
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang telah melakukan empat kali amandemen
Undang-undang Dasar 1945 dinilai telah melanggar nilai-nilai dasar
perjuangan bangsa. Akibatnya dari perubahan itu, pembangunan tak dapat
dirasakan maksimal.
(foto: Google)
JAKARTA - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
telah melakukan empat kali amandemen Undang-undang Dasar 1945 dinilai
telah melanggar nilai-nilai dasar perjuangan bangsa. Akibatnya dari
perubahan itu, pembangunan tak dapat dirasakan maksimal.
Hal ini disampaikan Pembina Komite Restorasi Indonesia (KORI) Dimyati
Hartono dalam dialog UUD 1945 di Gedung DPR, Jakarta. “Amandemen yang
dilakukan MPR pada 1999, 2000, 2001, dan 2002 telah berdampak pada
ditinggalkannya faktor historis yang dimiliki bangsa ini,” kata Dimyati.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Diponegoro ini mengatakan,
perubahan UUD 1945 telah menghapus bagian penjelasan UUD 1945 yang
merupakan sistem konstitusi asli. “Dengan dihapusnya penjelasan ini maka
korelasi historis, filosofis, ideologis, dan konsepsi nasional di
bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan pertahanan menjadi
berantakan,” ujarnya.
Yang lebih mengherankan, kata Dimyati,
sikap MPR yang melakukan amandemen dalam bentuk adendum. Menurutnya,
perubahan yang seperti itu dapat diartikan bahwa hasil perubahan
langsung ditempelkan dan melekat pada yang aslinya. Akan tetapi yang
asli sudah dirusak. “Adendum itu membuat perubahan yang ditempelkan
melekat pada yang asli," katanya.
Artinya, MPR ini tidak
konsisten dengan keputusannya sendiri. "Nah inilah sumber permasalahan
di negara kita saat ini,” katanya.
Akibatnya, semua pembangunan
menjadi stagnan dan hanya dirasakan sekelompok orang saja. “Kemajuan
hanya dirasakan pada mereka bisa memanfaatkan kekuasaan dan memanfaatkan
fasilitas negara," katanya. "Sebab orientasi negara tak lagi pada
kesejahteraan rakyat.”
Menyikapi kondisi tersebut, Dimyati
mengusulkan harus segera dilakukan perbaikan-perbaikan pada sistem
konstitusi secara menyeluruh dan tidak bisa sebagian saja. “Negara ini
tidak bisa dibetulkan secara parsial, harus fundamental, yaitu melalui
restorasi terhadap amandemen UUD 45,” katanya.
Sebelumnya, rapat
konsultasi antara pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi-fraksi di DPR
berlangsung di Gedung DPR/MPR Jakarta, Kamis untuk membahas kelanjutan
rencana pembangunan gedung baru DPR.
Rapat dipimpin oleh Ketua
DPR Marzuki Alie didampingi para wakil ketua DPR. Fraksi-fraksi
menyampaikan sikap terkait rencana pembangunan gedung baru DPR.
Rencana pembangunan gedung baru DPR senilai Rp1,1 triliun dengan 36
lantai menuai kritik dan kontroversi di internal DPR RI. Namun Marzuki
Alie bertahan karena sudah diputuskan oleh DPR RI, bahkan DPR periode
lalu juga sudah membahasnya dan memutuskan hal itu.
Marzuki
mengemukakan, pihaknya memiliki dokumen bahwa gedung baru itu sudah
direncanakan dan diputuskan DPR periode lalu. "Saya akan buka semua
dokumen yang ada mengenai rencana tersebut. Saya sudah membaca semua
dokumen itu dan jelas gedung itu sudah direncanakan oleh DPR periode
lalu," katanya.
Bahkan, kata Marzuki, DPR periode lalu sudah
menghitung biaya konstruksi dan sudah menunjuk konsultan perencanaan dan
ada anggaran sebesar Rp4,2 miliar yang telah digunakan. Dengan
dibukanya data itu maka akan jelas semuanya.
Dia merasa
disudutkan secara sistematis. Pembelaannya terhadap rencana itu karena
posisinya sebagai ketua DPR dan juru bicara DPR yang menyampaikan apa
pun yang sudah menjadi keputusan lembaga.
"Ini sudah keputusan
lembaga, semua anggota dalam paripurna sudah menyetujui dan saya hanya
menyampaikan apa yang menjadi keputusan bersama. Ini bukan keputusan
saya pribadi, masa saya bisa mempengaruhi 559 anggota lainnya, hebat
benar Marzuki kalau begitu," katanya.