“Namun, Allah SWT memalingkan langkah saya untuk mendapatkan hidayah,” ungkap dia.
Lianus
besar di daerah dimana Muslim hanya sedikit jumlahnya. Inilah yang
membuat Lianus tidak pernah mengenal Islam. Bahkan bila bertemu dengan
simbol-simbol Islam seperti pakaian Muslim, maka tak tanggung-tanggung
bakal dia bakar.
Suatu hari, ia menonton film penyaliban Yesus
Kristus. Saat mengikuti film itu, Lianus melihat adegan Yesus saat
memasuki gereja, secara spontan Yesus mengangkat kedua tangannya sembari
memberikan ceramah kepada para murid-muridnya. Pertanyaan segera
mengemuka dalam diri Lianus.
“Mengapa agama saya dalam kehidupan
sehari-hari tidak sama dengan apa yang dilakukan Yesus, Misalnya saja,
dalam gereja, Yesus berdoa sembari menengadahkan kedua tangan, bukan
bernyanyi,” tanya Lianus dalam hati.
Rasa penasaran iu semakin
bertambah ketika Yesus hendak ditangkap. Dalam film itu, cerita Lianus,
Yesus mengatakan akan datang yang menggantikannya. Pernyataan
Yesusdirenungkan betul oleh Lianus. Lalu dia secara spontan bertanya
kepada pastornya. “ Siapa yang akan menggantikan Yesus?” Lalu seketika
pastor menjawab “Messiah”. “Lho, Yesus kan Messias juga?” tanyanya
kembali.
“Saya pun tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti, setelah itu," ujarnya.
***
Setamat
SMP, Lianus diboyong pamannya ke Medan, Sumatera Utara. Kepindahannya
dari Nias ke Medan, Lianus membawa dirinya tiga bekal pertanyaan.
Pertanyaan pertama, mengapa cara beribadah agamanya tidak sesuai dengan
Yesus. kedua, mengapa Tuhan bisa punya anak, lalu anak itu menjadi
Tuhan dan kemudian meninggal. Ketiga, selama di Medan, Dia sering
mendengar rekaman dai kondang yang menceritakan kisah para Nabi mulai
dari Nabi Adam hingga ke Muhammad SAW. “Kok Islam bisa punya cerita
seperti itu. Saya tidak tahu,” tanya.
Di Medan, Lianus tinggal di
dekat Masjid. Secara otomatis, dia selalu mendengarkan pengajian tiap
sore. Lianus yang tengah menginjak bangku sekolah menengah begitu
senang memperhatikan umat Islam tengah berwudhu.
Tanpa sadar,
apa yang dia lihat itu mirip dengan adegan film yang ia tonton. “Lho
inikan yang saya lihat dari film tersebut. Saat itu, Nabi Musa AS
meminta umatnya untuk membersihkan kaki, muka, tangan,” kenangnya.
Sejak itu, Lianus aktif mengikuti aktivitas masjid. Ia diterima dengan baik, kendati belum bersyahadat.
Perubahan Lianus dibaca sang paman. Ia kemudian memboyong Lianus ke Riau.
Di
Riau, Lianus bekerja di sebuah perusahan kertas. Selama di Riau, ia
sempat melihat perilaku umat Islam yang tidak konsisten menjalankan
ibadahnya. Dia pun memutuskan untuk tinggal dekat masjid. Lagi-lagi
melalui masjid tersebut, Lianus mendengar kisah para nabi, termasuk Nabi
Isa dan kisah Maryam.
Goncanglah keimanan Lianus. “Ketika saya
merenung, ketika malam puncak. Saya tidak tidur. Saya pun minum
terakhir kali. Setelah itu, saya niatkan diri untuk bertobat,” kenang
Lianus.
Akhirnya, Lianus memutuskan untuk masuk ke dalam masjid.
Kebetulan, ada salah seorang pemuda bernama Suryadi di sana. Ia
menuntun Lianus pada Alquran. Oleh Yadi, Lianus diperlihatkan surat
Al-Imran untuk menjawab pertanyaan pertama dan kedua. Lalu, Yadi,
memperlihatkan Alquran surat Al-Maidah untuk menjawab pertanyaan
ketiga. “Makin yakinlah saya, Alhamdulillah, saya bersujud kepada Allah
SWT. Saya meminta disyahadatkan,” ungkap Lianus.
Dia pun
dibimbing oleh Haji Amin dari Masjid Istiqomah mengucapkan dua kalimat
syahadat lalu bergantilah nama menjadi Abdul Aziz Laiya.
Kabar
Lianus masuk Islam segera terdengar oleh pamannya. Tak lama, orang tua
Lianus mendengar kabar Keislaman Lianus. Keluarganya marah besar.
Bahkan, sang paman tak segan memukul dan menendang dirinya. Lalu, oleh
sang paman, dia dibawa kembali pada keluarganya. Oleh ayah dan ibunya,
Lianus diancam tidak akan lagi diakui sebagai anak.
“Selama
tiga bulan pertama memeluk Islam, saya menghadapi tendangan, pukulan,
dan diceburkan ke kolam,” kata dia. Bahkan seorang pamannya menyiramnya
dengan darah babi lalu dipaksa makan babi. Menurut sang paman,
tindakan itu merupakan bagian dari ritual untuk mengembalikan Lianus
kepada jalan yang benar.
"Dalam menghadapi tekanan bertubi, saya hanya bisa mengucapkan laa Illahalillah dan shalat," kata dia.
Saat
itulah, Lianus merasa sendirian. Tidak ada yang membantu dirinya
memperjuangkan Islam. “Terguncanglah saya saat itu,” kenang dia. Selama
seminggu Lianus tidak shalat, seminggu itu pula iman Lianus babak
belur; dirayu untuk kembali kepada ajaran agama sebelumnya.
Seorang
Ustad bernama Sahabudin kemudian mendatangi dia dan memberikan
nasihat. “Alhamdulillah, kembalilah saya kepada jalan Allah SWT,”
ungkap dia.
Lianus kembali mendalami Islam. Dia kembali
mengikuti berbagai majelis taklim yang digelar. Dia pun menjadi ketua
remaja masjid di lingkungannya. Dia juga bertugas membimbing para
mualaf. Lalu dipertemukanlah dia oleh Ustad Nababan, pengasuh pondok
Pesantren Pembina Muallaf Annaba Center, Tangsel, Banten.
Lianus
sempat kembali ke Nias lantaran menerima kabar bahwa ayahnya tengah
sakit. Ia diminta kembali ke agama sebelumnya, agar sang ayah sembuh.
Ia
menggeleng. "Dengan ilmu rukyah yang pas-pasan, hanya mengandalkan
bacaan basmalah, surah al-Fatihah, al -Ikhlas, al-Alaq, dan ayat kursi.
Subhanallah, ayah saya sembuh. Yang hadir menyaksikan kesembuhan ayah
saya terkejut. Padahal waktu itu saya belum bisa baca Alquran, saya
baru belajar mengaji," kenangnya.
Kini, Lianus merasakan
ketenangan batin luar biasa dalam memeluk Islam. Dia merasa selalu
dimudahkan dalam beraktivitas. “Ketika sedih, dengan berzikir,
hilanglah kesedihan. Ketika tengah bermasalah, saya baca Alquran maka
datanglah inspirasi,” kata dia