LONDON – Inggris sedang memikirkan rencana untuk
menjauhkan milyaran dolar penghasilan minyak Libya dari rejim Kolonel
Moammar Gaddafi dan menempatkan penghasilan minyak tersebut di bawah
kendali PBB.
William Hague, Menteri Luar Negeri Inggris telah mengatakan kepada
para Anggota Parlemen bahwa ia sedang mempertimbangkan kasus untuk
tindakan internasional untuk mengalihkan penghasilan minyak ke dalam
sebuah rekening giro oleh pihak ketiga yang akan dikelola oleh PBB atas
nama rakyat Libya.
Rencana tersebut, serupa dengan sistem pertukaran minyak untuk
makanan yang diterapkan pada Irak masa Saddam Hussein setelah Perang
Teluk pertama, akan mengharuskan Dewan Keamanan PBB untuk menggunakan
hak kekuatannya di bawah Bagian VII piagam PBB.
Hague mengatakan bahwa ia melihat rencana tersebut sebagai bagian
dari upaya untuk "mengurangi aliran finansial untuk rejim Gaddafi" di
tengah-tengah rasa takut bahwa penghasilan minyak negara tersebut
membantu mendanai kekerasan terhadap kelompok oposisi dan para pemrotes
warga sipil.
Pendanaan pribadi diktator tersebut dan rumah tangganya adalah subjek
untuk sanksi internasional dan pembekuan aset, namun rejim tersebut
melanjutkan untuk memiliki akses pada ratusan juta dolar penghasilan
minyak negara tersebut.
Walaupun beberapa fasilitas produksi minya seperti Ras Lanuf berada
di tangan oposisi, Kolonel Gaddafi masih memegang terminal minyak
terbesar di Libya, Es Sider.
Sebelum penentangan kepada rejim tersebut, Libya mengekspor sekitar
1,6 juta barel minyak dalam satu hari, membuat negara tersebut sebagai
eksportir minyak terbesar ke-12 di dunia. Sekarang, kegiatan ekspor
menurun secara tajam, dengan beberapa analis industri menyarankan bahwa
rejim tersebut bisa memproduksi hanya sekitar 200.000 barel per hari.
Namun bahkan pada tingkatan tersebut, harga minyak yang tinggi
membuat ekspor minyak dapat memberikan rejim tersebut penghasilan lebih
dari £ 100 juta dalam satu minggu. Pendapatan minyak membentuk sekitar
80 persen dari anggaran negara Libya.
Menanggapi sebuah pertanyaan parlementer dari Rory Stewart, seorang
Anggota Parlemen konservatif, Hague mengkonfirmasikan bahwa Inggris
melihat pada pilihan untuk sebuah rekening giro pihak ketiga Libya.
"Kami terus-terusan melihat pilihan lainnya di atas pembekuan aset dan langkah-langkah yang kami telah ambil," ia mengatakan.
"Kami terus-terusan melihat cara lain untuk mengurangi aliran
fianansial kepada rejim Gaddafi yang kemungkinan digunakan untuk
mendukung kekerasan dan upaya untuk menekan protes populasi warga sipil.
Kami tentunya akan mempertimbangkan langkah-langkah seperti itu."
Pada Selasa, anggota Persatuan Eropa setuju untuk menambahkan
Otoritas Investasi Libya (Libyan Investment Authority – LIA) pada sebuah
daftar sanksi, dengan pembatasan yang diharapkan berlaku pada Jum'at.
Para diplomat mengatakan bahwa 27 negara anggota Persatuan Eropa
telah setuju untuk menerapkan sanksi pada Otoritas Investasi Libya dan
empat organisasi lainnya. Embargo tersebut telah mencakup 26 warga Libya
termasuk Kolonel Gaddafi dan keluarganya.
LIA didirikan pada 2006 dengan modal awal sekitar $40 milyar.
Otoritas tersebut telah meluas dengan investasi di sebuah jangkauan aset
Eropa, dari klab sepak bola sampai perusahaan penerbitan. Pembatasan
tersebut akan membekukan inverstasi LIA di semua negara Persatuan Eropa,
dan saham lainnya yang aset manajemen perusahaan mengawasi atas nama
dana kekayaan kedaulatan. Di antara investasi tertinggi dana tersebut
adalah sebuah saham 7,5 persen di klab sepak bola Italia Juventus.
Hague juga telah bersikeras bahwa menerapkan sebuah zona bebas terbang di atas Libya masih sebuah kemungkinan yang nyata.
Inggris dan Perancis bekerja pada sebuah resolusi Dewan Keamanan
berusaha agar otoritas PBB untuk tindakan internasional untuk menghukum
angkatan udara Kolonel Gaddafi.
Rusia, seorang anggota permanen dari dewan tersebut, telah mengatakan
bahwa pihaknya akan menentang adanya intervensi militer di Libya, dan
Robert Gates, Menteri Pertahanan AS, telah waspada akan hal tersebut.
Bagaimanapun juga, Presiden Barack Obama telah mengatakan bahwa
sebuah zona bebas terbang masih tetap sebuah kemungkinan, dan beberapa
negara Teluk telah menyerukan intervensi.
Hague bersikeras bahwa sebuah zona bebas terbang adalah "sebuah kemungkinan realistis dan merupakan sebuah kemungkinan praktis."
Ia menambahkan: "Zona bebas terbang tersebut harus memiliki sebuah
dasar hukum yang jelas, harus memiliki dukungan internasional, dukungan
yang luas di kawasan itu sendiri."