
YOGYAKARTA - Petani di sejumlah wilayah DI Yogyakarta belum banyak mengetahui penyakit leptospirosis dan bahayanya. Padahal, penyakit yang sedang merebak itu mengancam para petani.
Dinas Kesehatan DI Yogyakarta mencatat, tahun 2011 terdapat 106 kasus
leptospirosis di Kabupaten Bantul, Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul,
dan Kota Yogyakarta. Sebanyak 14 orang di antaranya meninggal dan 90
persennya petani.
Boiran (56), petani Desa Gejawan Wetan, Kecamatan Gamping, Sleman,
pekan lalu, mengaku tak tahu penyakit leptospirosis. Pemerintah belum
pernah menyosialisasikan penyakit itu.
”Yang kerap datang justru petugas penyuluh lapangan. Mereka tak
berbicara soal penyakit itu, tetapi upaya memberantas hama dan penyakit
tanaman, salah satunya pemberantasan tikus,” kata Boiran.
Taryono (52), petani Desa Jatisarono, Kecamatan Nanggulan, Kulon
Progo, mengatakan, pemerintah desa memang meminta setiap warga
mewaspadai penyakit akibat urine tikus. Namun, banyak yang belum tahu
jelas gejala dan dampaknya.
”Kami hanya diimbau kalau terjadi panas tinggi dan sakit kepala,
segera ke puskesmas. Kami juga diminta membasmi tikus di sawah,” kata
Taryono.
Secara terpisah, Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta Hari Kusnanto mengatakan, berdasar penelitian di
Bantul, pola penyebaran leptospirosis berada di alur irigasi dan
sungai-sungai kecil di persawahan. Air di lokasi itu mengandung bakteri
Leptospirosa sp yang berasal dari inang penular, seperti tikus atau sapi
yang terjangkit leptospirosis.
”Agar tren penyakit itu tidak meningkat, masyarakat perlu menekan
laju populasi tikus dan kembali mempraktikkan teknik-teknik kesehatan
dasar. Jangan remehkan penyakit itu karena dapat mengakibatkan
pendarahan paru-paru, gagal ginjal, dan lever,” kata Hari.
Dinas kesehatan diharap tak hanya fokus mengobati dan mencegah
leptospirosis. Koordinasi dengan dinas peternakan atau dokter hewan pun
perlu.
Tahun ini, kasus terbanyak terjadi di empat kecamatan, yaitu
Kecamatan Nanggulan 12 kasus, Sentolo 12 kasus, Samigaluh 10 kasus, dan
Kokap 10 kasus. Sebagian besar warga yang terjangkit adalah petani dan
peternak.
Menurut Baning, untuk mengatasi itu, pihaknya menyosialisasikan
penanganan dan pencegahan penyakit leptospirosis ke sejumlah desa.
Dinkes juga melakukan penyelidikan epidemis di sekitar tempat terjadinya
kasus.
Untuk mengetahui penularnya, dinkes melakukan penelitian bersama tiga
lembaga, yaitu Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pemberantasan Penyakit Menular Yogyakarta, Loka Penelitian dan
Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara,
serta Balai Penelitian Reservoir dan Vector Salatiga.
”Penelitian masih berlangsung. Hasilnya belum bisa diketahui. Kami menduga bakteri berasal dari urine tikus,” katanya.
Kepala Puskesmas Kecamatan Nanggulan Sajarwadi mengemukakan, tahun
2010 di Nanggulan ada lima kasus leptospirosis. Dua penderitanya
meninggal. Pada Januari-pertengahan Maret 2011 terdapat 12 kasus dan
satu orang meninggal.
”Mereka yang meninggal akibat penyakit itu tidak mempunyai riwayat
penyakit bawaan. Mereka kebanyakan terserang ginjal dan hati,” katanya.
Kepala Dinkes Provinsi DI Yogyakarta Sarminto mengakui, leptospirosis
marak di Yogyakarta terutama di Kabupaten Bantul, Kulon Progo, Gunung
Kidul, dan Sleman. Di Yogyakarta, sepanjang Januari-pertengahan Maret
2011 ada 106 kasus dan 13 penderita meninggal.