Eksploitasi Ketakutan Masyarakat
Setelah Suara Islam menelusuri bebagai dugaan tersebut diatas,
penulis berupaya mengurai beberapa kemungkinan yang terjadi. Pertama,
rupanya teror bom yang belakangan terjadi merupakan tahapan-tahapan
yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang sedang mengeksploitasi
ketakutan publik. Ada tangan-tangan tidak terlihat (the invisible hands)
yang berupaya menciptakan suasana psikologis yang menakutkan di
tengah-tengah masyarakat Indonesia sehingga dapat dimanfaatkan menjadi
sebuah dorongan untuk memojokan dan mendudukan masyarakat ke dalam
suasana darurat nasional, sehingga mereka memandang polisi dan
intelijen perlu diperkuat. Ini dijadikan legitimasi dari publik
digunakan untuk menerbitkan Rancangan Undang-Undang tertentu.
Belakangan tersiar kabar bahwa RUU Intelijen dan RUU Keamanan Nasional
alot dibahas karena disinyalir membutuhkan sebuah stimulus khusus yaitu
situasi yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat, biasanya berupa
kericuhan atau ketakutan yang meluas secara nasional dan disetiap level
masyarakat.
Hal ini akhirnya terbukti manakala pemerintah Indonesia meningkatkan
pengamanan secara nasional di seluruh Indonesia menjadi Siaga Satu,
satu hari menjelang perayaan Paskah.
Dalam konferensi pers yang diadakan setelah Rapat Jajaran Keamanan
di kantor Presiden Jakarta, Kamis (21/4/2011), Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) memerintahkan aparat keamanan TNI dan Polri “Siaga
Satu” menjelang perayaan Paskah. Rapat tersebut dihadiri oleh Menteri
Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto
didampingi Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Kapolri Jenderal
Polisi Timur Pradopo, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI
George Toisutta, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Imam
Sufaat, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Sutarman dan Pangdam Jaya Mayjen
TNI Waris, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) Ansyad
Mbai, serta Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Menurut Djoko, Siaga Satu
diberlakukan diseluruh wilayah Indonesia.
Hal ini tak pelak membuat beberapa kalangan mengkritik kebijakan
tersebut sebagai sesuatu yang konyol dan sengaja dibuat-buat untuk
kepentingan pihak tertentu. Padahal menurut Mayor Jenderal (Purn) TB
Hasanuddin, Siaga satu hanya boleh diumumkan oleh kepala negara, bukan
oleh pembantu atau menterinya. Siaga satu dinyatakan bila negara dalam
keadaan perang, diprediksi akan terjadi perang, dipredikasi ada ancaman
agresi dari negara luar, atau diprediksi negara dalam keadaan berbahaya.
Siaga satu, lanjutnya, juga bisa digunakan bila terjadi satu bencana
alam yang besar di satu wilayah. Namun, siaga satu dalam kategori ini
tidak diterapkan di seluruh Indonesia dan hanya diterapkan di wilayah
yang mengalami bencana tersebut. Dalam keadaan siaga satu, 100 persen
TNI dan polisi standby di markas masing-masing dengan senjata lengkap di tangan, bekal makanan untuk 1×5 hari, pakaian dua setel, dan satu jaket.
“Nah saya tidak mengerti, siaga satu sekarang hanya karena bom di
Serpong, hanya karena Jumat Agung. Saya tidak mengerti kenapa SBY
memberlakukan siaga satu. Padahal dia juga jenderal yang tahu aturan
ini. Adakah serangan dari luar? Adakah Dewan Revolusi Islam mengepung
istana? Adakah mantan Prajutit TNI yang siap menyerang?” Kata TB
Hasanuddin, yang juga Wakil Ketua Komisi I DPR dalam sebuah diskusi di
Doekoen Coffe, Pancoran, Jakarta Minggu (24/4/2011).
Dalam teori Spectrum Conflict Model, intelijen bisa saja memainkan kondisi atau suasana destruction level pada tingkat tertentu, sehingga terjadi sebuah probability
untuk mengambil suatu tindakan khusus. Namun, sayangnya masyarakat
cukup kritis dan mengacuhkan variabel-variabel tersebut. Media nasional
sekuler yang biasanya sigap mendukung isu-isu teror pun lengah sehingga
operasi mengeksploitasi ketakutan ini harus berakhir dengan kegagalan.
Operasi semacam ini sebenarnya merupakan modus lama yang digunakan
pada masa Orde Baru. Rekayasa dengan menciptakan sebuah peristiwa untuk
tujuan propaganda. Provokasi semacam ini, di dalam panduan latihan
Angkatan Darat disebut sebagai kegiatan intelijen standar. Disebutkan
dalam panduan tersebut bahwa diantara sejumlah kegiatan intelijen yang
bisa dilaksanakan, terdapat kegiatan “menciptakan dan mematangkan
suasana atau situasi yang mendukung kepentingan dan pelaksanaan
pertahanan keamanan.”
Amerika Serikat (AS) pasca serangan 11 September 2001 (peristiwa
9/11), bahkan secara sempurna menjalankan misi rekayasa tersebut.
Setelah mengeksploitasi ketakutan masyarakat dengan peristiwa 9/11,
pada 26 Oktober 2001 Pemerintah AS pimpinan G.W. Bush mengesahkan
undang-undang yang diberi nama USA PATRIOT Act yang berarti: Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act of 2001.
Atau Bersatu memperkuat Amerika dengan menyediakan peralatan untuk
mencegah dan menggagalkan tindakan terorisme. US-PATRIOT Act adalah
sebuah Undang-Undang (UU) federal AS yang memberikan wewenang (penuh)
kepada pemerintah AS untuk mengatasi terorisme dan memberikan kekuasaan
penuh kepada FBI untuk memimpin pengawasan (Surveillance)
terhadap seluruh penduduk AS. Dalam konteks ini, intelijen AS
sebenarnya mengalami kemunduran yang sangat curam. Negara yang
dipuji-puji sebagai pembela HAM ternyata bisa menangkap orang hanya
dengan berlandaskan kecurigaan saja, istilah semacam ini dikenal
sebagai one percent doctrine.
Produk Bermerek Terorisme
Kedua, terorisme yang identik dengan bom, jika dilihat sebagai
sebuah daur produk memiliki beberapa merek dagang. Pertama merek dagang
kelompok lama atau Jamaah Islamiyah (JI) dan yang kedua merek dangang
kelompok baru yang sekarang diidentikan dengan kelompok Negara Islam
Indonesia (NII).
Sebagai sebuah produk, terorisme dalam merek kelompok lama JI
ternyata sudah habis daur produknya. Dengan begitu dapat dikatakan
bahwa JI adalah proyek yang hampir selesai. Jika berlama-lama berkutat
pada urusan JI saja, aparat bisa dinilai tidak mampu. Hal ini sangat
berkaitan dengan reputasi aparat dan daur produk JI yang sudah expired. Merek
kedua adalah NII. NII adalah sebuah isyarat ataupun alibi bahwa jika JI
bisa diatasi masih banyak akar terorisme baru. Ini juga sebagai upaya
pihak-pihak tertentu menjaga sumber dana untuk membiayai pemeliharaan
aparat, propaganda war on terrorism agar terus selalu
berkembang. NII sebagai produk baru tentu saja membutuhkan pemasaran
yang baik. NII dipasarkan melalui pemberitaan televisi dan media Koran.
Produk ini berhasil di launching bersamaan dengan bom yang
terjadi di masjid Mapolres Cirebon Kota, Jumat (15/4/2011) dan paket
bom yang ditemukan di jalur pipa gas Serpong, Tangerang, pada Kamis
(21/4/2011) yang berada di dekat gereja Christ Cathedral. Munculah
dugaan-dugaan dan spekulasi bahwa yang melakukan aksi teror bom
tersebut adalah kelompok baru yang merupakan kelompok NII Jawa Barat.
Ini berarti oprasi tahap awal sukses.
Dalam agenda ini NII diklaim sebagai generasi baru terorisme.
Generasi baru NII ini diidentikan dengan anak-anak muda terdidik,
paling rendah mempunyai gelar sarjana. Kemudian pelaku yang
disebut-sebut sebagai otak dan pemrakarsa adalah Pepi Fernando Alumni
UIN Syarif Hidayatullah yang bekerja sebagai wartawan. Dalam satu
kegiatan, terpendam banyak motif dan agenda yang siapkan. Pepi yang
disebut sebagai kalangan terpelajar dan bekerja sebagai wartawan
merupakan sebuah signal bahwai aktivis ataupun gerakan mahasiswa Islam
yang ada di kampus-kampus harus bersiaga dan berjaga-jaga manakala
menjadi target buruan intelijen ataupun aparat keamanan atas
kejadian-kejadian teror yang mungkin akan kembali datang lagi dimasa
yang akan datang. Begitu juga dengan kalangan wartawan ini juga
merupakan signal pemberangusan, ada joke atau semacam candaan bahwa
Pepi saja yang wartawan infotainment bisa di tangkap apalagi wartawan yang identik dengan gerakan Islam.