Subhanallaah…sungguh kagum aku pada seorang nenek tua yang
umurnya mungkin sudah mencapai angka 80 atau 90 itu. Benar-benar
mengagumkan.
Semua ini kemudian mengajarkanku tentang kebiasaan dan kita sebagai manusia yang menjadi ‘budak’ dari kebiasaan tersebut.
Setelah lebih dari tiga hari membersamai beliau, aku menjadi semakin
mengenali sosok itu. Nenek tua itu berwajah bersih. Memiliki kebiasaan
yang selalu rapi, dan sangat rajin.
Ia sangat mencintai mesjid dan selalu tepat waktu dalam sholatnya.
Jika saja sudah terdengar adzan berkumandang, ia bersegera untuk
melaksanakan sholat. Sering kali ia menunaikan sholat ke mesjid.
Tapi, belakangan anak dan cucunya sudah melarang karena ketuaannya
itu. Dikhawatirkan beliau akan terjatuh jika berjalan sendirian ke
mesjid. Osteoporosis telah merenggut kebebasannya untuk melangkah. Tapi,
meski dengan punggung yang bungkuk begitu, ia selalu berupaya untuk ke
mesjid. Ia selalu menjadi yang pertama di seantero penghuni rumah itu
untuk berwudhu’ dan sholat jika saja adzan telah berkumandang.
Dan ia pula yang menjadi orang yang paling berlama-lama bersama Al
Qur’an dan melafadzkan huruf demi hurufnya. Ia juga masih turun ke dapur
dan ikut memasak sesuatu meski hanya sayur bening, walaupun anak
cucunya sudah mencegat.
Ia pun masih senantiasa bersih dan rapi dengan kamarnya yang tak
terlihat berantakkan sedikitpun, di saat orang-orang seusianya banyak
yang mengabaikan hal ini.
Kemudian aku bertanya pada anak dari nenek itu. Bagaimana bisa nenek
itu melaksanakannya di saat orang-orang seumuran beliau mungkin tak
banyak yang bisa seperti itu?
Anaknya menjawab, bahwa beliau telah melakoni ini semua semenjak ia
kecil dulunya. Semenjak ia mulai mengerti tentang kehidupan. Masya
Allah…
Semua ini mengajarkan kepada kita, bahwa kita memang menjadi ‘budak’
dari kebiasaan kita. Ketika kita membiasakan suatu keburukan, maka, kita
akan menjadi budak dari keburukkan tersebut.
Kita akan senantiasa melakoninya. Pun sebaliknya, ketika kita
terbiasa melakoni sesuatu kebaikan. Kita pun menjadi ‘budak’ dari
kebiasaan tersebut yang akan senantiasa pula kita lakukan.
Seperti kata sebuah pepatah Minang, “Ketek taraja-raja, gadang tabawo-bawo, lah tuo tarubah tido.” (Di waktu kecil mulai belajar untuk melakukannya, ketika dewasa mulai menjadi kebiasaan, ketika tua tidak dapat diubah lagi.)
Sebuah penelitian membuktikan bahwa otak kita akan mereduksi segala
sesuatu yang sangat jarang digunakan, diulang maupun dibiasakan. Itu
sebabnya, jika kita sudah lama tidak mengulangi sesuatu semisal
pelajaran maka kita akan melupakannya.
Apalagi hafalan Al Qur’an, yang ketika sudah lama tidak diulang,
ia-nya begitu cepat lenyap dari ingatan, bahkan lebih cepat dari kuda
yang lepas dari tali kekangannya. Astaghfirullaah… astaghfirullaah…
Maka sebab itu pulalah, Rasulullaah perintahkan kepada kita untuk
menjaga kebiasaan baik ini. Tentang menjaga amalan baik kita. Sungguh
Allah menyukai amalan yang istimror. Berkelanjutan. Dari Aisyah ra.,
Rasulullah bersabda : “Amal perbuatan agama yang paling disukai Allah yaitu amal perbuatan yang terus dikerjakan oleh orang yang mengerjakannya.” (Al Hadits)
Ini semua menjadi ‘reminder’ bagi kita, bagi diriku terutama. Sebab,
aku pun sesungguhnya masih sangat jauh dari ini semua. Aku pun masih
belum bisa melaksanakan yang demikian itu.
Semoga ini semua menjadi pengingat bagi diri kita tentang
ke-istimror-an amalan-amalan yang kita kerjakan. Astaghfirullaah lii wa
lakum ajma’in.