Reshuffle Kabinet

Written By Juhernaidi on Rabu, 20 Oktober 2010 | 12:06:00 AM


Jakarta - Partai Golongan Karya -tepatnya fungsionaris Partai Golongan Karya- mengusulkan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II setelah Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan
dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pimpinan Kuntoro Mangkusoebroto menyampaikan hasil penilaiannya bahwa 25 persen kinerja menteri kurang memuaskan.

Presiden Yudhoyono sendiri belum pernah sekalipun menanggapi isu reshuffle kabinetnya. Isu reshuffle kabinet semakin santer ketika Achmad Mubarok dengan gaya komunikasi khasnya menyatakan bahwa akan ada reshuffle kabinet, bisa satu, bisa dua dan bisa lima menteri yang akan direshuffle.

Kini menjelang satu tahun pemerintahan Yudhoyono-Boediono, reshuffle kabinet kembali
menjadi kalimat mantra yang sakti, menyihir jagat politik Indonesia kontemporer. Mengapa? Lantaran reshuffle kabinet menjadi hak prerogatif presiden, yang merupakan
kekuasaan mutlak presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain.

Apakah reshuffle kabinet adalah kalimat mantra sakti sebagai gertak politik atas manuver politik partai koalisi yang sering merepotkan pemerintah? Atau reshuffle kabinet hanya isu politik yang menjadi pengalihan isu atas berbagai tuntutan dan kritik yang makin meluas dari kelompok oposisi menjelang satu tahun pemerintahan Yudhoyono-Boediono juga berbagai persoalan yang silih berganti tak kunjung terselesaikan, dari krisis pangan dengan melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok, masalah perbatasan dan kedaulatan bangsa, krisis energi, dan semakin menurunnya kepercayaan publik kepada pemerintah atas berbagai krisis penegakkan hukum dan korupsi di Indonesia.

Hak Prerogatif Presiden

Bila reshuffle dapat diartikan sebagai a reshuflle in the government atau suatu perubahan di dalam pemerintahan, maka reshuffle kabinet dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia dikenal dengan pemberhentian menteri.

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa menteri diberhentikan dari jabatannya oleh presiden karena: (a) mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis; (b) tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara berturut-turut; (c) dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; (d) melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; atau (e) alasan lain yang ditetapkan oleh presiden.

Kekuasaan Presiden Republik Indonesia sebagai kepala negara sering disebut dengan 'hak prerogatif presiden' yang diartikan sebagai kekuasaan mutlak presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri adalah salah satu kekuasaan presiden yang mandiri, ialah kekuasaan yang tidak diatur mekanisme pelaksanaannya secara jelas, tertutup atau yang memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada presiden.

Jika Presiden Yudhoyono menggunakan hak prerogatifnya dalam kesempatan kali ini hanya dapat mengacu pada alasan lain yang ditetapkan oleh presiden sebagaimana ketentuan undang-undang. Namun, akan lebih tepatlah kiranya jika Presiden Yudhoyono melakukan reshuffle kabinet sebagai jawaban atas ketidakpuasan publik terhadap kinerja menteri selaku para pemimpin pemerintahan dalam bidang masing-masing.

Jawaban Ketidakpuasan Publik

Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) telah mengumumkan beberapa rapor merah para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, di antaranya di lingkungan Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra), Kementerian Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Koordinasi Ekonomi, Keuangan dan Industri (Kemenko Ekuin), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU).

Apakah rapor merah beberapa kementerian dapat dijadikan dasar bagi Presiden Yudhoyono untuk melakukan reshuffle kabinet? Tentu saja dapat dijadikan salah satu kriteria. Namun lebih dari itu, jika Presiden Yudhoyono menggunakan hak prerogatifnya maka kriteria paling utama hendaklah merupakan penguatan soliditas pemerintahan koalisi yang dibentuknya.

Pemerintahan koalisi dibawah pimpinan Presiden Yudhoyono harus memastikan loyalitas
partai politik yang berkoalisi dan menempatkan kadernya dalam posisi menteri agar memberikan loyalitas serta dukungan politiknya terhadap kebijakan yang diambil. Acapkali beberapa partai koalisi berseberangan secara politik dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Hal ini tampaknya bukan saja terlihat tidak etis tetapi dapat mempengaruhi kinerja pemerintah.

Proses check and balance atau fungsi kontrol yang dilakukan oleh parleman memang tetap diperlukan di DPR, akan tetapi partai koalisi mesti memiliki etika politik dalam melakukan proses kontrol terhadap pemerintah, tidak boleh asal berseberangan dengan kebijakan pemerintah apalagi dijadikan sebagai alat bargaining kekuasaan. Lebih dari itu, para menteri juga mesti memiliki loyalitas dan kinerja di dalam memacu jalannya roda pemerintahan. Jabatan menteri memang merupakan jabatan politis, akan tetapi para menteri adalah eksekutor paling terdepan dalam menentukan keberhasilan capaian kinerja pemerintahan.

Menteri bukan manajer tetapi para pemimpin pemerintahan di bidangnya masing-masing,
bukan sekadar pengamat yang memaparkan banyaknya berbagai persoalan yang dihadapi berkaitan dengan kesejahteraan: dari gagal panen, krisis pangan, gagalnya target pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang menyebabkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 gagal, rakyat di 100 kabupaten di Indonesia kelaparan, kekurangan gizi yang tidak mencapai prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di atas prevalensi nasional dan berbagai masalah kesejahteraan dan masalah sosial lainnya yang mencatatkan adanya 232 ribu anak di Indonesia yang menggelandang di jalanan.

Para menteri adalah para pemimpin yang dapat menjawab berbagai harapan masyarakat dengan menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan dengan program jangka pendek, menengah dan Jangka Panjang, lebih-lebih masalah yang tengah dihadapi langsung oleh masyarakat dengan Membangun Kebudayaan (Jati Diri) Bangsa Indonesia (MKBI),  Membangun Kedaulatan Bangsa Indonesia (MKBI) dan Membangun Kesejahteraan Bangsa Indonesia (MKBI).

Apapun target politik Partai Golongan Karya, pernyataan Achmad Mubarok, bantahan dari para petinggi Partai Demokrat, sikap 'nothing to lose' para pimpinan partai koalisi bila kader partainya direshuffle dari kabinet, jika Presiden Yudhoyono melakukan reshuffle kabinet semestinya sebagai jawaban ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah.

Selanjutnya, ada reshuffle kabinet atau pun tidak ada reshuffle kabinet, kritik dan koreksi dari partai yang tidak berkoalisi dan gerakan oposisi mesti pula terus disuarakan sebagai check and balance serta kontrol terhadap kekuasaan. Inilah indahnya demokrasi.

Simulasi Jangka Sorong