
Salah satu diantara kader-kader komunis itu adalah Wikana. Soe Hok Gie dalam bukunya, Orang-Orang Kiri Di Persimpangan Kiri Jalan,
berkesimpulan bahwa terdapat sejumlah kader komunis yang bekerja keras
sekali untuk melincinkan jalannya Proklamasi. “Tanpa Wikana dan juga Mr
Subardjo jalannya proklamasi kemerdekaan tidaklah akan begitu berjalan
lancar,” kata Gie.
Sayang, sejarah resmi Indonesia
mengabaikan fakta ini. Kita tidak perlu heran, jangankan orang-orang
komunis, Soekarno pun pernah dihapus perannya di sekitar Proklamasi
Kemerdekaan[1]. Memang, seperti dikatakan George Orwell,
“cara paling efektif untuk menghancurkan rakyat adalah dengan
mengingkari serta menghapuskan pemahaman mereka atas sejarahnya
sendiri.”
Anak Priayi Berpikiran Revolusioner
Wikana lahir tanggal 16 Oktober 1914 di
Sumedang, Jawa Barat. Ayahnya, Raden Haji Soelaiman, adalah seorang
priayi dari Demak, Jawa Tengah. Ia merupakan anak keempatbelas dari
enambelas bersaudara.
Salah seorang kakaknya, Winanta, adalah
salah satu tokoh pemimpin PKI di tahun 1920-an. Namun, akibat
pemberontakan PKI yang gagal tahun 1926/1927, Winanta turut dibuang ke
Boven Digul. Wikana banyak belajar politik dari kakaknya itu.
Wikana mengenyam pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) dan dan MULO(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs).
Di sekolah, Wikana dikenal sebagai anak yang cerdas. Tahun 1932, Wikana
lulus dari MULO. Tahun itu juga ia terjun ke gelanggang politik. Ia
bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo).
Benedict Anderson melalui bukunya, Revoloesi pemoeda: pendudukan Jepang dan perlawanan di Jawa 1944-1946,
menceritakan bahwa Wikana sempat menjadi anak didik Bung Karno. Wikana
juga sering menulis di koran yang diasuh oleh Bung Karno, Fikiran Rakjat.
Pada tahun 1937, beberapa pentolan
Partindo dan aktivis komunis berkolaborasi membentuk organisasi bernama
Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Partai ini sangat anti-fasis
dan berhalua kiri. Wikana segera bergabung pula dengan organisasi ini.
Ia dipercaya sebagai Ketua Barisan Pemuda Gerindo.
Saat itu, seperti diyakini oleh Soe Hok
Gie, Wikana sudah menjadi kader komunis di Gerindo. Namun, karena
aktivis komunis masih dikejar-kejar oleh Belanda, PKI bergerak ilegal.
Namun, supaya propaganda PKI tetap hidup, mreka menerbitkan koran
“Menara Merah”.
Wikana menjadi agen penyebaran “Menara
Merah” di Jawa Barat. Ia di bawah koordinasi tokoh PKI bernama Pamoedji.
Bulan Juni 1940, koran gelap tersebut tercium Belanda. Satu juta
eksemplar disita oleh pemerintah kolonial. Sejumlah aktivis ditangkap
karena dianggap penyebar koran terlarang ini. Diantaranya: Wikana, Adam
Malik dan Pandu Kartawiguna. Ia baru keluar penjara setelah Jepang
menduduki Indonesia tahun 1942.
Pelakon Di Seputar Proklamasi
Di bawah pendudukan Jepang, Wikana
bekerja di grup Kaigun (angkatan laut Jepang). Di grup Kaigun ini juga
ada Ahmad Subardjo, pentolan Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda.
Menurut penuturan Sidik Kertapati dalam “Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945”,
aktivitas Wikana di Kaigun mendapat restu dari PKI. “Di dalam
pekerjaannya itu, Wikana biasanya membicarakan segala sesuatunya dengan
Aidit,” kata Sidik Kertapati. Supaya aktivitasnya tidak terendus, Wikana
menggunakan nama samaran “Raden Sunoto”.
Untuk menyaingi Rikugun (Angkatan Darat
Jepang) dengan Institut politiknya yang bernama “Angkatan Baru
Indonesia”, Kaigun juga membentuk Institut politik bernama “Indonesia
Merdeka”. Pimpinannya dipegang oleh Wikana. Institut ini rajin menggelar
pendidikan politik bagi pemuda-pemudi. Bung Karno dan Bung Hatta sering
diundang sebagai pengajar di Institut ini.
Di bulan Agustus 1945, kekuatan fasisme
Jepang mulai berada di bibir kehancuran. Tanggal 11 dan 12 Agustus 1945,
mahasiswa-mahasiswa di Ikadaigaku mulai mendengar kabar kekahalan
Jepang dari kaum pekerja Indonesia di radio militer Jepang.
Tanggal 14 Agustus 1945, berita
kekalahan Jepang mulai tersiarkan luas. Sehari kemudian, di Asrama
Baperki (Badan Perwakilan Pelajar Indonesia), di Tjikini 71, terjadi
pertemuan atas inisiatif Aidit. Usai pertempuan itu, Aidit menghubungi
Wikana untuk hadir dalam pertemuan yang lebih besar di belakang Institut
Bakteriologi Pegangsaan.
Wikana menghadiri pertemuan itu. Hadir
pula pemuda lainnya, seperti Chaerul Saleh, Aidit, Djohar Nur, Pardjono,
Armansjah, Subadio, Suroto Kunto, Sudewo, dan lain-lain. Pertemuan
inilah yang melahirkan keputusan untuk segera memproklamirkan
Kemerdekaan.
Pertemuan itu kemudian mengutus Wikana,
Aidit, Subadio, dan Suroto Kunto untuk menemui Bung Karno. Wikana tampil
sebagai juru-bicaranya. Kepada Bung Karno, Wikana menyampaikan hasil
rapat, bahwa Bung Karno harus segera mengumumukan Proklamasi Kemerdekaan
pada tanggal 16 Agustus 1945.
Menanggapi permintaan pemuda, Bung Karno
mengaku tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Ia meminta diberi
kesempatan untuk merundingkan hal itu dengan pemimpin lainnya, termasuk
Bung Hatta.
Sayang, hasil perundingan tokoh itu
cukup mengecewakan. Para tokoh itu menolak keinginan para pemuda. Bung
Hatta, yang mewakili tokoh itu, mengaku tidak bisa melangkahi Jepang.
Wikana dan Aidit kemudian pulang tanpa
hasil. Keduanya segera melaporkan hal itu ke grup pemuda di Tjikini 71.
Pertemuan yang lebih luas kembali digelar. Para pemuda bersepakat bahwa
proklamasi kemerdekaan tetap harus dilakukan. Namun, kali ini tidak
menunggu para tokoh, termasuk Bung Karno, melainkan langsung oleh
“Rakyat Indonesia”.
Namun, untuk mencegah reaksi Jepang,
pemuda bersepakat untuk mengungsikan Bung Karno dan Bung Hatta ke
Rengasdengklok, Jawa Barat. Daerah itu merupakan pusat gerakan
anti-fasis. Itulah yang kemudian dikenal sebagai “Peristiwa
Rengasdengklok”.
Wikana sendiri tidak ikut dalam
rombongan yang membawa Bung Karno ke Rengasdengklok. Di rumahnya, di
Jalan Garuda 60, Wikana menggelar pertemuan dengan sejumlah pemuda,
seperti AM Hanafie, Aidit, Pardjono, Djohar Nur, dan lain-lain, untuk
persiapan kemerdekaan.
Namun, rupanya, para pemuda berhasil
mencapai kesepakatan dengan Bung Karno dan Bung Hatta di Rengasdengklok.
Akhirnya, Proklamasi kemerdekaan bisa dilangsungkan tanggal 17 Agustus
1945.
Berakhir Tragis
Tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan,
ada keinginan membentuk Partai Negara sebagai alat pemersatu bangsa.
Partai itu mengambil nama Partai Nasionalis Indonesia. Tanggal 27
Agustus 1945, nama Wikana tercantum dalam kepengurusan PNI. Tetapi, usia
PNI tidak lama karena ide partai negara ditolak banyak pihak.
Tanggal 1 September 1945, bertempat di
markas Menteng 31, para pemuda sepakat membentuk Angkatan Pemuda
Indonesia (API). Wikana ditunjuk sebagai Ketuanya. API memainkan peranan
penting dalam aksi-aksi perebutan perusahaan Belanda di masa awal
Revolusi. Diantaranya, aksi perebutan Perusahaan Jawatan Kereta Api.
Pada 10-11 November 1945, di Jogjakarta,
berlangsung Kongres Pemuda Indonesia. 29 organisasi pemuda ikut dalam
Kongres itu, termasuk API. Wikana menjadi delegasi API. Dalam pertemuan
itu, 7 organisasi pemuda sepakat melebur membentuk Pemuda Sosialis
Indonesia (Pesindo). Wikana terpilih menjadi salah seorang wakil ketua.
Pada bulan Maret 1946, Kabinet Sjahrir
yang kedua dibentuk. Saat itu, Wikana mendapat posisi sebagai Menteri
Negara. Pada Oktober 1946, di kabinet ke-III Sjahrir, Wikana kembali
mendapat posisi Menteri Negara. Kabinet inilah yang melakukan
perundingan dengan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat.
Bulan Juni 1947, Kabinet Sjahrir jatuh
akibat mosi tidak percaya dari sayap kiri. Bung Karno kemudian menunjuk
Amir Sjarifuddin, seorang tokoh PKI, membentuk Kabinetnya. Saat itu,
Wikana kembali mendapat posisi sebagai Menteri Negara. Namun, di Kabinet
Amir yang ke-II, Wikana menduduki posisi Menteri pemuda.
Namun, kabinet Amir pun jatuh karena
perjanjian renville dan manuver sayap kanan. Kejatuhan Amir sekaligus
menandai berakhirnya “pemerintahan sayap kiri” di Indonesia. Hatta
kemudian membentuk Kabinet Baru tanpa menyertakan kaum kiri. Sementara
itu, kaum kiri yang sudah bernaung di bawah Front Demokrati Rakyat (FDR)
makin mengambil posisi berjarak dengan pemerintah.
Pada akhir Februari 1948, Bung Hatta
memulai pukulannya terhadap kaum kiri. Saat itu keluarkan Penetapan
Presiden No. 9 tahun 1948, yang di dalamnya mengatur soal reorganisasi
tentara. Disusul Penetapan Presiden No.14 tahun 1948 tentang
rasionalisasi tentara.
Kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi
(Rera) Bung Hatta itu dianggap oleh kaum kiri sebagai “red drive
proposal”-nya imperialisme AS. Pada kenyataannya, Rera ini memang
melucuti laskar-laskar rakyat, terutama laskar kiri. Peristiwa inilah
yang berujung pada Peristiwa Madiun 1948. Ribuan kader PKI dibunuh saat
itu.
Wikana sempat menghilang pasca peristiwa Madiun. “Kita nggak
ketemu dua tahun,” ujar Lenina Soewarti, anak Wikana, kepada majalah
Historia. Tahun 1953, Wikana sempat menjadi anggota Konstituante. Pada
kongres PKI ke-4 tahun 1954, Wikana masuk CC-PKI. Wikana juga sempat
menjadi anggota DPA pada 1963. Lalu, pada 1965, ia menjadi anggota MPRS.
Menjelang peristiwa G.30/S, Wikana
berserta beberapa delegasi PKI lainnya pergi ke Peking untuk menghadiri
perayaan hari Nasional Cina 1 Oktober 1965. Ia kembali ke tanah air 10
Oktober 1965. Tiba di bandara Kemayoran, Wikana langsung ‘diambil’
tentara.
Namun, Wikana masih sempat dilepas.
Namun, Juni 1966, Wikana kembali diambil lagi oleh tentara. Sejak itulah
Wikana tidak kembali lagi. Keluarganya pun tidak tahu di mana rimbanya.
Wikana “dihilangkan” oleh militer pendukung orde baru.