Awan bercahaya terbentuk di ketinggian 80-85 kilometer di atmosfer.
Cahaya awan itu sebenarnya merupakan cahaya matahari yang dipantulkan.
Letak awan yang tinggi membuatnya mampu memantulkan cahaya meski
matahari sendiri telah tenggelam.
Biasanya, fenomena yang juga disebut awan polar mesosferik ini terjadi
ketika suhu menurun hingga -130 derajat celsius. Kebanyakan, fenomena
terjadi di belahan utara dan selatan bumi, wilayah di atas 50 derajat
lintang.
Mathhews DeLand dari Goddard Space Flight Center NASA mengatakan pada
Space.com, minggu lalu, fenomena itu awalnya jarang terjadi. Selama 11
tahun terakhir mempelajari, DeLand hanya menemukannya sekali.
Namun, DeLand mengatakan, kini fenomena tersebut semakin sering dijumpai
dan cahayanya menjadi lebih terang. Ia menduga, peningkatan ini
berkaitan dengan perubahan temperatur dan kelembaban di mesosfer.
Penurunan temperatur menyebabkan lebih banyak es atau awan terbentuk.
Adapun kelembaban yang lebih tinggi memicu terbentuknya partikel es yang
lebih besar, yang mampu merefleksikan lebih banyak cahaya.
Dengan meningkatkan jumlah fenomena awan bersinar, mungkin temperatur
mesosfer semakin rendah. DeLand menuturkan, peningkatan jumlah gas rumah
kaca bisa menjadi sebab turunnya temperatur itu.
Karbon dioksida—salah satu gas rumah kaca yang meradiasikan panas ke
angkasa—menyebabkan pendinginan. Metana membuat kelembaban meningkat
sebab cahaya matahari akan mengubah metana menjadi air.
Sejauh ini, peneliti belum yakin faktor yang paling berpengaruh, apakah
kelembaban atau temperatur. Namun, DeLand memastikan, hal tersebut akan
menjadi fokus pada penelitian selanjutnya.
Tercatat, fenomena ini terakhir terjadi di Billund, Denmark, pada 15
Juli 2010 lalu. DeLand telah mempelajari awan ini dari data instrumen
dari data dan satelit sejak 1978.