Ia pun menganggap isu itu tidak bisa dipertanggungjawabkan dan tak perlu ditanggapi.
Sebelumnya, Al Jazeera melaporkan adanya sejumlah jenderal
purnawirawan yang secara diam-diam mendukung kelompok Islam garis keras
untuk memicu kekerasan antarumat beragama. Hal ini bagian dari rencana
untuk menggulingkan presiden.
"Mereka muak dengan kebohongan Presiden," kata Al Jazeera, mengutip pernyataan pemimpin Gerakan Reformasi Islam Chep Hernawan.
Koresponden Al Jazeera, Step Vessen, mengatakan, laporan bahwa sebuah
kelompok garis keras memiliki pendukung yang kuat "telah terkonfirmasi
untuk pertama kalinya". Kelompok itu dikaitkan dengan jumlah serangan
terhadap kelompok beragama, termasuk jemaat Kristiani dan Ahmadiyah.
Sebelumnya, Chep mengatakan, para purnawirawan jenderal itu telah
mencoba menggunakan sejumlah isu, termasuk korupsi, guna memicu
penolakan terhadap presiden.
Saat dihubungi Kantor Berita Kompas.com kemarin, mantan Kepala Staf
TNI Angkatan Darat Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto juga menganggap kata
"kudeta" menyesatkan. Menurutnya, para purnawirawan memang memendam
kekecewaan atas pemerintahan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, kudeta bukan menjadi pilihan.
"Kata-kata kudeta bisa menyesatkan. Berlebihan. Kita proporsionallah bahwa kami menginginkan perubahan, ya," kata Tyasno.
Mengenai tercantumnya sejumlah nama jenderal purnawirawan dalam
daftar DRI yang beredar, ia mengaku tidak tahu sama sekali. "Saya tidak
tahu-menahu tentang adanya DRI. Saya tidak mengerti dan tidak pernah
dihubungi juga. Kalau nama saya tercantum, itu tanpa sepengetahuan
saya," ujarnya.
Ia juga membantah sinyalemen yang dilansir sebuah media bahwa para
jenderal purnawirawan berada di belakang aksi-aksi kekerasan terhadap
kelompok minoritas. Kekecewaan terhadap pemerintahan SBY, kata Tyasno,
sudah disampaikan melalui saluran yang semestinya, baik kepada Presiden
SBY maupun jenderal purnawirawan lain yang saat ini duduk di Kabinet
Indonesia Bersatu II.
"Saya tidak mengerti, kenapa diisukan merancang kerusuhan di
Cikeusik, Temanggung, dan sebagainya, tidak ada sama sekali, tidak ada.
Itu fitnah saja," kata Tyasno.
Sementara itu, Wakil Ketua DPD RI Laode Ida mengatakan, isu kudeta
yang berembus santer belakangan ini hanya merupakan perang urat saraf
untuk mengganggu ketentraman berpikir pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY).
"Isu kudeta atau penggulingan kekuasaan
pemerintah hanya isu pinggiran yang menimbulkan keresahan di kalangan
orang-orang sekeliling SBY," kata Laode.
Namun, perlu diingat
bahwa imajinasi berpikir kudeta tidak muncul sekonyong-konyong,
melainkan berlandaskan kekecewaan masyarakat, termasuk dari kalangan
purnawirawan militer.
"Kalangan purnawirawan militer menilai SBY
tidak mampu menunjukkan kinerja seorang figur militer yang ideal. Dia
dinilai peragu, tidak tegas dan hanya mengejar popularitas," kata Laode.
Tetapi, kekecewaan purnawirawan militer tidak memiliki kekuatan untuk
menggulingkan kekuasaan pemerintah karena sulit menkonsolidasikan
kekuatan di kalangan militer aktif.
"Tidak ada keretakan dalam
institusi militer aktif. Semua masih dikendalikan pucuk pimpinan
masing-masing kekuatan yang bertanggungjawab kepada panglima tertinggi
yakni Presiden," katanya.
Demikian halnya dengan konsolidasi
elemen gerakan sosial dari kekuatan rakyat tidak mengkristal sehingga
tidak ada alasan kuat untuk menyatakan militer turun tangan mendukung
aspirasi rakyat.
Ia mengemukakan, sejarah kudeta seperti yang
terjadi di Mesir dan sejumlah negara di Timur Tengah bersumber dari
gerakan rakyat kemudian ditopang kekuatan militer hingga berakhir dengan
runtuhnya kekuasaan.
Sedangkan di Indonesia, lanjutnya, tidak
ada keretakan dalam institusi militer dan tidak ada konsolidasi gerakan
sosial dari kekuatan rakyat yang mengkristal.
Selain keadaan dalam negeri, kudeta terhadap pemerintahan yang sah turut dipengaruhi oleh faktor internasional.
"Di mata dunia internasional, riak-riak atau isu kudeta pemerintah
hanya dipandang sebagai dinamika demokrasi dan Presiden SBY dianggap
pintar dan baik," kata Laode.