Hal tersebut disampaikan Menteri
Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh pada Sarasehan Nasional
Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa di Hotel Bumikarsa
Bidakara, Jakarta, Kamis (14/1/2010).
Pada acara yang dipandu Wakil Menteri
Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Jalal menghadirkan pembicara
utama Mantan Mendiknas Yahya Muhaimin, Budayawan Frans Magnis Suseno,
Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Abdullah Syukri Zarkasyi.
Mendiknas menyampaikan beberapa kebiasaan atau budaya yang perlu ditumbuhkembangkan diantaranya adalah budaya apresiasif konstruktif.
Menurut Mendiknas, siapa pun yang dapat memberikan kontribusi positif
di lingkungannya perlu diberikan apresiasi. “Kebiasaan memberikan
apresiasi itu akan membangun lingkungan untuk tumbuh suburnya orang
berprestasi . Kalau lingkungan sendiri tidak mendukung seseorang
berprestasi maka nanti akan terus menerus negatif,” katanya.
Budaya berikutnya yang perlu dikembangkan, kata Mendiknas, adalah obyektif komprehensif.
Mendiknas berpendapat, perlu mentradisikan melihat segala sesuatu
secara utuh. Budaya berikutnya yang perlu dikembangkan adalah rasa penasaran intelektual atau intellectual curiosity dan kesediaan untuk belajar dari orang lain.
Kepada para peserta sarasehan, Mendiknas
meminta, agar dikembangkan model-model pembelajaran yang menjadikan anak
tidak hanya mampu menghapal, tetapi juga dapat mengetahui, mengingat,
dan paham apa yang diingatnya. Selain itu, Mendiknas juga meminta agar
membangun karakter dan budaya bangsa secara sistematik. “Budaya itu pun
juga bisa direkayasa dalam makna positif. Tolong dibahas bagaimana
rekayasa untuk mensistematiskan pengembangan budaya agar jelas
tahapannya,” ujarnya.
Yahya menyampaikan, pengembangan karakter bangsa lebih ditekankan kepada kegiatan internalisasi atau penghayatan dan pembentukan tingkah laku.
Setiap sekolah, kata dia, diwajibkan untuk mempunyai statuta yang di
dalamnya dicantumkan secara eksplisit dan jelas tentang pengembangan
karakter di sekolah tersebut. “Jadi bukan dalam kurikulum, tetapi dalam
program,” katanya.
Setiap statuta sekolah, lanjut Yahya,
akan mencantumkan nilai-nilai dasar atau yang merupakan ciri khas
karakter bangsa Indonesia yaitu yang bersumber pada nilai-nilai agama
maupun nilai-nilai kenegaraan, patriotisme, dan nasionalisme.
“Nilai-nilai dasar tersebut misalkan jujur, dapat dipercaya, amanah,
kebersamaan, peduli kepada orang lain, adil, dan demokratis,” katanya.
Frans mengatakan, orang yang mempunyai
karakter adalah bahwa orang itu mempunyai keyakinan dan sikap dan dia
bertindak menurut keyakinan dan sikapnya itu. Keyakinan itu, kata dia,
termasuk suatu kejujuran dasar, kesetiaan terhadap dirinya sendiri dan
perasaan spontan bahwa ia mempunyai harga diri dan bahwa harga diri itu
turun apabila ia menjual diri. “Ia tahu apa itu tanggung jawab dan
bersedia mempertanggungjawab kan perbuatannya. Ia bukan ‘orang bendera’
yang selalu mengikuti arah angin. Ia bisa saja fleksibel, tawar menawar,
mau belajar dan berkembang dalam pandangannya, ” katanya.
Frans menegaskan, feodalisme para
pendidik tidak memungkinkan karakter anak-anak didiknya berkembang
semestinya. Menurut dia, jika pendidik membuat anak menjadi ‘manutan’
dengan nilai-nilai penting, tenggang rasa, dan tidak membantah maka
karakter anak tidak akan berkembang. “Kalau kita mengharapkan karakter,
anak itu harus diberi semangat dan didukung agar ia menjadi pemberani,
berani mengambil inisiatif, berani mengusulkan alternatif, dan berani
mengemukakan pendapat yang berbeda. Ia harus diajarkan untuk berpikir
sendiri,” katanya.
Abdullah mengatakan, ketaladanan yang
diberikan kepada santri oleh pengasuh tidak hanya sekedar manusiawi dan
moralitas, tetapi juga penampilan dan cara berbicara. Keteladanan, kata
dia, juga harus mempunyai produktivitas, sehingga bisa berbuat dan
bekerja. “Sebab ada orang yang moralnya baik, tetapi tidak bisa
apa-apa,” katanya.
Lebih lanjut Abdullah mengatakan, para
santri yang tersebar di 16 cabang di seluruh Indonesia diberikan tugas
yang bermacam-macam untuk dapat mandiri. Namun, kata dia,
penugasan-penugasan itu tidak hanya masalah pelajaran, tetapi
bermacam-macam kegiatan secara totalitas kehidupan. “Penugasan merupakan
sebuah pendidikan. Jadi tidak hanya di dalam kelas,” katanya.***
Sumber : Depdiknas