MUNICH – Seorang pakar militer terkemuka Jerman, Wolfgang Lishneger, mengatakan bahwa para prajurit Jerman yang diterjunkan di medan tempur Afghanistan memang telah menjalani pelatihan untuk membunuh warga sipil.
Hal ini terungkap setelah terjadi serangan udara NATO yang diperintahkan oleh komandan militer Jerman dan membantai warga sipil Afghanistan pada bulan September tahun lalu.
Lishneger, ketua konferensi keamanan tahunan di Munich, mengatakan:
"Jerman masih mempertahankan status khusus selama lebih ari 60 tahun
pasca berakhirnya Perang Dunia II. Akan tetapi, masih ada realitas
militer tertentu yang harus dihadapi."
Dia menambahkan bahwa para prajurit dilatih untuk membunuh
orang-orang lain, atau setidaknya mengancam orang lain yang dianggap
"memenuhi syarat" untuk dibunuh.
Sementara itu, pada hari Senin (6/6) lalu pasukan penjajah asing di
Afghanistan kembali kehilangan kekuatan. Empat orang prajurit AS tewas
karena terkena ledakan bom pinggir jalan di Afghanistan selatan.
Juru bicara pasukan bantuan keamanan internasional NATO (ISAF)
mengatakan, "Empat orang prajurit AS yang tergabung dalam pasukan
internasional, yang bertugas untuk menciptakan keamanan di Afghanistan,
terbunuh ketika sebuah bom pinggir jalan meledak di sebelah selatan
Afghanistan.
Pada pertengahan bulan Desember lalu, Kanselir Jerman, Angela Merkel,
kehilangan salah satu menterinya yang paling loyal, hanya beberapa
minggu setelah terjadi serangan udara yang merenggut nyawa waga sipil
Afghanistan.
Serangan yang terjadi di Kunduz pada tanggal 4 September tahun lalu
tersebut dilancarkan oleh pesawat tempur AS atas permintaan para
prajurit Jerman.
Serangan tersebut diperintahkan oleh Franz Josef Jung, seorang sekutu
setia Merkel dalam kabinet Jerman yang pada waktu itu menjabat sebagai
menteri pertahanan. Para politisi oposisi Jerman mendesak suksesor Jung,
Karl-Theodor zu Guttenberg, untuk mengundurkan diri. Mereka mengatakan
bahwa zu Guttenberg mengetahui kematian warga sipil tersebut, jauh lebih
awal dibandingkan dengan pengakuan yang ia berikan.
"Jika benar dia mengetahui lebih banyak dari yang ia katakan da telah
mengorbankan kepala pasukan militer, susah dibayangkan jika dia tetap
dipercaya," kata Uwe Andersen, pengamat politik dari Universitas Bochum.
Yang semakin mengobarkan amarah publik adalah kabar yang menyebutkan
bahwa anggota militer Jerman yang memerintahkan serangan udara tersebut
ternyata memang melakukannya dengan sengaja untuk membunuh pasukan musuh
di Afghanistan. Hal tersebut memantik lahirnya tudingan bahwa perintah
yang dikeluarkan telah melangkahi mandat Jerman di Afghanistan. Jan van
Aken, seorang anggota legislatif dari partai oposisi, mengatakan bahwa
menyerang warga sipil adalah sebuah hal yang tabu bagi pasukan Jerman, ia menjuluki serangan tersebut dengan nama Merkel-Kunduz gate".
Pada bulan Juli tahun lalu, para prajurit Jerman membunuh dua orang
warga sipil Afghanistan. Para prajurit mengklaim bahwa ada sebuah van
yang tidak kunjung berhenti meski sudah mendekati blokade jalan di dekat
Kunduz, Afghanistan, demikian dikatakan oleh para pejabat departemen
pertahanan.
Komandan pasukan perdamaian di Postdam, dekat Berlin, mengatakan
bahwa para anggota pasukan infanteri menembakkan tembakan peringatan ke
arah van yang memuat enam orang penumpang tersebut, yang bergerak
mendekati penghalang jalan, berdekatan dengan markas pasukan Jerman.
Para prajurit kemudia menembaki van tersebut, memaksa agar kendaraan tersebut berhenti.
Seorang pemuda terbunuh dalam van tersebut dan tiga orang lainnya
menderita luka serius akibat berondongan tembakan tersebut, mereka
menghembuskan nafas yang terakhir ketika tengah dilarikan ke sebuah
klinik yang dijalankan oleh tim rekonstruksi provinsi asal Jerman di
Kunduz.
Pihak Jerman mengklaim bahwa penggunaan senjata api sudah sejalan
dengan peraturan tempur yang diterapkan bagi para prajurit Jerman, yang
hanya diterjunkan di wilayah utara Afghanistan.