AMSTERDAM – Militer Belanda membela sebuah
keputusan untuk memerintahkan serangan udara ke selatan Afghanistan yang
mengakibatkan tewasnya lusinan warga sipil dan menyalahkannya pada
kelompok Taliban.
Empat belas orang, termasuk enam anak-anak dan tiga wanita, terbunuh dalam serangan pada hari Rabu itu.
Menteri
pertahanan Belanda mengatakan pada hari Kamis bahwa pesawat pengebom
F-16 telah didatangkan untuk memberikan dukungan udara kepada pasuan
NATO yang memerangi pejuang Taliban di propinsi Helmand.
Kepala
staf militer Belanda, Peter van Uhm, membela serangan udara itu dan
mengatakan bahwa sang pilot telah memeriksa semua peraturan yang ada.
Ia juga mengatakan bahwa tanggung jawab atas tewasnya warga sipil terletak di tangan Taliban, bukan di tangan pasukan NATO.
Serangan udara pasukan AS sejauh ini telah membunuh ratusan warga sipil di negara tersebut.
Misi
bantuan PBB untuk Afghanistan (UN Assistance Mission in Afghanistan -
UNAMA) mencatat angka kematian warga sipil sebesar 1.500 orang antara
bulan Januari dan Agustus, dengan Agustus menjadi bulan yang paling
mematikan sejak awal 2009.
Lebih
dari 1.500 warga sipil telah terbunuh dalam enam bulan pertama tahun
2009, yang menunjukkan peningkatan sebesar 24% bila dibandingkan dengan
periode yang sama tahun lalu.
Hampir
seperempat kematian warga sipil akibat serangan udara pasukan pimpinan
AS di seluruh penjuru Afghanistan selama beberapa bulan terakhir.
Serangan
itu telah memicu kecaman dari pemerintah maupun publik Afghan.
Perkembangannya juga mulai terlihat dari perbedaan antara pemerintah
Kabul dan Washington mengenai peningkatan jumlah korban sipil dalam
beberapa tahun terakhir.
Serangan
udara mematikan itu terjadi ketika jaksa penuntut umum di Pengadilan
Kriminal Internasional (International Criminal Court – ICC) telah
mengatakan bahwa para penyelidik sedang mempelajari bukti-bukti
kejahatan terhadap kemanusiaan di Afghanistan.
Terlepas
dari keberadaan 100.000 pasukan di negara tersebut, kekerasan di
Afghanistan mencapai tingkat tertinggi sejak invasi AS tahun 2001.
Sebuah
peta keamanan oleh Dewan Keamanan dan Pembangunan Internasional
(International Council on Security and Development - ICOS) yang berbasis
di London baru-baru ini menunjukkan bahwa aktivitas Taliban hampir memenuhi 97% wilayah negara tersebut.
Jenderal
utama AS di Afghanistan, Stanley McChrystal, telah mengekspresikan
kekhawatiran mendalam tentang tumbuhnya perlawanan Taliban di negara
itu.
McChrystal
mengatakan pada ahli pertahanan dan militer di Institut Studi Strategis
Internasional di London bahwa situasinya sangat serius dan waktunya
mulai habis.
Perlawanan
semakin meningkat di bagian selatan dan timur Afghanistan di mana
Taliban telah melawan serangan pasukan koalisi dengan bom jalanan dan
penyergapan.
Tekanan
terhadap AS dan sekutu Baratnya semakin besar untuk menarik pasukan
keluar dari negara tersebut di tengah tingginya korban jiwa dari pihak
tentara asing maupun warga sipil.
Di
sisi lain, Belanda juga berada di bawah tekanan diplomatik dari AS
untuk menjaga komitmennya dalam upaya keamanan internasional di
Afghanistan setelah tanggal 1 Agustus tahun depan. Pada saat itu, peran
Belanda sebagai "negara pemimpin" di propinsi Uruzgan akan berakhir.
Penarikan
sekitar 1.300 tentara dari propinsi itu akan selesai pada 31 Desember
2009, pemerintah di The Hague telah meyakinkan parlemen. Disebutkan juga
bahwa siapa anggota aliansi yang akan dipilih untuk menggantikan posisi
Belanda sebagai pemimpin pasukan NATO berada di tangan NATO sendiri.
AS
memuji cara tentara Belanda menjalankan misinya di Uruzgan berdasarkan
model 3D (Defense atau pertahanan, Diplomacy atau diplomasi, dan
Development atau pembangunan). Duta besar baru AS untuk Belanda minggu
lalu mengatakan pada harian De Pers bahwa Belanda telah memainkan peran
kepemimpinan dengan baik dalam NATO, mendorong negara-negara lain untuk
mengikuti jejaknya.
"Karena itu, kami mengharapkan kelanjutan komitmen mereka di Afghanistan," ujar Duta Besar Fay Hartog Levin.
"Kita
memerlukan kepemimpinan militer, bantuan pembangunan, pelatihan bagi
tentara dan militer Afghan, upaya rekonstruksi – semuanya," ujarnya
melanjutkan.
Ia
menambahkan bahwa, dalam istilah diplomatik, itu terserah pada Belanda
sendiri untuk memutuskan bagaimana bentuk kelanjutan komitmen mereka.
Hampir
secara simultan, duta besar AS untuk NATO, Ivo Daalder (yang merupakan
keturunan Belanda seperti halnya Levin) mengatakan pada audiens The
Hague hal yang kurang lebih sama, namun dengan nada yang lebih halus.
"Tentara Belanda telah bekerja sangat keras, dan mencapai banyak hal dalam memimpin upaya di Afghanistan," ujar Daalder.
"Karena
itu, memutuskan tentang keterlibatan mendatang di Afghanistan, mungkin
akan adil untuk menanyakan apakah cara yang terbaik untuk melindungi
investasi ini adalah dengan terus terlibat di negara tersebut dan dengan
upaya yang sama," ujarnya.