"Moqtada al-Sadr telah kembali ke rumahnya di Najaf. Ia tiba sekitar pukul 3:00 (12:00 GMT) dengan beberapa pemimpin dari gerakan Sadr," kata sumber itu, menambahkan bahwa Sadr tidak sekedar mengunjungi Najaf tetapi harus kembali untuk tinggal di sana.
Sumber itu mengatakan Sadr telah meninggalkan Irak pada akhir tahun 2006.
Sadr, putra dari tokoh Syi'ah Ayatollah Mohammed Sadiq al-Sadr, dilaporkan tengah belajar agama di kota suci Qom Iran.
Ulama Syi'ah, yang dikatakan berusia 30 tahun itu, mendapatkan popularitas yang luas di kalangan Syi'ah di Irak pada bulan-bulan awal setelah invasi pimpinan Amerika tahun 2003 dan pada tahun 2004. Milisi Tentara Al-Mahdinya berjuang melawan pasukan AS dalam dua konflik berdarah.
Dikenal untuk sorban hitam dari "sayid," atau konon keturunan Nabi Muhammad dan jenggot hitamnya yang mencolok, ulama muda Syi'ah itu diidentifikasi oleh Pentagon pada tahun 2006 sebagai ancaman terbesar bagi stabilitas di Irak.
Milisinya menjadi yang paling aktif dan menjadi kelompok Syi'ah bersenjata yang paling ditakuti, dan oleh Washington milisinya disalahkan untuk pembunuhan ribuan kaum Sunni Irak.
Tetapi pada bulan Agustus 2008, ia menghentikan kegiatan Tentara Mahdinya, yang pernah berjumlah puluhan ribu, menyusul serangan besar-besara Amerika Serikat terhadap bentengnya di Baghdad dan Irak selatan pada musim semi tahun pada tahun itu.
Setelah gencatan senjata, komandan militer AS memuji Dia, katanya tindakannya telah berperan dalam membantu membawa penurunan yang signifikan pada tingkat kekerasan di Irak.
Meskipun langka tampil di depan umum, ulama muda Syi'ah ini menjadi idola oleh jutaan Syi'ah, khususnya di kota suci Najaf di Irak tengah di mana ia memiliki kantor pusat.
Secara politis, Sadr menunjukkan dia bisa menarik dukungan kuat meskipun keluar negeri.
Setelah kecewa berat kepada politikus Syiah Nouri al-Maliki pada tahun 2006, yang memastikan diri menjadi perdana menteri, Sadr kemudian memerintahkan para pengikutnya untuk keluar dari kabinet Perdana Menteri setahun kemudian, yang hampir menjatuhkan pemerintah Maliki.