Pertanyaan-pertanyaan di atas terdengar ironi, terutama bila dikaitkan dengan peristiwa Bom Jum’at di Masjid Az-Dzikra, Kompleks Mapolresta Cirebon, 15 April 2011 lalu. Tragedi bom Jum’at, terjadi sekitar pukul 12.17 WIB disaat khatib menyelesaikan khutbah Jum’at. Saat khatib turun mimbar, pelaku maju ke shaf kedua berjejer dengan Kapolresta Cirebon, AKBP Herukoco. Dan saat takbiratul ihram, bom di tubuh pelaku meledak hingga menewaskan pelaku dan melukai puluhan jamaah shalat Jum’at, termasuk Kapolresta Cirebon.
Dalam keterangan kepolisian berdasarkan tes DNA, ciri-ciri tubuh
dan kesaksian keluarga, pelaku bom bernama Muhammad Syarif, seorang
yang memiliki semangat keagamaan yang tinggi, tapi lemah pengetahuan
agama.
Adalah mustahil, tanpa pemicu ideologi kemarahan, seorang Muslim nekad melakukan tindakan kamikaze,
meledakkan bom di depan mihrab masjid di saat hendak menunaikan shalat
Jum’at. Sebab, Al-Qur’an melarang merusak tempat ibadah, sekalipun
tempat ibadah non Islam, sebagaimana firman Allah: “….Sekiranya Allah
tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain,
tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja,
rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya
banyak disebut nama Allah.” (Qs. 22: 40).
Lalu, bagaimana meluruskan terorisme berbasis agama, tanpa
deradikalisasi yang mendiskreditkan syari’at Islam? Tulisan di bawah
ini, mencoba mengurai benang kusut ideologi teroris berbasis agama,
berdasarkan telaah serius terhadap terjemah harfiyah ‘Al-Qur’an dan Terjemahnya’
yang diterbitkan Departemen Agama RI. Dalam kaitan ini, akan diuraikan
kesalahan terjemah ayat Qur’an, bukan kesalahan tafsir, oleh tim
penerjemah Depag RI, menggunakan metode komparasi dengan terjamah
tafsiriyah.
Ideologi Teroris
Jika Muhammad Syarif dan mereka yang sepaham dengannya, melakukan tindakan kamikaze,
meledakkan bom untuk membunuh sasaran yang diklaim sebagai musuh, dan
merasa mendapat pembenaran dari kitab suci Al-Qur’an. Bukan karena
Al-Qur’an memerintahkan demikian, melainkan karena terjemahan yang
salah terhadap ayat Qur’an, lalu siapa yang bertanggungjawab?
Pemerintah, Majelis Ulama, tokoh-tokoh Islam, adalah yang paling
bertanggungjawab, karena membiarkan terjemah Qur’an yang salah beredar
bebas, tanpa koreksi.
Tidak diragukan lagi, mayoritas umat Islam bangsa Indonesia
memahami Al-Qur’an melalui terjemahan. Dan terjemah Al-Qur’an yang
paling otoritatif secara kenegaraan adalah Qur’an Terjemah yang
dipublikasikan oleh Departemen Agama. Hampir semua terjemah Qur’an di
Indonesia merujuk pada Al-Qur’an dan Terjemahnya versi Depag.
Namun, setelah melakukan penelitian dan kajian seksama terhadap Al
Qur’an dan Terjemahnya versi Depag RI, yang dilakukan Amir Majelis
Mujahidin Muhammad Thalib, ditemukan banyak kekeliruan dan penyimpangan
yang sangat fatal dan berbahaya; baik ditinjau dari segi makna lafadh
secara harfiyah, makna lafadh dalam susunan kalimat, makna majazy atau haqiqi, juga tinjauan tanasubul ayah, asbabun nuzul, balaghah, penjelasan ayat dengan ayat, penjelasan hadits, penjelasan sahabat, sejarah dan tata bahasa Arab.
Alih-alih meluruskan pemahaman kaum Muslimin Indonesia, justru
terjemah Qur’an ini mengandung kesalahan yang dapat menimbulkan salah
faham terhadap kitab suci umat Islam; seolah-olah Al-Qur’an melegalkan
terorisme dan menebarkan kebencian pada pihak lain.
Dan inilah yang kerap diisukan oleh aparat intelijen dan agitator
liberal untuk meneriakkan ketakutan, perasaan terancam sebagai cermin
dari sikap paranoid terhadap tuntutan penegakan syari’at Islam. Seakan
terorisme yang berkembang di Indonesia secara simplistik dianggap buah
dari pemahaman radikalisme Islam. Dari simplikasi tersebut muncul
kategorisasi Islam moderat versus Islam radikal, sikap eksklusif vs
inklusif, ideologi nasional vs transnasional dsbnya.
Secara prinsipil, terdapat ratusan terjemah ayat Qur’an, berkaitan
dengan aqidah, ekonomi, hubungan sosial antar pemeluk agama, dan jihad,
yang berpotensi memicu radikalisasi teroris. Sinyal berbahaya ini dapat
dikemukakan beberapa ayat yang diterjemahkan secara salah, antara lain:
Pertama, “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah)….” (Qs. 2:191)
Kata waqtuluhum, yang diterjemahkan bunuhlah, dalam
bahasa Indonesia berkonotasi individual, bukan antar umat Islam dengan
golongan kafir. Jelas, terjemah harfiah semacam ini sangat membahayakan
hubungan sosial antar umat beragama. Seolah-olah setiap orang Islam
boleh membunuh orang kafir yang memusuhi Islam di mana saja dan kapan
saja dijumpai.
Kalimat “bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka” dapat
dipahami bahwa membunuh musuh di luar medan perang dibolehkan. Jika
pemahaman ini diterjemahkan dalam bentuk tindakan, maka sangat
berbahaya bagi ketenteraman dan keselamatan kehidupan masyarakat,
karena pembunuhan terhadap musuh di luar medan perang sudah pasti
menciptakan anarkhisme dan teror. Dan ini bertentangan dengan syari’at
Islam. Oleh karena itu terjemahan yang benar, secara tafsiriyah adalah:
“Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh kalian di mana pun
kalian temui mereka di medan perang dan dalam masa perang. Usirlah
musuh-musuh kalian dari negeri tempat kalian dahulu diusir…”
Kedua, pada tarjamah harfiyah Depag: “Apabila
sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin
itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah
mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan
mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan.” (Qs. 9:5).
Kesalahan yang sama juga ditemukan pada terjemah Qs. 9:29. Apabila
orang yang tidak memahami ajaran Islam, mengamalkan ayat ini sesuai
terjemah Qur’an Depag, niscaya dapat mengancam hubungan sosial Muslim
dengan Non muslim. Karena, setelah lewat bulan-bulan haram, yaitu bulan
Sya’ban, Dzulqa’idah, Dzuhijjah dan Muharram, setiap orang dapat
berbuat sesuka hatinya untuk membunuh siapa saja yang dianggap musuh
Islam dari golongan musyrik, baik di Makkah maupun di luar Makkah.
Padahal, perintah dalam ayat ini adalah untuk memerangi kaum
musyrik di kota Makkah yang mengganggu dan memerangi Rasulullah Saw.
dan para sahabat. Jadi, bukan perintah membunuh, tetapi memerangi.
Membunuh dapat dilakukan oleh perorangan tanpa perlu ada komando dan
pengumuman kepada musuh. Sedangkan perang wajib terlebih dahulu
diumumkan kepada musuh dan dilakukan di bawah komando khalifah atau
kepala negara.
Maka terjemah tafsiriyahnya adalah: “Wahai kaum mukmin, apabila
bulan-bulan haram telah berlalu, maka perangilah kaum musyrik Makkah
yang tidak mempunyai perjanjian damai dengan kalian di mana saja kalian
temui mereka di tanah Haram. Perangilah mereka, kepunglah mereka,
kuasailah mereka, dan awasilah mereka dari segenap penjuru di tanah
Haram. Jika kaum musyrik Makkah itu bertobat, lalu melakukan shalat dan
menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya.
Ketiga, tarjamah Harfiyah Depag: « Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”. (Qs. 29:6)
Kata jihad secara umum berkonotasi ofensif, menyerang pihak lain.
Padahal ayat ini turun pada fase Makkah, bersifat defensif, belum
diperintahkan menyerang pihak lain yang memusuhi Islam. Karena itu,
kata jihad dalam
ayat ini harus dibatasi pengertiannya secara khusus, yaitu berjuang
menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsu.
Bila kata jihad pada ayat ini dipahami sebagai tindakan ofensif,
menyalahi fakta sejarah Nabi saw. di Makkah, dan bisa menimbulkan sikap
agresif kepada kalangan Nonmuslim dalam masyarakat.
Maka tarjamah tafsiriyahnya: “Siapa saja yang berjuang menegakkan
agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya, maka ia telah berjuang
untuk kebaikan dirinya sendiri. Sungguh Allah sama sekali tidak
membutuhkan amal kebaikan semua manusia.”
Adalah penting disadari, bahwa maraknya berbagai aliran sesat yang
mengatasnamakan agama, berupa radikalisme, termasuk liberalisme, dan
tekstualisme, dikhawatirkan sebagai dampak negatif dari penerjemahan Al
Qur’an yang salah ini.
Maka, kewajiban pemerintahlah mengoreksi dan meluruskan terjemah
Al-Qur’an ini, dan menghentikan peredaran Qur’an dan Terjemahnya yang
diterbitkan Depag; supaya mereka yang anti Qur’an tidak mempersepsikan
ayat-ayat di atas sebagai pemicu terorisme. Dan bagi generasi Muslim
militan, tidak memosisikan ayat tadi sebagai pemebenaran atas tindakan
teror yang marak di negeri ini. Wallahu a’lam bis shawab!