Sebuah paket bom meledak pada hari selasa kemarin 15/3/2011 pukul
16.05 tepat di dalam komplek Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur. Bom
tersebut meledak setelah Kompol Dodi Rahmawan berusaha menjinakkan
melalui alat manual. Sebelumnya, paket ini dikirim oleh seseorang atas
nama Drs. Sulaiman Azhar Lc (diduga fiktif) yang berisi buku berjudul
“Mereka harus di bunuh karena dosa-dosa mereka terhadap Islam dan Kaum
Muslimin”.
Banyak dari sebagian kalangan kemudian melihat bahwa bom ini
ditujukan untuk Ulil Abshar Abdala, mengingat bahwa pada paket tersebut
ada nama pentolan Jaringan Islam Islam (JIL) tersebut. Namun
pertanyannya betulkah Ulil menjadi target sesungguhnya dari paket ini,
atau mungkin Ulil hanyalah representasi dari proyek Liberalisme yang
menjadi tujuan sesungguhnya.
Ulil Hanyalah Simbol
Apapun spekulasi yang beredar, kejadian ini secara tidak langsung
berimbas pada kenaikan popularitas JIL. Semenjak gerak JIL dibatasi oleh
MUI dengan vonis haram Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme
(SEPILIS) tahun 2005, pentolan-pentolan JIL memang seperti tidak
terdengar lagi gaungnya. Aliran dana kepada JIL dikabarkan diberhentikan
oleh fihak sponsor karena JIL dinilai gagal melakukan misi dari empunya
proyek.
JIL dikabarkan tidak cukup mampu masuk ke mesjid-mesjid dan meraih
“mic-mic” untuk menyebarkan faham liberal. Saat itu kekuatan finansial
JIL sudah mulai goyah. Mereka mengalami kehabisan cara bagaimana
menyebarkan proyek-proyek SEPILIS yang ini akan berdampak pada kucuran
dana lembaga-lembaga asing sebagai prasyarat tetap ngebulnya dapur Utan
Kayu.
Sejalan dengan hal itu, pendeknya nafas JIL diperparah dengan
hantaman yang datang bertubi-tubi untuk menghalau serangan libralisme
yang amat baik dimainkan oleh Front Pembela Islam dan Forum Umat Islam
baik pada level gerakan maupun kajian. Karena itu, penulis melihat bom
ini jika memang terkait skenario tersebut (baca: memmpopulerkan kembali
SEPILIS), sejatinya tujuan bom bukanlah ditujukan pada diri pribadi
Ulil.
Nama Ulil menjadi terlalu sangat besar dipertaruhkan dengan
kehancuran yang diakibatkan. Ketika kita bicara dalam level pemaknaan,
Ulil tidak lain hanyalah simbol gerakan liberalisme Islam dari cover
depan SEPILIS. Mengenai pertanyaan kenapa mesti Ulil yang dituju? Ini
sebenarnya terkait dengan semakin naik daunnya pamor Ulil pada paruh
2010 hingga awal-awal tahun 2011(baca: isu reshuffle). Setelah dipecat
dari Harvard University, nama Ulil melambung sebagai petinggi DPP Partai
Demokrat.
Berkaca daripada itu, kiprah Ulil selama ini belum bisa ditandingi
oleh aktifis JIL lainnya. Abdul Moqsith Ghazali, Luthfie Asy Syaukanie,
atau Novriantoni Kahar dinilai masih kalah kelas dari Ulil melekat
sebagai ikon “pembaharuan”. Jika Abdul Moqsith lebih aktif pada wilyah
akademis, Ulil banyak berkecimpung pada domain praktis dari mulai Ketua
Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia)
Nahdlatul Ulama, staf peneliti di Institut Studi Arus Informasi (ISAI),
serta Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).
Akhirnya menjadi beralasan ketika Ulil digadang-gadan sebagai pewaris
pembaharu pemikiran Islam setelah Cak Nur (Nurcholish Madjid).
Menyambung pada tesis ini, menjadi keniscayaan ketika kita kemudian
mendengar pernyataan Abdul Moqsith Ghzali (Aktifis JIL) kemarin sore
bahwa adanya bom ini sejatinya ditujukan kepada Jaringan Islam Liberal,
dan bukan pada personal Ulil.
"Ini teror bukan hanya kepada Ulil (Ulil Abshar Abdalla)," kata Abdul Moqsith di lokasi ledakan bom, Utan Kayu, Jakarta, Selasa 15 Maret 2011.
"Ini teror bukan hanya kepada Ulil (Ulil Abshar Abdalla)," kata Abdul Moqsith di lokasi ledakan bom, Utan Kayu, Jakarta, Selasa 15 Maret 2011.
Moqsith melanjutkan bahwa teror dan intimidasi sudah biasa diterima
oleh aktifis JIL. Bentuknya bisa melalui pesan singkat, pesan di
facebook dan twitter. "Bukan hanya sekedar intimidasi tapi ancaman
pembantaian kepada seseorang," jelasnya.
Dari Bentuk Simpatis Ke Kampanye SEPILIS
Nah, pertanyaannya kemudian adalah apa ekses dari ini semua? Apa
ekses dari meledaknya bom di Utan Kayu dengan kaitannya dengan pembumian
isu-isu liberalisasi? Tidak lain karena kejadian ini kontan akan
melahirkan “marketing isu” yang seksi dan penting untuk karir
Liberalisme Islam ke depannya. Bahwa eforia simpati masyarakat akan
mengalir kepada JIL sebagai institusi yang terzholimi di tengah
kiprahnya menyuarakan Pluralisme, Kebhinekaan, dan Hak Asasi Manusia,
menjadi tidak terelakkan.
Dan kita khawatir daya tawar SEPILIS akan semakin tinggi untuk
diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Ini bisa dibuktikan dari
statement-stament pasca kejadian ini.
Aliansi Jurnalis Independen, misalnya, mengecam pengiriman paket bom yang ditujukan kepada tokoh Jaringan Islam Liberal Ulil Absar Abdalla. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia Nezar Patria, mengatakan teror bom itu serangan brutal terhadap kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi.
Aliansi Jurnalis Independen, misalnya, mengecam pengiriman paket bom yang ditujukan kepada tokoh Jaringan Islam Liberal Ulil Absar Abdalla. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia Nezar Patria, mengatakan teror bom itu serangan brutal terhadap kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi.
“Dari paket yang dikirimkan si pelaku jelas bertujuan membungkam Ulil dengan cara membunuhnya,” kata Nezar Patria, Selasa 15 Maret 2011. Nezar menilai Ulil sebagai tokoh pemikir islam yang kritis dan gigih menganjurkan keberagaman di Indonesia.
Selain itu sekarang televisi nasional mulai menghadirkan pembicara yang juga memiliki concern terhadap isu pluralisme, kebebasan, dan juga liberalisasi.
Dalam teori kultur, budaya Indonesia memang sangat memungkinkan
optimalisasi simpati publik terhadap individu terzhalimi. Ruang nurani
masyarakat potensial tersentuh ketika melihat warganya mengalami bentuk
intimidasi dan kesewenangan-wenangan.
Kita masih ingat kasus Juli 1996. Seperti diketahui, peristiwa 27
Juli 1996 adalah peristiwa pengambil-alihan paksa kantor DPP Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat
itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh
massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta
dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.
Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di
Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat.
Beberapa kendaraan dan gedung terbakar. Apa yang terjadi setelah itu?
Simpati publik mengalir deras kepada Megawati dan berbuah titik
kulminasi setelah Megawati membentuk PDI Perjuangan dan berahasil meraih
dominasi suara pada pemilihan umum 1999.
Simpati publik juga sempat melambungkan nama Soesilo Bambang
Yudhoyono (SBY) pada era kepresidenan Megawati. Kita ketahui bersama,
Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Kabinet Gotong-Royong
tersebut mengundurkan diri dari jabatannya karena merasa tidak dipercaya
lagi oleh Presiden Megawati Soekarno Putri.
Surat permintaan pengunduran dirinya dikirim kepada Presiden, Kamis
11 Maret 2004 pagi, setelah sebelumnya ia menyurati presiden,
mempersoalkan kewenangannya yang "dipreteli", tapi tidak ditanggapi oleh
Megawati. Keberpihakan publik menjadi cair dan mengalir untuk
mengkonstruk SBY sebagai Ikon “tertindas” dan kemudian menemukan
muaranya persis hampir sama dengan Megawati dengan Juli 1996-nya, yakni
saat Pemilihan Presiden 2004.
Inilah kalkulasi dari keberpihakan publik yang bisa dimainkan oleh
JIL. Isu-isu Cikeusik Pandgelang, Pembubaran Ahmadiyah, bisa menjadi
sasaran empuk untuk melanjutkan tongkat estafet “kezhaliman” umat
terhadap isu-isu pluralisme Agama.
Ledakan BNN dan Kewaspadaan Labelisasi Gerakan Islam
Selain di Utan Kayu, paket bom juga dikirimkan ke Badan Narkotika
Nasional (BNN) di Cawang Jakarta Timur. Paket tersebut ditujukan untuk
Kepala Badan Narkotika Nasional Gregorius Mere, atau yang sering dikenal
sebagai Gories Mere.
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Baharudin Djafar, polisi
tengah menyelidiki kasus tersebut. Baharudin mengatakan petugas polisi
sudah mendatangi BNN. "Saya belum tahu terkait hal itu, namun saya
dengar ada anggota ke sana," ujar dia ketika dihubungi VIVAnews.com di
Jakarta, Selasa, 15 Maret 2011.
Namun siapakah Goris Mere sebenarnya? Kenapa Goris juga menjadi
sasaran untuk sama-sama dikirimi paket bom seperti Ulil, mengingat dua
orang tersebut berada pada wilayah berbeda. Kita ketahui bersama,
sebelum berkiprah di BNN, Goris pernah bertugas di detasemen 88. Nama
Goris Mere menjadi santer disebut Abu Bakar Ba'asyir sebagai aktor di
belakang penangkapan dirinya. Ia bersama Densus 88 anti teror Polri
berperan banyak hingga dirinya ditangkap.
Hal itu diucapkan langsung Ba'asyir saat menyampaikan eksepsi sebagai
terdakwa dalam kasus terorisme di PN Jaksel, Kamis (24/2/2011). "Densus
88 mempunyai pasukan khusus satgas anti bom di bawah komando Gories
Mere. Semua saksi-saksi sudah disiapkan dengan tekanan Densus 88. Dalam
kasus Aceh ini orang-orang yang jadi saksi saya juga mengadapi siksaan,"
kata Ba'asyir seperti dikutip inilah.com.
Penulis menduga bahwa pada akhirnya, kedua bom ini akan dikaitkan
pada kesamaan motif bahwa kelompok–kelompok yang concern terhadap isu
SEPILIS juga mendukung aksi terorisme. Lalu apa hubunganya dengan BNN?
Kita lupa salah satu tuduhan kepada kelompok Aceh selama ini adalah
operasional pendanaan yang dialiri oleh penanaman ladang Ganja.
Pengamat teroris Mardigu Wowiek Prasantyo, misalnya, seperti dikutip
antaranews, 13/3/2010 pernah menduga kelompok teroris membangun basis
latihan di Provinsi Aceh karena bisa mendapat sumber pendanaan dari
ladang ganja yang banyak terdapat di propinsi itu. Dikatakan Mardigu, di
Provinsi Aceh yang kondisi alamnya perbukitan dan masih banyak hutan
sangat mungkin membangun ladang ganja untuk membiayai latihan dan
operasi kelompok teroris.
Pengamat yang mendalami ilmu terorisme di Amerika Serikat ini
mencontohkan, gembong mafia di Kolombia Pablo Escobar disinyalir menjadi
donatur yang sering mendanai kegiatan teroris melalui bisnis narkoba.
Tuduhan Mardigu itu ditampik oleh Anggota Komisi I DPR dari daerah
pemilihan Aceh, Azwar Abubakar pernah meragukan jika ladang ganja
menjadi sumber pembiayaan kelompok teroris di Aceh. Menurut Azwar,
seperti dikutip antaranews.com 13/3/2010 kelompok teroris di Aceh masih
relatif baru sehingga belum sempat membangun ladang ganja.
Pertimbangan lainnya kelompok teroris membangun basis di Provinsi
Aceh, kata dia, karena kontur alamnya yang berbukit dan masih banyak
kawasan hutan, sehingga lebih leluasa untuk lokasi bersembunyi.
Oleh sebab itu, kita patut bersiap diri jika isu ini akan merembet ke
seluruh gerakan Islam yang ada. Menuduh gerakan-gerakan atau kelompok
Islam yang menyuarakan kritik tajamnya terhadap Pluralisme Agama dan
Liberalisme Islam dengan stigma pedas berupa blok anti perbedaan, pelaku
keonaran, hingga teroris.
Yang juga harus kita cermati ialah dengan kejadian ini otomatis akan
semakin terbuka lebarnya kampanye pluralisme agama dibalik kedok
kebhinekaan, keberagaman sebagai antisipasi agar tak lahir kembali
kejadian serupa di Utan Kayu, padahal akidah dan tauhid adalah elemen
terpenting bagi umat Islam. Dan kita mesti bersiap diri mendengar
kalimat-kalimatnya: “Jangan menghakimi akidah orang lain, sebab yang
tahu akidah manusia hanya Tuhan. Yang anti pluralisme itu teoris.”Cukup sudah..