Putus Mata Rantai NII, Perguruan Tinggi Terkemuka Diperketat

Written By Juhernaidi on Rabu, 27 April 2011 | 12:01:00 PM

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menegaskan bahwa seharusnya status siaga I tidak perlu dipertanyakan. Kalau orang mempertanyakan Siaga 1 berarti dia setuju ada terorisme. Demikian menurut Djoko. (foto: arsipberita.com)
JAKARTA - Sejumlah perguruan tinggi terkemuka di Pulau Jawa mulai memperketat pengawasan terhadap para mahasiswanya, terkait dengan aksi Negara Islam Indonesia (NII). Langkah itu diambil karena perguruan tinggi di Jawa disinyalir menjadi area perburuan para juru rekrut NII. Sebelumnya, Markas Besar Kepolisian RI menyatakan kampus di Pulau Jawa menjadi target garapan NII. Kepala Bidang Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar mengatakan sasarannya adalah kalangan remaja yang baru masuk perguruan tinggi. "Modusnya, mencuci otak saat mahasiswa baru mengikuti orientasi kegiatan tertentu," katanya di Jakarta, Senin lalu.
Sinyalemen kepolisian dibenarkan oleh Ketua Forum Ulama Umat Indonesia Athian Ali Dai. Menurut Athian, di Bandung gerakan NII terpantau di Institut Teknologi Bandung, STT Telkom, hingga Universitas Pendidikan Indonesia--dulu IKIP Bandung.
Athian menyatakan belum ada angka pasti jumlah mahasiswa di Bandung yang telah direkrut NII. Namun, mengutip data 2001, kata Athian, 200 mahasiswa ITB dikeluarkan gara-gara kuliahnya tak tuntas akibat direkrut NII. Dan, "Selama enam bulan terakhir, paling aktif upaya rekrutmen dilaporkan di kampus ITB," ujarnya kemarin. "Masjid Salman ITB sudah mewaspadai hal itu."
Antisipasi juga dilakukan UPI. Direktur Pembinaan Kemahasiswaan UPI, Cecep Darmawan, mengatakan pihaknya akan menggelar rapat khusus membahas soal ini pada Kamis. "Bersama dewan kemakmuran masjid," ujarnya kemarin.
Di Institut Pertanian Bogor, upaya menangkal gerakan NII dilakukan dengan mengasramakan mahasiswa tingkat I tanpa kecuali. Di asrama, mahasiswa itu akan dididik tentang ideologi agama yang benar. “Setelah keluar dari asrama dan tinggal di tempat kos, mereka jadi tak akan mudah dipengaruhi,” kata Rektor Institut Pertanian Bogor Herry Suhardiyanto setelah mengisi studium generale di Monumen Simpang Lima Gumul, Kabupaten Kediri, Selasa 26 April 2011 kemarin.
Di Surakarta, pengawasan terhadap aktivitas NII di kalangan mahasiswa akan melibatkan kepolisian. Kepala Kepolisian Resor Kota Surakarta, Ajun Komisaris Besar Listyo Sigit Prabowo, menyatakan pihaknya pekan ini akan menemui rektor dan pimpinan perguruan tinggi untuk koordinasi.
Menurut Listyo, pihaknya juga akan menemui semua lurah di Kecamatan Jebres pada Kamis. Di kecamatan tersebut terdapat kampus terbesar di Surakarta, Universitas Negeri Sebelas Maret dan Institut Seni Indonesia.
Di Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga tengah menyiapkan tim crisis center untuk korban NII, yang akan siap dibuka mulai pekan depan. “Kami harapkan, dengan dibukanya crisis center, para korban melapor kepada universitas sehingga terdeteksi jumlahnya,” kata Rektor UIN Musya Asari kemarin. Dengan melapor ke pihak universitas, lembaganya bisa melakukan pendampingan kepada korban.
Musya juga tengah menggodok redesain kurikulum. Dia menyatakan kurikulum pendidikan di UIN akan dirancang dengan perspektif Indonesia. “Misalnya, di fakultas ekonomi, tidak mungkin Indonesia yang menganut ekonomi kerakyatan jika fakultasnya mengadopsi pendidikan Barat yang kapitalis,” kata Musya.
Universitas Gadjah Mada menilai, untuk memutus mata rantai penyebaran NII di kampus, orang tua perlu terlibat aktif. Menurut Direktur Kemahasiswaan Sentot Haryanto, bila orang tua mendapati anaknya yang masih kuliah semester awal telah meminta uang praktek kerja lapangan, orang tua itu harus curiga. “Ini karena korban NII dimintai uang untuk kegiatan mereka,” dia mengingatkan.
Penetapan status Siaga 1 sebelumnya pasca penemuan ratusan kilogram bahan peledak di Serpong jelang perayaan Paskah menjadi sorotan publik. Sejumlah pihak mempertanyakan urgensi status tertinggi pengamanan yang diterapkan di seluruh Indonesia itu, juga batas waktu penetapannya.

Tapi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menegaskan bahwa seharusnya status siaga I itu tidak perlu dipertanyakan. "Kalau orang mempertanyakan Siaga 1 berarti dia setuju ada terorisme," ungkap Djoko usai menghadiri Konvensi Nasional Hak Kekayaan Intelektual 2011 di Hotel Borobudur, Jakarta.

Djoko menegaskan bahwa jika negara ingin aman  maka semua elemen bangsa harus bersiaga. Bukan hanya polisi dan TNI. "Yang penting negara kita aman, Siaga 1 kan bukan untuk Polri dan TNI saja, juga berlaku untuk masyarakat," tambah dia.

Sebagaimana luas diberitakan bahwa pada  Kamis 21 April 2011 lalu, pemerintah menetapkan status siaga I untuk seluruh wilayah Indonesia.  Penetapan itu dilakukan setelah ditemukan bom yang diletakkan di pipa gas PT Perusahaan Gas Nasional, di dekat gereja Christ Cathedral, Serpong. Polisi juga menangkap 20 terduga pelaku teror bom Serpong dan teror bom buku.

Hari Kamis itu juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan peningkatan status keamanan menjadi siaga I. "TNI dan Polri tadi pagi sudah Siaga I di tempat-tempat yang telah ditentukan,  khususnya nanti malam, besok pagi, sampai lusa menyongsong hari raya Paskah," kata Djoko usai rapat terbatas di Istana saat itu.

Namun, kebijakan itu dikritik. Salah satunya oleh anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Tubagus Hasanudin, yang  meminta pemerintah mencabut status itu jika tak ada kejadian luar biasa yang mengancam kepentingan nasional. Apalagi, status siaga I merupakan status tertinggi dalam kesiapan aparat keamanan.

Status ini, kata Tubagus, pada umumnya disiapkan untuk menghadapi ancaman dari luar atau ancaman yang disebabkan dari dalam seperti pemberontakan dan kudeta. "Atau apapun yang mengancam kepentingan nasional atau mungkin bencana alam dalam 'skala nasional'," ujar Tubagus.
Berlaku semenjak Kamis pekan lalu itu, Selasa kemarin status siaga I itu dicabut.
Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai radikalisme di Indonesia sudah pada tingkatan "lampu merah" atau sangat membahayakan sehingga negara harus berani menindak tegas.

"Ini sudah `lampu merah`, sudah `emergency`. Negara harus tegas, segera ambil tindakan," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj kepada wartawan di kantor PBNU, Jakarta.

Dikatakannya, terungkapnya pelaku teror bom yang berasal dari kalangan terpelajar dan memiliki perekonomian yang baik menunjukkan radikalisme telah menyentuh kalangan menengah.

Simulasi Jangka Sorong