Di tengah gencarnya peperangan antara kubu al-haq dan kubu
a-bathil, banyak pemuda muslim yang bangkit semangatnya dan bersiap
menerjuni kancah jihad fi sabilillah melawan pasukan
salibis-zionis-paganis internasional. Mereka memiliki dasar pemahaman
tauhid dan wala’ wal bara’ yang cukup baik. Namun seringkali hal itu
tidak diimbangi dengan pemahaman fiqih waqi’ (memahami realita), fiqih awlawiyat (memahami skala prioritas), fiqih mashalih wal mafasid (menimbang aspek maslahat dan kerusakan), dan siyasah syar’iyah (politik sesuai aturan syariat) yang baik.
Akibatnya, karena masalah-masalah sepele, mereka sering terjerumus
dalam perbedaan pendapat yang runcing. Tak jarang hal itu berakhir
dengan perpecahan, ta’ashub buta, dan saling mengkafirkan di antara
sesama aktifis muslim. Padahal mereka hanyalah para penuntut ilmu
pemula, bukan ulama yang mumpuni keilmuannya, bukan pula para komandan
jihad yang mengerti betul realita jihad di lapangan. Musuh zionis,
salibis, paganis, dan komunis belum pernah mereka ‘usik’. Namun mereka
sudah terjebak dalam suasana perselisihan, perpecahan, dan mengkafirkan
sesama muslim yang berusaha meniti jalan jihad fi sabilillah. Boleh
jadi, musuh-musuh Islam telah melakukan infiltrasi dan ‘mengompori’
mereka untuk melupakan musuh Islam dan sibuk ‘menyerang’ sesama muslim.
Untuk itu dalam kesempatan ini, arrahmah.com mengangkat korespondensi
salah seorang komandan mujahidin dan qadhi syar’i Imarah Islam Qauqas
(Negara Islam Kaukasus: Chechnya dan Dagestan) dengan syaikh Abu
Muhammad Al-Maqdisi fakkallah asrahu. Korespondensi tersebut
sangat urgen, karena kaum muslimin bisa mempelajari darinya bagaimana
memadukan antara pelajaran tauhid, wala’ dan bara’ dengan fiqih waqi’, fiqih awlawiyat, fiqih mashalih wal mafasid, dan siyasah syar’iyah nabawiyah.
Semoga dengan merenungkan korespondensi ini, ‘tragedi’ sesama aktivis
Islam yang hendak meniti jalan jihad fi sabilillah bisa diredam dan
ditiadakan. Selamat menikmati…
Korespondensi antara hakim syariat dan komandan mujahidin
Imarah Kaukaz Abu Imran Anzur bin Aldar dengan syaikh Abu Muhammad
Al-Maqdisi
Pertanyaan
Syaikh kami yang mulia, Abu Muhammad Al-Maqdisi hafizhahullah
السلام عليكم و رحمة الله و بركاته
Bagaimana keadaan Anda, syaikh kami yang tercinta? Bagaimana kabar
kesehatan Anda? Saya ingin mendapatkan berita yang menenangkan hati
setelah mendengar berita kecelakaan mobil yang menimpa Anda. Thahurun laa ba’sa insya Allah. Saya memohon kepada Allah agar senantiasa menjaga Anda dan keluarga Anda dari segala keburukan.
Wa ba’du…
Saya hendak meminta fatwa kepada Anda tentang sebuah masalah yang memiliki kaitan erat dengan millah Ibrahim.
Dakwah Islam menyebar luas di Rusia. Banyak orang Rusia yang masuk
Islam dan banyak pula di antara orang Rusia yang bersimpati kepada kaum
muslimin dan mujahidin. Terkadang orang-orang Rusia yang bersimpati
tersebut adalah para pejabat tinggi dalam lingkungan tentara, intelijen,
dan lembaga-lembaga tinggi pemerintahan Rusia yang lain. Sebagian
mereka menampakkan keinginannya untuk membantu mujahidin. Sebagian
mereka menyatakan bisa menyuplai informasi kepada mujahidin. Sebagian
lainnya menyatakan siap memberikan sokongan dana dan bantuan-bantuan
lainnya. Mereka mengatakan tidak mencintai pemerintah Rusia, namun
mereka juga tidak ingin melepaskan jabatan-jabatan syirik mereka
tersebut.
Kami mengajak mereka untuk masuk Islam. Kami katakan kepada mereka
bahwa persoalan pertama, pekerjaan-pekerjaan mereka adalah
pekerjaan-pekerjaan syirik. Persoalan kedua adalah melalui
pekerjaan-pekerjaan tersebut, mereka terlibat dalam peperangan melawan
Islam.
Mereka menjawab bahwa mereka justru bisa lebih banyak membantu kaum
muslimin jika mereka bertahan dalam pekerjaan-pekerjaan tersebut
Kami katakan kepada mereka bahwa jika mereka berposisi sebagai intel
untuk kami, maka persoalannya boleh menurut pendapat sebagian ulama.
Namun mereka menyatakan tidak siap jika harus berada dalam ketaatan
kepada komandan jihad. Mereka hanya mampu membantu mujahidin dalam
sebagian perkara. Mereka mengkhawatirkan keselamatan diri mereka
sendiri, karena komandan jihad terkadang memerintahkan mereka melakukan
urusan yang membawa bahaya besar bagi diri mereka. Misalnya komandan
jihad memerintahkannya untuk menyalin (mencuri) sebagian dokumen rahasia
Rusia. Oleh karenanya ia menjawab, “Saya akan membantu kalian dengan
cara saya, namun saya tidak tunduk kepada perintah-perintah kalian.”
Oleh sebab itu kami katakan kepada mereka, “Boleh jadi kalian memberi
manfaat kepada Islam dan kaum muslimin dengan bantuan kalian itu.
Karena (dalam hadits shahih disebutkan—edt) Allah menolong agama ini
melalui perantaraan orang yang banyak dosa. Namun kalian tetap berada
dalam kesyirikan. Atas bantuan kalian ini, kalian sama sekali tidak akan
mendapatkan pahala di sisi Allah. Kenapa kalian menjerumuskan jiwa
kalian kepada bahaya yang tiada balasan apapun bagi kalian padanya?
Pertanyaannya adalah bolehkah kita menerima bantuan mereka? Ataukah
kami harus menampakkan permusuhan dan kebencian kepada mereka?
Perlu diketahui bahwa mereka ada beberapa macam:
Pertama, orang-orang yang ingin membantu
mujahidin dengan tujuan merugikan (presiden Rusia Vladimir Putin (saat
ini sudah digantikan oleh tangan kanan Putin, Dmitry Medvedev–edt).
Mereka tidak meminta balasan apapun dari kita. Mereka memberi bantuan
tanpa syarat apapun. Di permukaan, mereka seakan-akan mendukung partai,
pemerintahan, dan tentara Putin. Namun secara sembunyi-sembunyi mereka
membuat makar untuk menjatuhkan Putin.
Kedua, orang-orang yang mengaku beragama
Islam. Nenek moyang mereka adalah suku bangsa Kaukas atau Tartar. Mereka
adalah orang-orang murtad, namun sebenarnya lebih dekat kepada orang
kafir asli, wallahu a’lam, karena banyak di antara mereka
adalah orang-orang komunis. Mereka bersimpati kepada orang-orang yang
bersuku bangsa sama dengan mereka. Mereka meremehkan orang-orang Rusia,
sebaliknya orang-orang Rusia juga meremehkan mereka. Kami katakan kepada
mereka, “kalian tidak ada bedanya dengan bangsa Rusia. Kalian kafir
seperti halnya mereka, bahkan kekafiran kalian lebih berat. Asal muasal
kalian dari suku atau bangsa tertentu tidak memberi kalian manfaat
apapun.”
Kondisi mereka lebih menyerupai kondisi kaum munafik karena mereka
datang kepada orang-orang kafir dengan satu muka lalu datang kepada
orang-orang beriman dengan muka yang lain lagi. Kami tidak tahu apakah
mereka benar-benar menerima dakwah kami ataukah mereka memberikan
berbagai bantuan tersebut untuk melindungi diri mereka dari serangan
mujahidin.
Apa yang boleh kami katakan kepada mereka?
Jika kewajiban kami adalah menampakkan permusuhan kepada mereka,
lantas manakah di antara dua pilihan berikut yang hukumnya boleh atau
benar?
Pilihan pertama, kami mengatakan kepada mereka, “Kalian adalah musuh
kami. Kami wajibkan atas diri kalian untuk membayar sejumlah harta
setiap bulan sekali, misalnya. Sebagai balasannya, kami tidak akan
mengusik kalian. Kami akan memilih target-target lain yang lebih besar
bahayanya terhadap Islam.” Pilihan ini artinya kami memberikan jaminan
keamanan kepada mereka untuk tenggang masa tertentu dengan imbalan
sejumlah harta atau bantuan-bantuan yang lain.
Apakah pilihan ini membatalkan millah Ibrahim? Jika orang-orang
tersebut adalah orang-orang murtad, maka apakah menerima tebusan harta
dari mereka berarti menyetujui kemurtadan mereka?
Di sini masih ada persoalan lain, jika kami menawan orang murtad,
maka apakah kami boleh menukarkannya dengan seorang muslim yang ditawan
oleh Rusia? Atau bolehkah kami meminta orang-orang kafir menyerahkan
sejumlah uang sebagai tebusan pembebasan orang murtad ini? Apakah hal
itu berarti menyetujui kemurtadannya? Ataukah kami wajib menegakkan
hukuman riddah (hukuman mati) atas orang murtad ini? Soal yang kami
tanyakan ini bukan berlaku umum, namun khusus untuk kondisi kami di
Kaukasus.
Pilihan kedua, kami mengatakan kepada mereka: “Kalian adalah musuh
kami, dan tidak boleh ada tolong menolong antara kami dengan kalian.
Namun jika kami melihat pekerjaan-pekerjaan yang kalian lakukan
menunjukkan kejujuran keinginan kalian untuk membantu kaum muslimin,
maka kami akan menyibukkan diri dengan menyerang orang-orang kafir
selain kalian yang lebih besar bahayanya terhadap Islam. Pilihan ini
berarti kami tidak memberikan jaminan keamanan kepada mereka, kami
mengambil harta atau informasi dari mereka tanpa perlu memberi balasan
timbal balik.
Ketiga, orang-orang yang menampakkan
keinginan untuk mempelajari pokok-pokok ajaran agama Islam. Mereka
mempergunakan jabatan-jabatan mereka untuk meminimalkan bahaya terhadap
kaum muslimin. Mereka bersungguh-sungguh memberikan bantuan kepada
mujahidin sehingga mereka menanggung resiko besar, keselamatan hidup
mereka dalam bahaya. Ada harapan mereka akan masuk Islam.
Bolehkah kami mengatakan kepada mereka: “Kalian adalah orang-orang
kafir, namun kalian berusaha sesuai kemampuan kalian untuk membantu
mujahidin. Maka kedudukan kalian mendekati kedudukan mata-mata bagi
mujahidin. Namun ketahuilah, sesungguhnya kalian tidak mendapatkan
pahala apapun atas bantuan kalian, karena kesyirikan itu menghapuskan
seluruh amalan.”
Demikianlah pertanyaan atas persoalan yang membuat saya kebingungan.
Masalah ini adalah masalah yang sangat rawan. Salah seorang di antara
kami tidak tahu barangkali setan bisa saja mendatanginya dari satu cara
tertentu lalu membuatnya terkena fitnah (godaan besar) dalam diennya
sehingga ia menjadi kafir. Naudzu billah…
Sungguh bani Israil pada masa nabi Musa AS telah mengambil patung
anak sapi sebagai sesembahan padahal saat itu mereka adalah bangsa yang
paling mulia. Jika hal itu terjadi pada sebuah kaum yang di tengah
mereka terdapat nabi Musa dan Harun AS…jika hal itu terjadi pada sebuah
kaum yang menjadi saksi hidup bagaimana Allah membinasakan Fir’aun dan
bala tentaranya…bagaimana salah seorang di antara kami tidak takut jika
terjatuh dalam kesyirikan?
Kami memohon kepada Allah keselamatan dan keteguhan di atas tauhid.
Jazakumullah khairan syaikh kami yang tercinta, semoga Allah
melimpahkan berkah-Nya kepada Anda dan menolong agama ini dengan
perantaraan Anda.
Sampaikanlah salam kami kepada semua ikhwah yang bersama dengan Anda.
Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, keluarganya, dan segenap sahabatnya.
Murid Anda
Abu Imran dari Kaukasus
Abu Imran dari Kaukasus
Jawaban syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi
Bismillah wal hamdu lillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah…wa ba’du
Saudara kami yang tercinta, asy-syaikh al-mujahid Abu Imran, semoga
Allah menjaganya, memberinya kelurusan, dan menolong agama-Nya dengan
perantaraannya. Kami berdoa kepada Allah semoga memenangkan kalian atas
kaum yang zhalim. Jazakallah khairan atas surat dan pertanyaan Anda
kepada kami. Alhamdu lillah, saya dan keluarga dalam keadaan baik,
berkat karunia Allah. Kami berharap semoga Allah mengaruniakan kepada
kami kemampuan untuk bergabung dengan saudara-saudara kami di
medan-medan jihad agar kami mampu merasakan kemuliaan keluar dari
kekuasaan orang-orang kafir dan kemuliaan memperjuangkan agama ini
dengan senjata. Kemudian jazakallah khairan atas kepercayaan Anda kepada
kami dan permintaan fatwa kepada kami. Kami memohon kepada Allah semoga
melimpahkan petunjuk dan ketepatan kepada kami.
Saudaraku yang tercinta…menilik pertanyaan dan uraian rinci Anda,
saya melihat Anda adalah orang yang menguasai betul persoalan itu dan
merincinya dengan rincian seorang yang memiliki kedalaman ilmu dan
kemantapan di atas jalan yang ia tempuh, sebuah jalan yang jelas dan
sungguh-sungguh, ia dan orang-orang yang mengikutinya berdakwah dan
berjihad di atas landasan ilmu yang mendalam, insya Allah.
Hanya saja keadaan kalian menurut dugaan saya, adalah seperti
kebiasaan penduduk Kaukasus yaitu mencintai para ulama, mengutamakan
sikap kembali kepada ulama, dan mencari berkah Allah dengan mengambil
cahaya petunjuk dari pendapat para ulama. Dengan kerendah hatian sikap
kalian ini, saya yang hanya seorang penuntut ilmu junior ini bak seorang
ulama besar dan lautan ilmu yang tak pernah habis ditimba ilmunya.
Inilah dugaan saya berdasar pengetahuan lama saya melalui apa yang anda
tulis dan pilih. Selain itu, pertanyaan Anda yang rinci adalah uraian
rinci seorang yang telah mengetahui jawabannya dan mengerti betul jalan
yang harus ditempuh.
Bagaimanapun keadaannya, saya berpendapat dalam kondisi jihad dan
sedikitnya harta benda, perbekalan, dan kemampuan mujahidin maka
mujahidin boleh memilih manapun dari dua pilihan tersebut, sekalipun
mereka menyikapi orang-orang murtad seperti sikap mereka kepada
orang-orang kafir, selama mereka belum mampu memberlakukan tuntunan
syariat atas orang-orang murtad.
Saya berpendapat dalam hal ini ada kelapangan pada saat kelemahan dan
tidak adanya kemampuan. Demikian pula dalam masalah mengambil harta
dari mereka atau menukarkannya dengan tawanan muslim dan lain
sebagainya. Saya berpendapat semua hal tersebut ada kelapangan bagi
mujahidin selama mereka belum meraih kekuasaan.
Seandainya Anda kembali kepada sirah sahabat dan para khalifah
niscaya Anda akan menemukan kondisi sebagaimana yang saya sebutkan ini.
Pada zaman berkuasanya nabi palsu Aswad Al-Ansi di Yaman, kaum muslimin
di Yaman menampakkan taqiyah terhadapnya. Mereka menyembunyikan
permusuhan mereka terhadapnya dan diam-diam menyusun rencana untuk
melawannya, karena mereka dalam kondisi lemah, sampai akhirnya mereka
bisa membunuhnya.
Bahkan seringkali pada zaman khilafah, pada saat kaum muslimin melemah kekuasaannya pada sebagian zaman, maka mereka melakukan mudarah
(berlemah lembut agar tidak terkena bahaya–edt) kepada orang-orang
kafir dari beragam aliran keagamaan. Bahkan, sebagian sultan dan
khalifah kaum muslimin membayar sejumlah harta kepada kaum kafir,
sesuatu yang menyerupai jizyah, untuk mencegah keganasan orang-orang
kafir tersebut atas diri mereka dan kaum wanita mereka, pada masa-masa
kelemahan yang dialami oleh khilafah atau sebagian negara bagiannya.
Hal seperti ini jelas ditentang oleh jiwa seorang muslim yang mulia.
Namun ketika berbagai kerusakan (bahaya) terjadi, maka boleh memilih
tindakan tersebut untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Inilah
fiqih yang sebenarnya. Fiqih bukanlah mengetahui kerusakan (bahaya) dan
membedakannya dari maslahat (kebaikan) semata. Justru fiqih yang paling
besar adalah mampu menimbang mana yang lebih kuat di antara berbagai
kerusakan dan maslahat saat semuanya terjadi dan saling bertolak
belakang. Hal itu dengan cara mengkaji berbagai akibat dan konskuensi
dari berbagai tindakan yang dipilih. Inilah kelebihan dari ulul abshar dan ulun nuha (orang-orang yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan yang luas).
Jangan lupa bahwa hal itu memiliki landasan dalam sirah Nabi Muhammad
SAW. Dalam perang Uhud saat pasukan bangsa-bangsa Arab mengepung
Madinah laksana cincin yang melingkari jari dan saat hati manusia telah
naik ke tenggorokan, Rasulullah SAW bermusyawarah dengan
sahabat-sahabatnya untuk memberikan sepertiga hasil panen kurma Madinah
kepada sebagian pasukan kafir tersebut, dengan syarat mereka pulang dan
menghentikan pengepungan kota Madinah. Para sahabat memang menolak
usulan beliau SAW, namun usulan penawaran Nabi SAW kepada para shahabat
tersebut menunjukkan kebolehan tindakan itu dalam kondisi seperti itu.
Jangan lupa bahwa tindakan itu beliau lakukan kepada kaum musyrik
penyembah berhala yang hukumnya tidak boleh mengambil jizyah dari mereka
(menurut pendapat imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad. Adapun menurut
pendapat imam Malik dan Al-Auza’I, jizyah boleh diambil dari kaum
musyrik –edt), apalagi memberikan harta yang serupa dengan jizyah kepada
mereka. Namun setiap keadaan memiliki pendapat tersendiri, dan setiap
fase memiliki kondisi tersendiri yang Allah mengangkat kesulitan dari
kaum muslimin pada fase tersebut…
Pilihan-pilihan sikap dalam kondisi berkuasa tentu berbeda dengan
pilihan-pilian sikap dalam kondisi kelemahan. Ini adalah keluasan dari
Allah untuk umat Islam, di mana Allah tidak menjadikan kesempitan bagi
mereka dalam agama ini. Oleh karena itu pendapat yang benar adalah
pendapat yang dicenderungi oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
ditegaskan oleh sebagian ulama tafsir bahwa ayat-ayat tentang memaafkan,
menahan diri, dan lainnya itu ditunda dan tidak dimansukh (dihapuskan) oleh ayat saif.
Maknanya, ayat-ayat tersebut dibatasi dalam kondisi tidak memiliki
kekuasaan, adapun saat memiliki kekuasaan maka yang didahulukan adalah
ayat saif. Setiap muslim hendaknya melihat kondisi dirinya,
tempat ia hidup, dan fase yang sedang dilaluinya; lalu hendaklah ia
memilih tindakan yang sesuai dalam hal yang telah Allah berikan
kelapangan sikap kepada umat Islam.
Inilah maksud dari perkataan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
((أَنَّ الْأَمْرَ بِقِتَالِ الطَّائِفَةِ الْبَاغِيَةِ مَشْرُوطٌ بِالْقُدْرَةِ وَالْإِمْكَانِ. إذْ لَيْسَ قِتَالُهُمْ بِأَوْلَى مِنْ قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ وَالْكُفَّارِ
وَمَعْلُومٌ أَنَّ ذَلِكَ مَشْرُوطٌ بِالْقُدْرَةِ وَالْإِمْكَانِ فَقَدْ
تَكُونُ الْمَصْلَحَةُ الْمَشْرُوعَةُ أَحْيَانًا هِيَ التَّآلُفُ
بِالْمَالِ وَالْمُسَالَمَةُ وَالْمُعَاهَدَةُ كَمَا فَعَلَهُ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ مَرَّةٍ وَالْإِمَامُ إذَا
اعْتَقَدَ وُجُودَ الْقُدْرَةِ وَلَمْ تَكُنْ حَاصِلَةً كَانَ التَّرْكُ
فِي نَفْسِ الْأَمْرِ أَصْلَحَ ))
“Sesungguhnya perintah untuk memerangi kelompok pemberontak itu
disyaratkan dengan adanya kemampuan dan kekuasaan. Karena memerangi
mereka tidaklah lebih utama dari memerangi kaum musyrik dan kaum kafir.
Sudah sama-sama diketahui bahwa memerangi kaum musyrik dan kaum kafir
disyaratkan dengan adanya kemampuan dan kekuasaan. Terkadang maslahat
yang disyariatkan adalah melunakkan hati mereka dengan harta, membuat
perjanjian damai, dan mengadakan gencatan senjata sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi SAW tidak hanya sekali. Jika imam meyakini adanya
kemampuan namun perang melawan mereka tidak meraih kemaslahatan, maka
membiarkan mereka adalah lebih membawa maslahat.” (Majmu’ Fatawa, 4/442)
Dalam kitab ash-sharim al-mashlul, beliau membahas tentang
kondisi saat Islam lemah, bahwa Allah memberitahukan saat itu Rasulullah
SAW dan kaum muslimin mendengar banyak gangguan dari Ahlul kitab dan
orang-orang musyrik. Ibnu Taimiyah mengatakan,
(( وأمرهم بالصبر والتقوى ثم إن ذلك نسخ عند القوة بالأمر
بقتالهم حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون والصاغر لا يفعل شيئا من الأذى
في الوجه ، ومن فعله فليس بصاغر ثم إن من الناس من يسمي ذلك نسخا لتغير
الحكم ومنهم من لا يسميه نسخا لأن الله تعالى أمرهم بالعفو والصفح إلى أن
يأتي الله بأمره وقد أتى الله بأمره من عز الإسلام وإظهاره والأمر بقتالهم
حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون وهذا مثل قوله تعالى ” فَأَمْسِكُوهُنَّ
فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ
لَهُنَّ سَبِيلا”
وقال النبي صلى الله عليه وسلم ” قد جعل الله لهن سبيلا ”
[مسلم] , فبعض الناس يسمي ذلك نسخا وبعضهم لا يسميه نسخا والخلاف لفظي ،
ومن الناس من يقول الأمر بالصفح باق عند الحاجة إليه بضعف المسلم عن القتال
بان يكون في وقت أو مكان لا يتمكن منه وذلك لا يكون منسوخا إذ المنسوخ ما
ارتفع في جميع الأزمنة المستقبلة وبالجملة فلا خلاف أن النبي كان مفروضا
عليه لما قوي أن يترك ما كان يعامل به أهل الكتاب والمشركين ومظهري النفاق
من العفو والصفح إلى قتالهم وإقامة الحدود عليهم سمي نسخا أو لم يسم)).
Allah memerintahkan mereka untuk bersabar dan bertakwa, kemudian hal itu dinaskh
(dihapus dan diganti hukum baru—edt) ketika kaum muslimin memiliki
kekuatan dengan adanya perintah untuk memerangi mereka sehingga mereka
menyerahkan jizyah dalam keadaan hina. Orang yang hina tidaklah mampu
melakukan apapun akibat kehinaan pada wajahnya. Barangsiapa mampu
melakukan sesuatu maka ia bukanlah orang yang hina.
Sebagian ulama menyebut hal ini adalah naskh karena adanya perubahan hukum. Sebagian ulama lainnya tidak menyebut hal itu sebagai naskh,
karena Allah memerintahkan mereka untuk memaafkan sampai datang
keputusan Allah. Keputusan Allah telah datang berupa kejayaan dan
kemenangan Islam serta perintah untuk memerangi mereka sehingga mereka
menyerahkan jizyah dalam keadaan hina.
Hal ini seperti maksud firman Allah, “Dan (terhadap) para wanita yang
mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara
kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai
mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain
kepada mereka.” (QS. An-Nisa’ (4): 15)
Nabi SAW bersabda, “Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka.” (HR. Muslim) Sebagian ulama menyebut hal ini sebagai naskh. Sebagian ulama yang lain tidak menyebutnya sebagai naskh.
Perbedaan pendapat mereka hanyalah perbedaan istilah belaka. Sebagian
ulama berpendapat perintah untuk memaafkan tetap berlaku manakala hal
itu diperlukan sebagai akibat dari kelemahan kaum muslimin untuk
berperang dalam suatu waktu tertentu atau pada suatu daerah tertentu
yang tidak memungkinkan untuk berperang. Hal itu bukanlah mansukh, karena mansukh
adalah apabila hukum tersebut dihapus untuk seluruh masa waktu yang
akan datang. Intinya, tidak ada perbedaan pendapat bahwa ketika Nabi SAW
dalam kondisi kuat maka beliau diperintahkan untuk meninggalkan sikap
memaafkan dan tidak membalas terhadap kaum ahlul kitab dan musyrikin,
berganti kepada sikap memerangi dan menegakkan hukum hudud atas mereka,
baik hal itu disebut naskh maupun bukan naskh.” (Ash-Sharim Al-Maslul ‘ala Syatim Ar-Rasul, 2/443-444)
Beliau juga menulis,
((فلما أتى الله بأمره الذي وعده من ظهور الدين وعز المؤمنين
أمر رسوله بالبراءة إلى المعاهدين وبقتال المشركين كافة وبقتال أهل الكتاب
حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون فكان ذلك عاقبة الصبر والتقوى الذين أمر
الله بهما في أول الأمر وكان إذ ذاك لا يؤخذ من أحد من اليهود الذين
بالمدينة ولا غيرهم جزية وصارت تلك الآيات في حق كل مؤمن مستضعف لا يمكنه
نصر الله ورسوله بيده ولا بلسانه فينتصر بما يقدر عليه من القلب ونحوه
وصارت أية الصغار على المعاهدين في حق كل مؤمن قوي يقدر على نصر الله
ورسوله بيده أو لسانه وبهذه الآية ونحوها كان المسلمون يعملون في أخر عمر
رسول الله وعلى عهد خلفائه الراشدين وكذلك هو إلى قيام الساعة لا تزال
طائفة من هذه الأمة قائمين على الحق ينصرون الله ورسوله النصر التام.
فمن كان من المؤمنين بأرض هو فيها
مستضعف أو في وقت هو فيه مستضعف فليعمل بأية الصبر والصفح عمن يؤذي الله
ورسوله من الذين أوتوا الكتاب والمشركين.
وأما أهل القوة فإنما يعملون بأية
قتال أئمة الكفر الذين يطعنون في الدين وبأية قتال الذين أوتوا الكتاب حتى
يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون))
Ketika Allah telah mendatangkan urusan yang Dia janjikan, yaitu
kemenangan dien Islam dan kejayaan kaum muslimin, maka Allah
memerintahkan Rasul-Nya untuk berlepas diri dari orang-orang musyrik
yang terlibat perjanjian damai dengan beliau, dan Allah memerintahkan
rasul-Nya untuk memerangi seluruh kaum musyrik dan memerangi ahlul kitab
sehingga mereka menyerakan jizyah dalam keadaan hina. Hal itu adalah
buah kesudahan dari kesabaran dan ketakwaan yang Allah perintahkan pada
masa awal dakwah. Pada masa awal tersebut, jizyah tidak diambil dari
seorang pun dari kalangan Yahudi di Madinah maupun golongan lainnya.
Ayat-ayat tersebut berlaku bagi setiap mukmin yang tertindas yang tidak
mampu menolong Allah dan Rasul-Nya dengan tangannya maupun lisannya.
Maka ia harus menolong dengan apa yang ia mampu, yaitu amalan hati dan
yang semisal dengannya.
Adapun ayat mengambil jizyah dari ahlul kitab dalam keadaan mereka
hina (yaitu ahlu kitab yang terlibat kesepakatan damai-edt) berlaku
untuk setiap mukmin yang kuat yang mampu menolong Allah dan Rasul-Nya
dengan tangannya atau lisannya. Dengan ayat ini dan ayat-ayat yang
semisalnya, kaum muslimin beramal pada masa akhir kehidupan Rasulullah
dan masa khulafa’ rasyidin. Demikian pula hal itu berlaku sampai hari
kiamat (bagi kaum mukmin yang kuat), karena akan senantiasa ada
sekelompok umat ini yang menegakkan kebenaran, menolong Allah dan
Rasul-Nya dengan pertolongan yang sempurna.
Oleh karena itu, barangsiapa di antara kaum mukmin dalam
keadaan tertindas di sebuah daerah tertentu atau berada dalam keadaan
lemah dalam suatu masa tertentu, maka hendaklah ia mengamalkan ayat
bersabar dan tidak membalas terhadap orang-orang ahlul kitab dan kaum
musyrik yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya.
Adapun orang-orang yang memiliki kekuatan maka harus
mengamalkan ayat memerangi para gembong kekafiran yang mencerca agama
dan mereka harus mengamalkan ayat memerangi ahlul kitab sehingga mereka
menyerahkan jizyah dalam keadaan hina.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, 2/412-414)
Para ulama berbeda pendapat tentang status orang-orang Rusia yang
Anda tanyakan tersebut, apakah mereka dihukumi orang-orang kafir asli
ataukah orang-orang murtad. Saya sendiri berpendapat perbedaan tersebut
pada saat ini tidak banyak faedahnya sehingga kita tidak perlu memeras
tenaga untuk memutuskannya, karena pada saat ini belum memiliki
kemampuan untuk menerapkan hukum syariat atas orang-orang murtad.
Fatwa syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang pasukan Tartar menunjukkan
bahwa kondisi banyak prajurit Tartar menyerupai kondisi tentara Rusia
yang ditanyakan di atas. Sebagian prajurit Tartar juga menyerupai
kondisi kaum munafik. Meski begitu, Anda akan mendapati sikap dan
fatwa-fatwa syaikhul Islam terhadap pasukan Tartar berbeda-beda sesuai
kondisi dan kemampuan kaum muslimin pada zamannya.
Terkadang pada zaman tersebut, beliau dan kaum muslimin memerangi
pasukan Tartar. Terkadang mereka tidak memerangi pasukan Tartar karena
tidak adanya kemampuan. Terkadang beliau menemui raja-raja Tartar,
berdialog dengan mereka, atau menasehati mereka, dan lain sebagainya.
Padahal jika Anda mencermati uraian rinci beliau tentang kondisi
pasukan Tartar dalam fatwa beliau tentang hukum memerangi pasukan
Tartar, niscaya Anda akan melihat beliau mengklasifikasikan kondisi dan
golongan mereka ke dalam beberapa kelompok. Beliau mengatakan:
فَهَؤُلَاءِ الْقَوْمُ الْمَسْئُولُ عَنْهُمْ عَسْكَرُهُمْ مُشْتَمِلٌ عَلَى قَوْمٍ كُفَّارٍ مِنْ النَّصَارَى وَالْمُشْرِكِينَ
وَعَلَى قَوْمٍ مُنْتَسِبِينَ إلَى الْإِسْلَامِ – وَهُمْ جُمْهُورُ
الْعَسْكَرِ – يَنْطِقُونَ بِالشَّهَادَتَيْنِ إذَا طُلِبَتْ مِنْهُمْ
وَيُعَظِّمُونَ الرَّسُولَ وَلَيْسَ فِيهِمْ مَنْ يُصَلِّي إلَّا قَلِيلًا
جِدًّا وَصَوْمُ رَمَضَانَ أَكْثَرُ فِيهِمْ مِنْ الصَّلَاةِ وَالْمُسْلِمُ
عِنْدَهُمْ أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهِ وَلِلصَّالِحِينَ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
عِنْدَهُمْ قَدْرٌ وَعِنْدَهُمْ مِنْ الْإِسْلَامِ بَعْضُهُ وَهُمْ
مُتَفَاوِتُونَ فِيهِ ; لَكِنَّ الَّذِي عَلَيْهِ عَامَّتُهُمْ وَاَلَّذِي
يُقَاتَلُونَ عَلَيْهِ مُتَضَمِّنٌ لِتَرْكِ كَثِيرٍ مِنْ شَرَائِعِ
الْإِسْلَامِ أَوْ أَكْثَرِهَا ; فَإِنَّهُمْ أَوَّلًا يُوجِبُونَ
الْإِسْلَامَ وَلَا يُقَاتِلُونَ مَنْ تَرَكَهُ ; بَلْ مَنْ قَاتَلَ عَلَى دَوْلَةِ الْمَغُولِعَظَّمُوهُ وَتَرَكُوهُ وَإِنْ كَانَ كَافِرًا عَدُوًّا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَكُلُّ مَنْ خَرَجَ عَنْ دَوْلَةِ الْمَغُولِ أَوْ
عَلَيْهَا اسْتَحَلُّوا قِتَالَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ خِيَارِ
الْمُسْلِمِينَ . فَلَا يُجَاهِدُونَ الْكُفَّارَ وَلَا يُلْزِمُونَ أَهْلَ الْكِتَابِ بِالْجِزْيَةِ
وَالصَّغَارِ وَلَا يَنْهَوْنَ أَحَدًا مِنْ عَسْكَرِهِمْ أَنْ يَعْبُدَ
مَا شَاءَ مِنْ شَمْسٍ أَوْ قَمَرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ …
وَكَذَلِكَ أَيْضًا عَامَّتُهُمْ لَا يُحَرِّمُونَ دِمَاءَ
الْمُسْلِمِينَ وَأَمْوَالَهُمْ ; إلَّا أَنْ يَنْهَاهُمْ عَنْهَا
سُلْطَانُهُمْ أَيْ لَا يَلْتَزِمُونَ تَرْكَهَا وَإِذَا نَهَاهُمْ عَنْهَا
أَوْ عَنْ غَيْرِهَا أَطَاعُوهُ لِكَوْنِهِ سُلْطَانًا لَا بِمُجَرَّدِ
الدِّينِ . وَعَامَّتُهُمْ لَا يَلْتَزِمُونَ أَدَاءَ الْوَاجِبَاتِ ; لَا
مِنْ الصَّلَاةِ وَلَا مِنْ الزَّكَاةِ وَلَا مِنْ الْحَجِّ وَلَا غَيْرِ
ذَلِكَ . وَلَا يَلْتَزِمُونَ الْحُكْمَ بَيْنَهُمْ بِحُكْمِ اللَّهِ ;
بَلْ يَحْكُمُونَ بِأَوْضَاعِ لَهُمْ تُوَافِقُ الْإِسْلَامَ تَارَةً
وَتُخَالِفُهُ أُخْرَى .
“Kaum yang ditanyakan hukumnya ini, sesungguhnya pasukan mereka
terdiri dari kaum kafir dari kalangan Nasrani dan kaum musyrikin, dan
kaum yang mengaku beragama Islam —dan mereka adalah mayoritas anggota
pasukan—. Mayoritas mereka mengucapkan dua kalimat syahadat jika engkau
meminta mereka untuk mengucapkannya. Mereka mengagungkan Rasul. Di
antara mereka hanya sedikit saja orang yang menunaikan shalat. Orang
yang melakukan shaum Ramadhan di antara mereka lebih banyak daripada
orang yang melakukan shalat. Menurut keyakinan mereka, seorang muslim
lebih mulia dari selain muslim. Orang-orang shalih dari kalangan kaum
muslimin memiliki kedudukan mulia dalam pandangan mereka. Mereka
melaksanakan sebagian ajaran Islam. Dalam hal ini, ketaatan mereka
(kepada ajaran Islam) berbeda-beda.
Namun kondisi mayoritas mereka dan orang-orang yang berperang di
antara mereka adalah meninggalkan banyak syariat Islam atau bahkan
kebanyakan syariat Islam. Pertama, mereka mewajibkan Islam namun mereka
tidak memerangi orang-orang yang enggan masuk Islam. Justru mereka
mengagungkan dan tidak mengusik orang yang berperang di pihak kerajaan
Mongol, meskipun ia adalah seorang yang kafir, musuh Allah dan
Rasul-Nya. Sebaliknya, siapapun yang keluar dari ketaatan kepada
kerajaan Mongol atau memerangi kerajaan Mongol, niscaya mereka perangi
sekalipun ia termasuk kaum muslimin yang paling baik.
Mereka tidak berjihad melawan kaum kafir, tidak mewajibkan ahul kitab
untuk membayar jizyah dalam keadaan hina, dan tidak melarang siapa pun
anggota pasukannya untuk menyembah sesembahan apapun yang ia inginkan,
baik matahari, bulan, dan lain sebagainya…
Demikian pula mayoritas mereka tidak menganggap haram merampas nyawa
dan harta kaum muslimin, selama raja mereka tidak melarangnya. Artinya,
mereka tidak menetapi kewajiban-kewajiban agama Islam. Mereka tidak
memutuskan perkara di antara mereka dengan hukum Allah. Mereka justru
memutuskan perkara dengan hukum (adat istiadat) mereka sendiri, yang
terkadang sesuai dengan hukum Islam dan terkadang menyelisihi hukum
Islam.” (Majmu’ Fatawa, 28/505-506)
Berdasar penjelasan di atas, saya nasehatkan kepada Anda untuk
menyikapi masing-masing kelompok yang disebutkan dalam pertanyaan Anda
di atas dengan siyasah syar’iyah nabawiyah sesuai fase yang
sedang kalian lalui, dan sesuai dengan kondisi mujahidin, tingkat
kemampuan dan kebutuhan mereka. Karena sesungguhnya Nabi SAW tidak
memerangi seluruh musuh (kaum musyrik, kaum Yahudi, kaum Nashrani, dan
lain-lain—edt) dalam sekali waktu. Beliau memerangi musuh yang paling
besar bahayanya dan pada saat yang sama beliau menunda memerangi dan
berbenturan dengan banyak kelompok kafir yang lain. Beliau tidak
memancing seluruh kaum kafir untuk mengusik Madinah dan kaum muslimin
dalam waktu yang bersamaan. Beliau mengikat perjanjian damai dengan
sebagian musuh, melakukan gencatan senjata dengan sebagian musuh, dan
mengikat persekutuan dengan kelompok musuh yang lain.
Hal itu sebagaimana yang beliau lakukan kepada kaum Yahudi saat
beliau pertama kali tiba di Madinah. Beliau mengikat persekutuan dengan
mereka agar mereka menolong kaum muslimin dan tidak mengkhianati kaum
muslimin. Ketika satu dari tiga kelompok Yahudi tersebut membatalkan
perjanjian persekutuan secara sepihak, maka beliau menghukum kelompok
Yahudi tersebut dan membiarkan dua kelompok Yahudi lainnya sesuai isi
perjanjian persekutuan, sampai akhirnya masing-masing kelompok Yahudi
mencederai perjanjian persekutuan.
Demikian pula, beliau pada awalnya tidak menghiraukan gangguan
mayoritas kaum munafik karena memerangi mereka pada masa tersebut akan
menimbulkan kerusakan (kekacauan dan bahaya) yang besar, akibat kelompok
kaum muslimin yang baru masuk Islam akan terpecah belah dan orang-orang
akan ramai mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya
sendiri. Hal itu tentu saja akan menghalangi manusia dari memeluk Islam.
Demikian pula keadaan kaum muslimin di Habasyah. Meskipun mereka
menampakkan akidah mereka, namun mereka adalah kaum muhajirin yang hidup
lemah di tengah kaum kafir. Mereka tidak terkena kewajiban memerangi
kaum kafir tersebut meskipun pada saat yang sama saudara-saudara mereka,
kaum muslimin di Madinah, berperang melawan orang-orang musyrik.
Bagaimana mungkin kaum muslimin Muhajirin di Habasyah memerangi penduduk
kafir Habasyah, sedangkan mereka adalah penduduk pribumi yang menampung
kaum muslimin, membantu mereka, dan menolong mereka dari orang-orang
(kafir Quraisy) yang menzhalimi mereka? Mereka melakukan pembelaan
kepada kaum muslimin muhajirin atas perintah raja mereka yang masuk
Islam.
Banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa tidak masalah jika Anda
mengambil manfaat dari berbagai bantuan yang diberikan oleh
kelompok-kelompok dalam pasukan Rusia dalam pertanyaan Anda di atas,
dalam kondisi mujahidin belum mendapatkan kekuasaan saat ini selama
kalian menampakkan akidah dan dien kalian. Hal itu sebagaimana Nabi SAW
mengambil manfaat dari sikap pamannya (Abu Thalib) yang memberikan
perlindungan dan pembelaan, padahal pamannya masih bertahan di atas
kesyirikan dan penyembahan berhala.
Bahkan hingga apabila sebagian kalian terpaksa harus menyembunyikan
agama dan akidahnya dalam sebagian kondisi dan tidak menampakkan
permusuhannya kepada orang-orang kafir demi maslahat jihad atau
disebabkan oleh ketertindasan dalam sebagian fase dan kondisi, maka hal
ini pun tidak mengapa dan tidak bertolak belakang dengan millah Ibrahim
selama ia dalam keadaan tertindas atau selama ia mendapatkan tugas itu
dari saudara-saudaranya, kaum mujahidin, sementara kaum mujahidin
tersebut menampakkan pokok ajaran Islam dan melaksanakan fardhu kifayah
ini, yaitu mengumumkan millah Ibrahim yang agung ini.
Demikianlah keadaan sebagian sahabat Nabi SAW di Makkah. Sebagian
mereka menampakkan keislamannya dan permusuhannya kepada kaum musyrik
seperti yang dilakukan oleh Nabi SAW. Sebagian lainnya menyembunyikannya
karena dalam posisi lemah tertindas dan tidak mampu. Sebagian lainnya
menyembunyikannya atas dasar perintah Nabi SAW sebagaimana disebutkan
dalam hadits Amru bin ‘Abasah (riwayat Muslim—edt). Bahkan, sebagian
lainnya menyembunyikannya saat berada di Madinah sebagaimana kisah
Nu’aim bin Mas’ud selama kondisi perang Ahzab di saat bangsa-bangsa
musyrik Arab bersekongkol untuk menghancurkan kaum muslimin dan negara
mereka.
Kesimpulannya, mujahidin memiliki keleluasan ijtihad untuk memilih siyasah syar’iyah nabawiyah
yang mereka pandang sesuai dengan kondisi mereka dan fase jihad yang
sedang mereka lalui. Di antara kasih sayang Allah kepada kita adalah
Allah membuka pintu yang luas kepada kita dalam masalah ini. Maka
Rasulullah SAW dan para sahabat generasi pertama Islam berjalan bersama
beliau dalam bermacam-macam fase dan beragam kondisi. Mereka memulai
dalam keadaan asing sebagaimana kini kita berada dalam keterasingan,
sampai Allah memberikan kekuasaan dan kejayaan kepada mereka. Kita
memiliki uswah hasanah pada diri mereka. Keluasan sikap yang
dikaruniakan kepada mereka dalam keadaan mereka tertindas dan mereka
berjaya, juga berlaku untuk kita. Wallahu ta’ala a’lam.
Saya wasiatkan kepada Anda untuk menyampaikan salam kami kepada
seluruh saudara tercinta yang bersama Anda, dan semoga mereka mendoakan
agar kami senantiasa dikaruniai keteguhan, husnul khatimah, dan kemampuan untuk terjun ke kancah-kancah jihad serta mengakhiri hidup kami dengan mati syahid di jalan-Nya.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada nabi Muhammad, keluarganya, dan seluruh shahabatnya.
Saudara Anda, pelayan mujahidin
Abu Muhammad Al-Maqdisi
Abu Muhammad Al-Maqdisi