Bagaimanapun upaya interaksi positif diciptakan dan dilakukan oleh guru, perilaku bermasalah mungkin masih dapat mucul. Setiap masalah yang muncul, guru pun harus menanganinya dengan cara efektif dan tepat waktu. Untuk hal ini, guru harus memiliki teknik konseling, memfokuskan pada pemahaman, bersama-sama mengatasi masalah perilaku acuh yang tak pantas sambil memberdayakan perilaku yang pantas. Namun demikian, guru penting selalu memahami bahwa perilakunyalah yang pertama harus harus dievaluasi sebelum mengevaulasi perilaku anak. Oleh karena itu, guru seharusnya dapat melihat melampaui perilaku yang tak pantas itu dan melihat seorang manusia yang patut dihargai dan dididik (Ahuja et al., 2006).
Evertson (2003) dalam Santrock (2008), membedakan dua bentuk intervensi dalam menangani perilaku bermasalah, yaitu intervensi minor dan intervensi moderat. Beberapa problem yang ditangani dengan intervensi minor adalah perilaku yang biasanya mengganggu aktivitas kelas dan proses belajar-mengajar. Misalnya, rebut sendiri, meninggalkan tempat duduk tanpa izin, bercanda sendiri, atau makan permen di kelas. Strategi intervensi minor yang efektif dapat dilakukan dalam bentuk:
- isyarat nonverbal, seperti kontak mata, meletakkan telunjuk jari di bibir, menggeleng kepala atau isyarat tangan untuk menghentikan perilaku tersebut.
- terus lanjutkan aktivitas belajar, terkadang transisi antar-aktivitas berlangsung terlalu lama atau terjadi kemandekan aktivitas saat siswa tidak melakukan apa-apa. Dalam situasi ini, siswa mungkin meninggalkan tempat duduknya, bercanda, dan mulai rebut. Strategi yang baik adalah bukan mengoreksi tindakan siswa, tetapi lebih baik memulai aktivitas baru dengan segera.
- dekati siswa, saat mulai bertindak menyimpang, guru cukup mendekatinya, maka biasanya dia akan diam.
- arahkan perilaku.
- beri instruksi yang dibutuhkan.
- suruh siswa berhenti dengan nada tegas dan langsung.
- beri siswa pilihan.
Sedangkan beberapa perilaku yang salah lainnya membutuhkan intervensi yang lebih kuat (intervensi moderat). Misalnya, ketika siswa mengganggu aktivitas, keluar dari kelas, atau mengganggu pelajaran. Berikut ini beberapa intervensi moderat untuk mengatasi problem jenis ini:
- Jangan berikan privilise atau aktivitas yang mereka inginkan, seperti diperbolehkan berjalan keliling kelas atau mengerjakan tugas dengan teman.
- Buat perjanjian behavioral, merujuk pada perjanjian yang telah disepakati atau aturan kelas.
- Pisahkan atau keluarkan siswa dari kelas, mencabut penguatan positif dari siswa dan melakukan time out.
- Kenakan hukuman atau sanksi, bisa dalam bentuk perintah mengerjakan tugas berkali-kali, diberi soal tambahan, atau disuruh berlari lebih lama. Namun, masalah yang perlu diantisipasi bahwa hukuman dapat membahayakan sikap siswa terhadap pokok persoalan.
Menurut Santrock (2008), dalam mengupayakan agar siswa dapat berperilaku sesuai aturan, guru dapat menggunakan bantuan orang lain, seperti teman sebaya, orang tua, kepala sekolah, dan mentor. Mediasi teman sebaya terkadang sangat efektif untuk mengajak siswa-siswa lain berperilaku lebih tepat. Misalnya, jika dua siswa mulai berselisih, mediator teman bisa membantu menengahi pertikaian. Konferensi guru-orang tua bisa dilakukan dengan menelepon orang tua siswa atau mengadakan rapat orang tua untuk problem tertentu. Namun untuk perilaku siswa tertentu, biasanya cukup dengan memberi tahu orang tua, siswa sudah dapat menunjukkan perubahan. Dalam hal ini, guru cukup mendeskripsikan problem dan mengatakan harap bantuan dari orang tua.
Jika semua usaha gagal mengubah perilaku siswa, upaya lain dapat ditempuh dengan meminta bantuan kepala sekolah. Siswa bisa dipertemukan dengan kepala sekolah atau konselor agar mendapat peringatan atau bahkan hukuman. Namun demikian, tidak semua anak memiliki orang yang dapat memberikan perhatian dan memberi dukungan, seperti keluarga miskin. Seorang mentor yang diusahakan sekolah dapat memberikan dukungan yang dibutuhkan untuk mengurangi perilaku bermasalah.