
KENTUCKY, AS – Masyarakat suka memberi label: kulit hitam, kulit putih, Demokrat, Republikan, Protestan, Katolik, konservatif, liberal, Yahudi, Kristen, Muslim. Label yang memberitahu siapa yang sama dengan kita dan siapa yang berbeda.
Konflik manusia – sejak perang jaman dulu hingga terorisme yang
mendominasi berita utama hari ini – seringkali berasal dari orang-orang
yang terlalu fokus pada perbedaan mereka, bukan kesamaan.
Selama hampir satu dekade, sekelompok warga di Kentucky bertemu setiap bulan untuk melakukan yang sebaliknya.
Kelompok Dialog Muslim-Kristen ini tidak rumit. Satu kali tiap bulan,
beragam orang bertemu di basemen Gereja Presbiterian Hunter untuk
membahas keyakinan dan kebudayaan masing-masing serta apa yang penting
dalam kehidupan mereka.
Pertemuan bulan ini di hari Sabtu pagi lebih besar dari biasanya. Itu
adalah acara makan siang bersama Thanksgiving mereka yang kedua, dengan
ayam kalkun, saus, dan hiasan khas Amerika, ditambah beberapa menu khas
Timur Tengah.
Di antara 40 orang dalam pertemuan bulan ini, terdapat delapan
pengungsi yang baru saja pindah dari Irak. Kementerian Pengungsi
Kentucky membantu menata kembali kehidupan mereka yang berada dalam
bahaya setelah bertahun-tahun membantu para tentara dan jurnalis AS di
Irak.
Peserta lain berasal dari beragam kalangan, mulai sarjana Muslim dari
Turki hingga pensiunan Kristen, beberapa dari mereka telah tinggal dan
bekerja di luar negeri.
Penembakan massal pada tanggal 5 November 2009 di Fort Hood, Texas,
yang dilakukan oleh seorang psikiater Muslim Angkatan Darat semakin
menekankan pentingnya dialog tersebut.
"Pasca 11 September kami banyak didekati oleh orang-orang Kristen
yang ingin tahu lebih banyak tentang Islam," ujar Mohamed Nasser,
seorang Muslim dari Afrika Timur yang bekerja sebagai insinyur listrik
IBM sebelum pensiun. "Beberapa hanya ingin tahu, Kenapa kalian melakukan
hal-hal buruk ini? Namun yang lainnya ingin memahami lebih jauh."
Tujuan utama dari kelompok dialog ini adalah untuk lebih memahami.
Dengan berbicara, mengenal satu sama lain dan membangun pertemanan, para
peserta berharap dapat membantu mengatasi perbedaan budaya dan agama.
"Siapapun boleh datang dan siapapun boleh berbicara," ujar Pendeta
Philip Troutman dari Gereja Pendeta Nazarene dan mantan mantan
misionaris di Afrika yang sedang mengerjakan doktoralnya di Seminar
Teologis Asbury.
Sementara fokusnya pada dialog antara Muslim dan Kristen, kaum
Yahudi juga diperbolehkan untuk datang, dan beberapa dari mereka
terkadang juga ikut serta. Para pemimpin dialog berharap dapat mendorong
lebih banyak partipasi dari kaum Yahudi, meski mereka akui bahwa
pertemuan pada hari Sabtu - hari Sabbath Yahudi – tidaklah ideal.
"Saya mendapat banyak keuntungan hari ini," ujar Omar El Amin,
seorang Muslim. "Kami semua berbeda agama dan pemahaman. Tapi, kami
semua juga manusia dan berada di negara yang sama."
Shahied Rashid, imam jamaah Muslim di Masjid Bilal Ibn Rabah,
mengatakan banyak orang Amerika yang tidak sadar bahwa Islam adalah yang
paling sedikit memiliki perbedaan dengan Kristen, dan bahwa kaum Muslim
menantang Islam radikal dan terorisme.
"Islam memiliki banyak orang baik, orang jahat, dan orang gila," ujar
Rashid. "Sama dengan agama apa pun. Ini menekankan kembali bagi saya
bahwa identitas yang paling penting bagi setiap orang adalah manusia."
Sebelum makan siang, para peserta duduk di sekeliling meja dan
membicarakan tentang bagaimana mereka menganggap keyakinan terhadap
Tuhan lebih penting daripada menganut agama tertentu.
Peserta Muslim berbicara tentang bagaimana mereka menghargai
toleransi umat Kristen, dan peserta Kristen mengatakan bahwa mereka
mengagumi kedisiplinan kaum Muslim dan ketaatan mereka pada agama.
Beberapa dari peserta mengatakan bahwa orang-orang dari semua agama
harus lebih aktif dalam membantu masyarakat menemukan kesamaan.
"Memalukan bahwa kita harus menunggu sebuah pengeboman atau perang untuk membuat kita bersatu," ujr Troutman.