Sinyalemen kepolisian dibenarkan oleh Ketua Forum Ulama Umat
Indonesia Athian Ali Dai. Menurut Athian, di Bandung gerakan NII
terpantau di Institut Teknologi Bandung, STT Telkom, hingga Universitas
Pendidikan Indonesia--dulu IKIP Bandung.
Athian menyatakan belum ada angka pasti jumlah mahasiswa di Bandung
yang telah direkrut NII. Namun, mengutip data 2001, kata Athian, 200
mahasiswa ITB dikeluarkan gara-gara kuliahnya tak tuntas akibat direkrut
NII. Dan, "Selama enam bulan terakhir, paling aktif upaya rekrutmen
dilaporkan di kampus ITB," ujarnya kemarin. "Masjid Salman ITB sudah
mewaspadai hal itu."
Antisipasi juga dilakukan UPI. Direktur Pembinaan Kemahasiswaan UPI,
Cecep Darmawan, mengatakan pihaknya akan menggelar rapat khusus membahas
soal ini pada Kamis. "Bersama dewan kemakmuran masjid," ujarnya
kemarin.
Di Institut Pertanian Bogor, upaya menangkal gerakan NII dilakukan
dengan mengasramakan mahasiswa tingkat I tanpa kecuali. Di asrama,
mahasiswa itu akan dididik tentang ideologi agama yang benar. “Setelah
keluar dari asrama dan tinggal di tempat kos, mereka jadi tak akan mudah
dipengaruhi,” kata Rektor Institut Pertanian Bogor Herry Suhardiyanto
setelah mengisi studium generale di Monumen Simpang Lima Gumul,
Kabupaten Kediri, Selasa 26 April 2011 kemarin.
Di Surakarta, pengawasan terhadap aktivitas NII di kalangan mahasiswa
akan melibatkan kepolisian. Kepala Kepolisian Resor Kota Surakarta,
Ajun Komisaris Besar Listyo Sigit Prabowo, menyatakan pihaknya pekan
ini akan menemui rektor dan pimpinan perguruan tinggi untuk koordinasi.
Menurut Listyo, pihaknya juga akan menemui semua lurah di Kecamatan
Jebres pada Kamis. Di kecamatan tersebut terdapat kampus terbesar di
Surakarta, Universitas Negeri Sebelas Maret dan Institut Seni Indonesia.
Di Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga tengah
menyiapkan tim crisis center untuk korban NII, yang akan siap dibuka
mulai pekan depan. “Kami harapkan, dengan dibukanya crisis center, para
korban melapor kepada universitas sehingga terdeteksi jumlahnya,” kata
Rektor UIN Musya Asari kemarin. Dengan melapor ke pihak universitas,
lembaganya bisa melakukan pendampingan kepada korban.
Musya juga tengah menggodok redesain kurikulum. Dia menyatakan
kurikulum pendidikan di UIN akan dirancang dengan perspektif Indonesia.
“Misalnya, di fakultas ekonomi, tidak mungkin Indonesia yang menganut
ekonomi kerakyatan jika fakultasnya mengadopsi pendidikan Barat yang
kapitalis,” kata Musya.
Universitas Gadjah Mada menilai, untuk memutus mata rantai penyebaran
NII di kampus, orang tua perlu terlibat aktif. Menurut Direktur
Kemahasiswaan Sentot Haryanto, bila orang tua mendapati anaknya yang
masih kuliah semester awal telah meminta uang praktek kerja lapangan,
orang tua itu harus curiga. “Ini karena korban NII dimintai uang untuk
kegiatan mereka,” dia mengingatkan.
Penetapan status Siaga 1 sebelumnya pasca penemuan ratusan kilogram
bahan peledak di Serpong jelang perayaan Paskah menjadi sorotan publik.
Sejumlah pihak mempertanyakan urgensi status tertinggi pengamanan yang
diterapkan di seluruh Indonesia itu, juga batas waktu penetapannya.
Tapi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto
menegaskan bahwa seharusnya status siaga I itu tidak perlu
dipertanyakan. "Kalau orang mempertanyakan Siaga 1 berarti dia setuju
ada terorisme," ungkap Djoko usai menghadiri Konvensi Nasional Hak
Kekayaan Intelektual 2011 di Hotel Borobudur, Jakarta.
Djoko
menegaskan bahwa jika negara ingin aman maka semua elemen bangsa harus
bersiaga. Bukan hanya polisi dan TNI. "Yang penting negara kita aman,
Siaga 1 kan bukan untuk Polri dan TNI saja, juga berlaku untuk
masyarakat," tambah dia.
Sebagaimana luas diberitakan bahwa
pada Kamis 21 April 2011 lalu, pemerintah menetapkan status siaga I
untuk seluruh wilayah Indonesia. Penetapan itu dilakukan setelah
ditemukan bom yang diletakkan di pipa gas PT Perusahaan Gas Nasional, di
dekat gereja Christ Cathedral, Serpong. Polisi juga menangkap 20
terduga pelaku teror bom Serpong dan teror bom buku.
Hari Kamis
itu juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan peningkatan
status keamanan menjadi siaga I. "TNI dan Polri tadi pagi sudah Siaga I
di tempat-tempat yang telah ditentukan, khususnya nanti malam, besok
pagi, sampai lusa menyongsong hari raya Paskah," kata Djoko usai rapat
terbatas di Istana saat itu.
Namun, kebijakan itu dikritik.
Salah satunya oleh anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,
Tubagus Hasanudin, yang meminta pemerintah mencabut status itu jika
tak ada kejadian luar biasa yang mengancam kepentingan nasional.
Apalagi, status siaga I merupakan status tertinggi dalam kesiapan aparat
keamanan.
Status ini, kata Tubagus, pada umumnya disiapkan
untuk menghadapi ancaman dari luar atau ancaman yang disebabkan dari
dalam seperti pemberontakan dan kudeta. "Atau apapun yang mengancam
kepentingan nasional atau mungkin bencana alam dalam 'skala nasional',"
ujar Tubagus.
Berlaku semenjak Kamis pekan lalu itu, Selasa kemarin status siaga I itu dicabut.
Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai
radikalisme di Indonesia sudah pada tingkatan "lampu merah" atau sangat
membahayakan sehingga negara harus berani menindak tegas.
"Ini
sudah `lampu merah`, sudah `emergency`. Negara harus tegas, segera ambil
tindakan," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj kepada wartawan di
kantor PBNU, Jakarta.
Dikatakannya, terungkapnya pelaku teror
bom yang berasal dari kalangan terpelajar dan memiliki perekonomian yang
baik menunjukkan radikalisme telah menyentuh kalangan menengah.