Guru Perlu Terus Menerus Belajar

Written By Juhernaidi on Rabu, 30 Juni 2010 | 12:40:00 PM

APA yang dikatakan Pengamat pendidikan Dr Mochtar Buchori mengemukakan, banyak guru memiliki kewenangan formal sebagai guru profesional, akan tetapi mereka tidak memiliki kemampuan nyata untuk mendemonstrasikan profesionalismenya. Ilmu pengetahuan kini berkembang cepat, sehingga pengetahuan yang dikuasai seorang guru usang setelah dua tiga tahun meninggalkan bangku kuliah.

Apalagi guru sudah meninggalkan almamaternya supuluh, dua puluh bahkan tiga puluh tahun, mana mungkin ilmu yang diperolehnya melalui dosennya tidak lagi up to date. Akan terlihat secara jelas guru-guru yang bertugas di daerah-daerah terpencil, di pedalaman, bagaimana ia akan memperoleh pengetahuan baru, untuk membeli buku-buku bidang ilmunya saja memerlukan waktu dan biaya untuk memperolehnya.

Oleh karena itu konsep penguasaan bidang pengetahuan diberi makna yang statik. Mereka harus menguasai sejumlah materi yang sudah ditakar sebelum dapat lulus dari lembaga pendidikan guru, mereka pada waktu mengecap pendidikan sudah diberi bekal dari dosen dengan sejumlah pengetahuan, keterampilan, sehingga tugas dan tanggungjawab merekalah untuk dapat diaplikasikan dan diimplementasikan di lapangan kelak.

Pengetahuan dan keterampilan yang sudah mereka peroleh semasa dalam pendidikan bisa saja pada kondisi kini berubah, dan tidak semua konsep pengetahuan itu statis.

Apalagi yang menyangkut sosial sains, karena kajian ini selalu berkaitan dengan kondisi manusia, masyarakat dan sistem pemerintah, sistem politik, dan sebagainya, maka tentu dengan sendiri akan berubah sesuai dengan era global dan kondisi masa sekarang.
Kesalahan konsep penguasaan ilmu pengetahuan yang harus dimiliki seorang guru perlu dikoreksi. Ketika perkembangan ilmu masih lamban, seorang guru dapat dianggap telah menguasai suatu bidang ilmu bila menyelesaikan masa studinya.

Akan tetapi untuk saat ini, setelah terjadi ledakan ilmu pengetahuan, seseorang hanya dapat dikatakan menguasai bidang pengetahuan bila ia dapat terus-menerus belajar tanpa bantuan orang lain. ”Kemampuan ini tidak tumbuh dengan sendirinya tetapi harus dipupuk secara sistematis. Calon-calon guru harus dibimbing untuk mengembangkan learning capability sewaktu belajar di lembaga pendidikan guru,”

Perlunya perubahan konsep kemampuan pedagogi, didaktik, metodil yang harus dimiliki seorang guru. Kemampuan pedagogi selama ini diartikan sangat sempit: kemampuan menyampaikan pembelajaran semata, akan tetapi pada kondisi sekarang, guru tidak saja dituntut untuk memiliki kemampuan atau kompetensi pedagogi, didakti, metodik saja, akan tetapi juga dituntut kemampuan sosial, kepribadian dan profesional, sebagaimana yang sudah menjadi dasar dalam sertifikasi guru.

Kemampuan pedagogi harus mencakup konsep kesiapan mengajar. Kesiapan mengajar tidak hanya ditunjukkan dari penguasaan pengetahuan dan keterampilan mengajar tetapi juga sejauh mana guru mampu menyerap kultur keguruan. Kultur keguruan merupakan seluruh nilai yang mendasari perilaku guru dalam melaksanakan pekerjaannya dan sikap seorang guru terhadap pekerjaannya. Kultur keguruan akan tetap melekat pada masing-masing guru, di mana saja,kapan saja dan oleh siapa saja, karena kultur keguruan ini tidak mengenal waktu dan tempat. Oleh sebab itu, tepatlah seperti diungkapkan pepatah bahwa ”guru digugu dan ditiru”.

Kegagalan guru memahami dinamika masyarakat akan melahirkan guru yang tidak sinkron dengan harapan masyarakat sekitarnya. Ini ditunjukan oleh ke-tidakmampuan guru di dalam memahami kompetensi sosial, karena guru tidak terlepas akan tanggungjawab sosialnya. Tanggungjawab guru tidak hanya di lingkungan sekolah, akan tetapi juga dimasyarakat luas.
Demikian pula halnya dengan kegagalan di dalam lingkungan kolega, ketidak harmonis dengan pimpinan, orang tua/wali murid dan ini tidak terlepas dari kompetensi kepribadian seorang guru.

Seorang guru tidak hanya dituntut kemampuannya mentransfer pengetahuan dan membimbing anak belajar. Guru harus bisa berbagi pengetahuan, berbagi kebodohan, berbagi keresahan dan harapan dengan generasi muda sehingga muncul interaksi yang mengilhami transformasi masyarakat.

Profesionalisme guru sebaiknya tidak dipahami dari perspektif pendidikan yang mekanis-berhavioralistik. Dalam perspektif itu, akan menjauhkan peran guru untuk melakukan gerakan sosial mendorong kehidupan demokrasi yang lebih adil.

Guru profesional adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yaitu bahwa dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik untuk atau dalam belajar. Guru dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar. Maka apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebab kegagalan dan mencari jalan keluar bersama dengan peserta didik; bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya.

Proses mendampingi peserta didik adalah proses belajar. Karena sekolah merupakan medan belajar, baik guru maupun peserta didik terpanggil untuk belajar. Guru terpanggil untuk bersedia belajar bagaimana mendampingi atau mengajar dengan baik dan menyenangkan; peserta didik terpanggil untuk menemukan cara belajar yang tepat.

Medan belajar adalah medan yang menyenangkan, bukan menyiksa apalagi mengancam. Oleh karena itu, yang harus terlibat dalam medan belajar adalah hati atau lebih daripada budi.***

Simulasi Jangka Sorong