disetujui oleh pemerintah kedua belah pihak.Kecuali kedua pihak saling
menginformasikan bahwa kontrak telah diberlakukan tidak ada pembayaran
yang dibuat.
Karena situasi yang sedang berlangsung, kontrak Rusia dengan Iran
telah dibekukan dalam waktu yang tak terbatas. Kecil kemungkinan Rusia
akan secara unilateral membatalkan kontrak itu. Namun, itu akan banyak
bergantung pada situasi politik, "karena kontrak itu terhenti oleh
kesepakatan komersial semata."
S-300 adalah sebuah sistem pertahanan udara jarak jauh dengan
kemampuan menembak jatuh pesawat dan rudal dalam jarak hingga 150
kilometer. Sistem ini dimaksudkan untuk digunakan dengan sistem jarak
lebih dekat seperti Tor-M1 yang dijual Rusia ke Iran sebelumnya dalam
sebuah kesepakatan terpisah.
Washington menginginkan semua negara berhenti mengekspor senjata ke
Iran, namun Rusia dan Cina telah menentang gerakan semacam itu.

