Seratusdelapanpuluh kilometer dari utara Kota Terlarang (Beijing saat ini), terletak Changzhou, tempat tinggal suku Hui. Hui adalah suku Muslim di Cina. Namun, selain Islam, ada hal yang menjadi kecintaan anggota suku, yakni tradisi seni bela diri.
Sebelum penemuan
senjata, Wushu merupakan alat utama pertempuran dan pertahanan diri di
Cina. Para pemimpon Hui selalu mendorong anggotanya mempelajari Wushu
sebagai 'kebiasaan suci' demi memperkuat disiplin dan keberanian untuk
memperjuangkan sekaligus bertahan di tanah mereka.
Saat itu
masjid-masjid, bagi suku Hui, bukan hanya tempat untuk beribadah, tapi
juga medan latihan bagi grandmaster untuk menempa dasar-dasar Wushu
kepada murid-murid yang antusias.
Seperti banyak Hui yang lain,
Wang Ziping lahir di tengah keluarga miskin. Ayahnya bekerja sebagai
petinju bayaran. Saat masih bocah, Ziping menunjukkan keinginan kuat
belajar Wushu. Bela diri ini adalah identitas Hui. Tidak ada Hui--yang
saat itu hanya senilai upah garam--akan berani menjalani hidup tanpa
"Latihan Delapanbelas Pukulan Pertempuran" dan "Tinju Diagram Delapan"
melekat pada tubuh dan pikiran.
Selain Wushu, Hui juga mendalami ajaran Islam. Dengan demikian
kehidupan Hui adalah campuran antara buruh miskin, latihan keras dan
spiritual mendalam. Kemampuan luar biasa mereka dalam Wushu bukan
sesuatu yang datang sekejap mata.
Begitu pula yang dialami
Ziping. Di tengah pelajaran mengaji Al Qur'an, Ziping juga harus
mengangkat batu berat untuk membangun stamina, kekuatan dan galian parit
yang kian lama kiat luas begitu kemampuannya melompat meningkat.
Keseimbangan yang baik diasah dengan cara berbahaya. Zipping ditanam
dalam tanah.
Saat itu pula Zipping membaca lantunan zikir. Kekuatan dan
keseimbangannya pun bertambah berlipat ganda. Konsentrasi yang biasa
dilakukan saat shalat sebagai tuntutan dalam Islam menjadi tulang
punggung sesolid batu bagi gerakan mengalir Wushu.
Iklim di
Changzou cukup sejuk ketika musim panas, namun dingin saat musim salju.
Dalam bulan-bulan musim dingin salju jarang turun sehingga memungkina
latihan tetap digelar. Zipping berlatih dengan seluruh elemen untuk
membuat tangguh tubuhnya. Begitu ia menginjak usia 14 tahun, ia sudah
bisa melompat lebih dari 3 meter dari posisi berdiri.
Sayang
bocah dengan tubuh setegap pria dewasa dan kualitas petarung itu tak
memiliki guru. Ayahnya yang keras kepala menolak memasukkan Zipping ke
sekolah Wushu. Setengah putus asa mencari guru dan teman, ia jatuh ke
dalam komunitas rahasia yang menyebut diri mereka "Jurus Kebenaran dan
Keharmonian".
Akhirnya Wang Zipping memutuskan pergi dan
mengembara ke selatan Jinan, di mana ia menjadi musafir yang tinggal di
sebuah Masjid Besar. Dalam ruang utama masjid itulah, Zipping bertemu
pria seperti dirinya, seorang petinju. Ia bernama Yang Hongxiu,
grandmaster Wushu yang akhirnya menjadi gurunya.
Dan Zipping pun
dengan serius mulai mempelajari gerakan burung dan mamalia, seperti
elang menukik menyambar mangsa, gerakan kelinci melintas padang rumput,
hingga lompatan jitu anjing menghindar dari bahaya. Ia menyerap semua
karakter gerakan itu kemudian menciptakan gayanya sendiri. Stamina dan
refleksnya yang kian berkembang, membuat Zipping tak hanya kuat tetapi
juga cepat--sebuah kombinasi mematikan dalam Wushu.
Seorang
dianggap Grandmaster ketika ia mampu menggunakan alat apa pun sebagai
senjata. Pengembangan kemampuan ini adalah seni sekaligus kebutuhan
dalam Wushu. Zipping, menjadi luar biasa fasih dengan semua senjata
utama.
Dia sangat mahir terutama dalam melakukan Qinna, yakni
teknik sergapan yang dapat mengunci sendi dan otot-otot lawan dalam
persiapan melakukan serangan dahsyat; Shuaijiao. Nama yang terakhir itu
adalah gaya bertarung tangan kosong yang menggabungkan prinsip Tai Chi,
Hard Qigong dan Teknik Meringankan Tubuh.
Ia mendapat pengakuan
sebagai seniman bela diri yang utuh. Pada saat bersamaan ia juga pakar
dalam trauma tulang. Ia mengombinasikan pengetahuan mendalam dalam Qinna
dengan ketrampilang mengatur tulang. Akhirnya ia menemukan sistem
penyembuhan untuk cedera Wushu dan olahraga di utara Cina.
Legenda Klasik
Banyak kisah, ada yang asli dan juga sekedar mitos, yang telah
disematkan pada sosoknya. Namun yang selalu diulang adalah kisah satu
ini.
Selama melakukan praktek pengobatan di Jiaozhou, Jerman
ditugaskan untuk membangun rel kereta api dari kawasan itu menuju Jinan.
Proyek mercusuar itu adalah harga mahal yang harus dibayar setelah Ratu
Ci'xi gagal dalam pemberontakan tinju. Rel dibuat dengan yang tujuan
memperluas dan mengkokohkan kontrol Eropa atas daratan Cina.
Reputasi
Zipping bukannya tak diketahui oleh Jerman. Lebih cerdas dan berani
dari pada koleganya, para Jerman berupaya mempermainkannya. Seorang
petinggi militer Jerman bersiasat dengan menempatkan penggilingan batu
besar di depan stasiun rel kereta api dan menantang siapa pun untuk
mengangkatnya.
Zipping yang tidak pernah bisa tahan dengan
penghinaan terhadap orang Cina, secara alami langsung gusar. Seperti
yang diharapkan Jerman, Zipping masuk perangkap.
"Bagaimana kalau saya bisa mengangkatnya," tanya Zipping.
"Maka gilingan itu menjadi milikmu," para Jerman menjawab dengan tampang mengolok-olok.
"Bila saya gagal?"
"Maka kamu harus membayar,"
Zipping
denga mudah mengangkan gilingan batu itu, meninggalkan para Jerman
tercengang-cengang. Seorang warga Amerika yang bekerja sebagai guru
fisika di tempat itu, menyaksikan aksi Zipping. Ia pun menantang duel.
Saat
berjabat tangan mengawali pertandingan, tiba-tiba si Amerika dengan
kuat memegang tangan Zipping dan berupaya membantingnya ke tanah.
Zipping secepat kilat menyapukan kaki ke bagian bawah tubuh lawannya dan
membuatnya ambruk.
Karena reputasinya, Zipping ditunjuk sebagai
kepala Divisi Shaolin di Institut Pusat Seni Bela Diri. Ia juga pernah
menjabat wakil presiden Asosiasi Whusu Cina, organisasi Wushu tertinggi
di CIna.
Ia memegang banyak gelar dan tanggung jawab, termasuk
konsultan sejumlah rumah sakit besar di penjuru Cina. Karirnya sebagai
pakar bela diri juga kian menajam setelah ia melakoni banyak duel dengan
orang asing. Ia selalu ingin membuktikan bahwa Cina bukan ras inferior.
Meski
dalam usia senja, Zipping tak pernah kehilangan kekuatan dan
kecepatannya. Pada 1960 ketika ia menjadi pelatih dan direktur grup
pelajar Wushu yang menyertai perdana menteri saat itu, Zhou Enlai,
melawat ke Burma, ia diminta mendemonstrasikan kemampuannya. Di depan
tuan rumah ia menampilkan jurus dengan senjata luar biasa berat, Pedang
Naga Hitam. Dengan teknik tinggi, kemampuan dan semangat muda, tak
satupun orang berpikir ia telah berkepala delapan.