
PERANCIS - Semakin hari, kian banyak Muslim yang ingin dikebumikan di pemakaman Muslim di Perancis, yang dianggap berlawanan dengan dengan hukum. Namun, belum ada satupun pihak yang secara resmi membuat permintaan seperti itu.
Inisiatif yang
terbentuk sangatlah unik dan berisiko menyinggung sekulerisme, namun
Muslim Perancis mengatakan kebutuhan tersebut dikarenakan Islam memiliki
ritual khusus dalam melaksanakan pemakaman.
Kelompok Muslim di
Limoges terlihat aktif mencari area pemakaman yang memungkinkan untuk
diproses secara Islam di daerah Haute- Vienne.
Anggota dari AMLF
(asosiasi persaudaraan Muslim di Limoges) menyadari bahwa hukum Prancis
melarang pemakaman agama dan hanya memperbolehkan pemakaman secara umum.
Namun presiden Belabdelli sedang mungupayakan cara legal untuk membuat
pemakaman jenis itu. Dia juga berharap suatu saat nanti pemakaman
seperti itu dapat diakomodir, bukan hanya bagi Muslim namun juga bagi
umat beragama lainnya.
Sementara itu asosiasi tersebut sedang mendekati kantor daerah
setempat. Mereka menemukan sebuah daerah di Mézières-sur-Issoire.
Walikota Mézières-sur-Issoire, Pascal Godrie, menyatakan bahwa area
tersebut milik pribadi dan transaksi tidak akan dapat terlaksana.
Terdapat pemakaman
Muslim di Limoges dalam pemakaman Louyat. Namun orang yang sudah lanjut
usia seperti Mohammed Anfoud, menolak dikuburkan di sana. Pria 62 tahun
tersebut menyatakan bahwa dia ingin dikubur di Limoges di daerah tempat
tinggalnya, namun di area khusus untuk Muslim.
Sekretaris AMLF,
Mohammed Oulad Moussa menjelaskan bahwa kebanyakan orang yang sudah
lanjut usia tidak ingin dikuburkan di sebelah Yahudi, Kristen, dan
bahkan Ateis. Pada awal bulan ini, posisi radikal dari asosiasi tersebut
mengundang banyak kritik dari Ni Putes Ni Soumises dan Rasisme SOS yang
dituduh atas Sexisme dan antisemitisme.
Fethi Belabdelli
berkata kepada mereka bahwa sekulerisme juga masih menghargai agama
lain, tidak menolaknya. Mereka tidak ingin memprovokasi siapapun. Mereka
hanya merespon permintaan yang terus tumbuh dari pada tetua, yang
menjalani hidup mereka di Prancis dan tidak ingin dikubur di tempat asal
mereka, kecuali di wilayah Perancis, di Pemakaman Muslim.
Sementara itu beberapa
pelaku vandalisme diketahui menodai 148 makam Muslim di makam terbesar
di Notre Dame, mengundang kutukan dari pemerintahan dan kaum Minoritas
Muslim pada minggu, 26 Juni.
"Hal ini merupakan
rasisme yang tidak dapat dimaafkan," Presiden Nicolas Sarkozy dalam
sebuah pernyataan dari kantornya yang dikutip Agensi Pers Perancis
(AFP).
"Tindakan penuh kebencian ini juga menyerang kenangan dari semua veteran Perang Dunia, jauh melebihi kepercayaan."
Para pelaku vandalisme
menggantung kepala babi di sebuah nisan milik Muslim di pemakaman Notre
Dame de Lorette, di dekat kota utara Arras, pada Sabtu, 25 Juni lalu.
Mereka juga meneriakkan slogan yang menghina Menteri Keadilan Muslim Prancis Rachida Dati, anak dari imigran Afrika Utara.
Penuntut umum untuk Arras, Jean-Pierre Valensi mengutuk tindakan penuh kebencian ini yang dengan spesifik menarget Islam.
"Meskipun bersifat rasis, hal itu merupakan serangan kepada norma republik dan penghinaan kepada semua rakyat Perancis."
Pemakaman Notre Dame de Lorette adalah pemakaman militer terbesar di Perancis untuk memperingati korban dari Perang Dunia I.
Diresmikan pada 1925, pemakaman tersebut ditempati lebih dari 40.000 tentara, setengah darinya merupakan orang yang dikenal.
Daerah pemakaman Muslim termasuk 576 makam, dikelompokkan dan dihadapkan ke arah Mekkah.
Pemimpin dari kaum
Muslim Perancis, yang diperkirakan sejumlah enam hingga tujuh juta umat,
mengunjungi makam yang telah ternodai pada hari Minggu.
"Hal ini sangatlah memalukan, " menurut Basshine Saaidi, kepala wilayah Dewan Muslim Perancis.
"Kita harus bekerja sama…untuk menghentikan rasisme."
Dalil Boubaker, kepala dari Masjid Akbar Perancis, berpendapat serupa.
"Tindakan ini sangat penuh kebencian, dan merupakan penghinaan bagi semua umat Muslim, " menurutnya kepada radio Info Prancis.
"Makam tersebut adalah makam para pahlawan yang meninggal di medan perang."
Selama PD I, Prancis
menimbun lebih dari 600.000 subjek kolonial, termasuk Muslim dari
Algeria dan Tunisia, yang terbunuh sebanyak 78.000 jiwa.
Kelompok anti rasisme
MRAP menggambarkan serangan tersebut sebagai "pertanda kekhawatiran yang
tumbuh dengan keyakinan atas kekebalan hukum: Islamofobia."
Kelompok tersebut menekankan bahwa Perancis harus menyelesaikan permasalahan tersebut.
Serangan tersebut
terjadi hampir setahun setelah insiden serupa terjadi ketika vandal
neo-Nazi menggambar swastika di 52 makam Muslim.
Dua orang pemuda
berusia 18 dan 21, keduanya anggota ne Nazi, dipenjara selama setahun.
Seorang bocah berusia 16 tahun juga dipenjara selama 6 minggu.
Empat insiden yang juga menodai makam Muslim di daerah utara dan timur Perancis juga pernah terjadi pada 2003 dan 2004.