MOSKOW – Sebuah organisasi
keamanan milik Rusia, yang banyak dipandang sebagai kekuatan tandingan
NATO, telah mengajukan peningkatan kemampuan lembaga tersebut, terkait
kekhawatiran mengenai situasi di Afghanistan.
Nikolay Bordyuzha, Sekretaris Jenderal dari Collective Security
Treaty Organization (CSTO), yang beranggotakan Rusia dan enam negara
bekas pecahan Soviet, mengatakan: Kami telah sejak lama membicarakan
mengenai pentingnya menciptakan sebuah kelompok besar di kawasan Asia
Tengah.
“Kami memiliki satuan reaksi cepat (KSOR) dan satuan penerjunan cepat
(KSBR) di sana, yang ditujukan untuk menangani konflik lokal
bersenjata. Namun bagaimana jika seandainya kami harus berhadapan dengan
perang akbar? Jika hal itu benar-benar terjadi, maka kami akan
membutuhkan pasukan dalam jumlah yang besar,” tambahnya.
Bordyuzha menilai situasi di Afghanistan, yang berbatasan dengan zona
kekuasaan CSTO dan para anggota organisasinya adalah wilayah yang amat
genting dan berbahaya.
Para analis meyakini bahwa badan tersebut pada awalnya dibentuk untuk
mengimbangi semakin meningkatnya pengaruh dari aliansi Barat serta
kemungkinan NATO untuk melakukan ekspansi di perbatasan wilayah Rusia
yang menghubungkan Rusia, Armenia, Belaqrusia, Kazakhstan, Kyrgistan,
Tajkistan, dan Uzbekistan.
Para kontingen CSTO saat ini terlibat dalam sebuah latihan militer
skala besar di sebelah selatan Kazakhstan, dimana mereka melakukan
latihan untuk mengatasi “ancaman terorisme” dengan mempergunakan
pengeboman udara ditambah dengan batalion tank.
CSTO memulai latihan militer selama dua minggu di lokasi latihan
Matybulak, Kazakhstan, pada tanggal 2 Oktober, dengan lebih dari 7.000
orang personil gabungan dari Kazakhstan, Kyrgistan, Rusia, dan Tajkistan
yang ambil bagian dalam latihan tersebut.
Kementerian Luar Negeri Kazakhstan sebelumnya mengatakan bahwa
presiden Kyrgiztan, Tajkistan dan Armenia telah mengkonfirmasikan
kesiapan masing-masing untuk menghadiri fase puncak dari latihan
tersebut bersama dengan Presiden Dmitry Medvedev dari Rusia.
Ketika menghadiri latihan militer tersebut, Presiden Rusia, Dmitry
Medvedev, berkata: “Aliansi ini dibentuk dalam waktu yang cukup singkat,
dan hal itu harus tetap dijaga di masa mendatang.”
Sekretariat CSTO mengungkapkan bahwa latihan tersebut ditujukan untuk
melatih pengiriman pasukan dalam situasi-situasi krisis di wilayah
negara-negara anggotanya.
Perkembangan tersebut dilakukan seiring dengan aktivitas skala besar
dari militer NATO di Afghanistan, dimana Barat telah menerjunkan lebih
dari 100.000 orang prajurit, namun masih belum mampu mengatasi
‘kekerasan’ yang terjadi.
Operasi militer tersebut terus memakan korban dari kalangan sipil
sejak bulan Agustus silam, ketika sebuah laporan PBB menunjukkan angka
kematian warga sipil sebanyak 1.500 orang sejak permulaan tahun ini.
Dalam strategi keamanan Rusia yang berlaku hingga tahun 2020, yang
baru-baru ini disetujui oleh Medvedev, CSTO dianggap sebagai sebuah
mekanisme kunci untuk menangkal segala bentuk tantangan dan ancaman
militer regional.
Bulan lalu, Perwakilan Rusia untuk NATO, Dmitry Rogozin, menyerukan
kepada NATO untuk mengakui keberadaan CSTO. Menurutnya, adalah sebuah
hal yang konyol jika NATO mengabaikan keberadaan CSTO.
“Ini adalah sebuah sikap yang konyol dan tidak serius. NATO menyadari
bahwa CSTO mempersiapkan program-program untuk memastikan keamanan di
Asia Tengah. Saya berharap bahwa CSTO dan NATO akan segera
menandatangani kesepakatan dan kerjasama. Rusia menginginkan tercapainya
kesepakatan semacam itu,” katanya.
Sekretaris Jenderal NATO, Anders Fogh Rasmussen, sebelumnya
mengatakan bahwa NATO menjalin hubungan dengan negara-negara anggota
CSTO dan para perwakilan CSTO diundangn untuk menghadiri pertemuan Rusia
– NATO di Brussels.