skip to main |
skip to sidebar
Wanita Dalam Sejarah Hidup Nabi Musa
Sejarah tak luput mencatat, bagaimana Musa dan para wanita yang berjasa dalam hidupnya. Musa AS dilahirkan saat kondisi sedang pelik. Rasa takut firaun akan tahtanya membuatnya bertindak tiran dan sewenang-wenang di muka bumi. Setiap bayi laki-laki yang lahir ke dunia patut di sembelih, adapun bayi perempuan dibiarkannya hidup.
“Ikutilah jejaknya!”(QS. Al-Qoshos:11) suruh Ibu Musa terhadap anak perempuannya (Saudari Musa). Ini dia, saudara perempuan Musa, wanita kedua dalam kisah hidup Musa. Dengan amanah, dia mengikuti jejak musa sampai penyusuran jejaknya itu akhirnya mengantarkan ia ke istana firaun, dan ia dapati saudara laki-lakinya tengah berada di pangkuan istri sang penguasa tiran, Firaun. Bagaimana bisa? Jawabannya hanya satu, sungai telah memainkan perannya dengan baik, sungai tidak khianat dengan suruhan Allah yang Maha berkuasa. Jika mau, boleh saja sungai menelan bayi mungil itu, namun ternyata Allah telah menyuruhnya dengan tugas khusus, yaitu mengantar bayi kecil ke sisi wanita mu’minah lainnya (Istri Firaun). Keluarlah akhirnya musa dari kota tersebut (kota Memphis), tanpa bekal, dan tanpa seseorang yang menunjuki jalan, karena tuntutan tiba-tiba yang membuatnya tidak sempat mempersiapkan apapun. Langkah kakinya menyisir gurun, menapak jejak, akhirnya mengantarkan Musa ke sebuah negeri di antara negeri Syam (Irak, Iran,…) dan Hijaz, yaitu kota Madyan. Kita tidak tahu, seberapa lama musa berjalan, kita pun tidak tahu seberapa banyak bahaya yang mengancamnya selama perjalanan, Al-Quran menjelaskan cerita secara singkat, karena tujuan dari Kisah-kisah Al-Quran itu adalah Mengambil Ibrah atau pelajaran dan nasihat di balik kisah Nabi Musa ini, bukan sekadar hafalan data-data sejarah. Kebaikan benar-benar datang kepada Musa tanpa harus menunggu berhari-hari, hitungannya hanya menit saja, tibalah pertolongan Allah kepadanya. Setelah Musa sampai ke rumah kedua perempuan itu, bertemulah Musa dengan Ayah keduanya, Sedangkan kedua perempuan tersebut berada di samping ayahnya. Ia (perempuan tersebut) melihat ada sebuah kesempatan baginya dan bagi saudarinya untuk istirahat dari lelah dan penatnya pekerjaan mengembala kambing, oleh karenanya salah seorang dari kedua perempuan berkata “…Wahai Ayah, jadikanlah ia sebagai pekerja kita, sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja pada kita adalah orang yang kuat dan dapat di percaya”.(QS. Al-Qoshos: 26) Keduanya telah menyaksikan sendiri kejujuran orang asing ini (Musa), kemaskulinan (kelaki-lakiannya), dan kebaikan akhlaqnya dengan tidak meminta upah sedikit pun sesaat setelah Musa membantu mereka berdua, oleh karenanya jadilah dalam pandangan mereka berdua Musa sebagai sebaik-baik pemuda. Apa yang dirasakan kedua perempuan itu, dirasakan pula oleh ayah keduanya, memang benar, orang asing ini (Musa) selain butuh tempat berlindung, pun dapat diperbantukan untuk pekerjaannya menggembala kambing, dan pada saat yang sama pula, orang tua tersebut memiliki dua anak perempuan yang salah satu dari keduanya sudah dirasa cukup untuk menikah, dan juga agar keberadaan Musa di rumahnya tidak mengundang desas desus dan bisik-bisik tetangga, oleh karenanya, menikahkan salah satu dari keduanya dengan ketentuan bekerja beberapa tahun adalah solusi jitu dan pas. Berkatalah orang tua tersebut “Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah engkau mendapatiku termasuk orang yang baik.(QS. Al-Qoshos: 27)
Musa menerima perjanjian itu, ia berkata “…Itu perjanjian antara aku dan engkau, yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku lagi, dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan”.(Al-Qoshos: 28) Ketiga, keduanya tinggal dalam lingkungan keberhalaan. Pada zaman Nabi Yusuf keberhalaan dan kerusakan moral sudah mencapai puncaknya, pun begitu pula pada zaman Nabi Musa, namun walaupun demikian, Allah telah menjaga kehidupan keduanya dari keterlibatan dengan penyembahan berhala dan kerusakan moral yang merajalela.
Keempat, Setiap fase dari kehidupan dua Nabi ini selalu mengantarkan keduanya pada kondisi yang berbeda bahkan perubahan drastis amat sangat terlihat dari sejarah hidup keduanya. Yusuf hidup dengan nyaman di istana raja Mesir, kedekatan Yusuf dengannya layaknya seorang anak dengan ayahnya, semua kenikmatan hidup ia rasakan di dalamnya, pun begitu pula dengan Nabi Musa, dia termasuk anak angkat firaun, dibesarkan di istananya dan sudah barang tentu sempat mencicipi aneka kenikmatan hidup di dalamnya. Namun ternyata, keduanya mesti kehilangan semua kenikmatan hidup itu. • Semestinya bagi seorang wanita, ketika ia hendak meninggalkan rumahnya dan menuju tempat lain, baik terjun ke medan kerja, atau sekadar bepergian, berdua lebih baik dari pada sendiri. Kita lihat dalam Kisah tersebut, dua orang perempuan kakak beradik, keluar menuju medan kerja, walaupun boleh jadi orang tuanya yang sudah lanjut usia sangat membutuhkan salah satu dari keduanya untuk hanya sekadar mengambilkan minum, menyuapi makan atau yang lainnya, namun kita lihat bagaimana keduanya keluar bersama-sama agar dapat saling membantu satu sama lain, sehingga tidak membutuhkan bantuan dari orang asing, lebih khusus lagi bahwa karakter dasar pembentukan wanita yang tidak sekuat laki-laki menjadi sebab akan butuhnya seseorang yang menemani dan membantu dalam beberapa pekerjaannya. • Kita lihat bagaimana keduanya tidak mau berdesak-desakan, dan ini dijelaskan oleh kata-kata mereka berdua “Kami tidak bisa memberi minum ternak-ternak kami sebelum orang-orang itu memulangkan ternak mereka (setelah selesai dari memberi minumnya)….”. Seperti telah dijelaskan, bahwa desak-desakan bagi seorang wanita adalah hal yang membuka celah terjadinya sesuatu yang tidak mengenakkan hati, kecuali jika berdesakan di tengah kerumunan sesama wanita, namun lebih utama dijauhi. Hal yang membuat saya miris adalah ketika kebanyakan mahasiswi kita di Kairo, ikut berdesak-desakan di Bus, karena memang di sini transportasi agak sulit, bukan karena kekurangan unit kendaraan/angkutan, namun karena padatnya populasi penduduk. Wanita berdiri di dekat pintu masuk bus sambil kakinya yang sebelah mengambang di udara akan Anda dapati di sini, dan yang berbuat seperti itu rata-rata mahasiswi Indonesia, oleh karena itu tingkat kriminal pemuda Mesir terhadap mahasiswi Indonesia cukup masuk catatan, pun begitu pula terhadap ras Melayu yang lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan Singapore.