LONDON – Beberapa hari sebelum
pecah perang Irak, pemerintah Inggris telah mendapatkan informasi dan
mengetahui bahwa pasukan Saddam Hussein tidak memiliki kemampuan untuk
menyerang dengan senjata kimia, demikian kata seorang mantan pejabat
Inggris dalam rapat panel terkait penyelidikan atas perang Irak.
William Ehrman, yang kala itu menjabat sebagai direktur keamanan
internasional di kantor menteri luar negeri Inggris, pada hari Rabu
(25/5/2011) mengatakan bahwa intelijen Inggris sudah mendapatkan
iinformasi mengenai tidak adanya senjata pemusnah massal Irak menjelang
invasi Irak – yang dipimpin oleh George W. Bush.
“Kami mendapatkan informasi bahwa tidak ada senjata-senjata kimia dan
biologis (di Irak). Dan Irak mungkin tidak memiliki alat untuk
melontarkannya. Irak juga mungkin tidak memiliki hulu ledak yang mampu
menyebarkan zat-zat kimia secara efektif,” ” kata Ehrman dalam sebuah
rapat dengar pendapat di kota London.
Namun, Ehrman mengatakan bahwa informasi tersebut tidak ada
pengaruhnya sama sekali terhadap perang. Ia melukiskan terkait
serangkaian pengarahan intelijen mengenai senjata pemusnah massal antara
tahun 2000 dan 2002 dengan sebutan pertemuan yang “sporadis”.
Dalam rangkuman informasi mengenai perang Irak tahun 2003 mengatakan
bahwa Saddam bisa saja “meluncurkan senjata pemusnah massal”, yang
diartikan oleh para pejabat sebagai senjata kimia, dalam waktu 45 menit.
Tim Dowse, seorang mantan pejabat kementerian luar negeri Inggris,
mengatakan bahwa dirinya sama sekali tidak terkejut ketika mendengar
perkiraan 45 menit tersebut. “Karena hal itu masih tampak sejalan
(dengan perkiraan pada waktu itu).”
Klaim 45 menit tersebut menyebabkan kekacauan politik di Inggris,
setelah BBC menuding bahwa data intelijen yang mengandung klaim tersebut
telah diatur sedemikian rupa demi memperkuat dukungan untuk melancarkan
perang.
Ketegangan semakin menjadi ketika David Kelly, seorang pakar senjata
pemerintah, ditemukan bunuh diri di tengah klaim yang menyebutkan bahwa
dirinya merupakan orang yang menjadi narasumber pemberitaan BBC,
sehingga membuat pemerintah melakukan penyelidikan.
Pada hari kedua penyelidikan perang Irak, panel beranggotakan lima
orang tersebut juga membahas mengenai Libya dan Iran, yang menjadi
kekhawatiran keamanan utama Inggris sebelum melancarkan invasi ke Irak.
“Dalam hal nuklir dan peluru kendali, saya rasa Iran, Korea Utara dan
Libya mungkin jauh lebih mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan
Irak.” Kata Ehrman.
Dowse menyatakan bahwa Irak “tidak berada di puncak daftar (negara)
yang menjadi kekhawatiran Inggris. Menurut saya, dalam hal kekhawatiran
pada tahun 2001. Seharusnya Libya dan Iran ditempatkan di atas Irak,”
katanya.
Dowse mengatakan bahwa mereka memang menemukan “bukti kontak antara
para pejabat Irak dan para anggota Al-Qaeda pada akhir tahun 1990.”
Namun, kontak tersebut bersifat sporadis dan hanya dilakukan sesekali.
“Sama sekali tidak terlihat seperti sebuah hubungan antara pemerintah
Irak dan Al-Qaeda.
“Setelah peristiwa 9/11, kami menyimpulkan bahwa Irak sebenarnya
melangkah mundur. Mereka tidak ingin dikaitkan dengan Al-Qaeda. Mereka
bukanlah sekutu yang alami.”
Penyelidikan yang dipimpin oleh John Chilcot, seorang mantan pejabat,
tersebut membahas mengenai alasan pembenaran untuk perang tersebut,
seberapa baik perlengkapan yang diberikan kepada militer dan pelajaran
bagi kebijakan luar negeri di masa mendatang.
Para mantan pejabat senior Inggris dari kementerian luar negeri dan
pertahanan pada hari Selasa (24/5) mengungkapkan rangkuman kebijakan
Inggris terhadap Baghdad pada awal tahun 2000.
Rapat dengar pendapat tersebut diperkirakan akan mencapai puncaknya
ketika Tony Blair, mantan perdana menteri Inggris, mendapatkan “giliran”
berbicara menjelang atau sesudah tahun baru.