Sikap PPIA tersebut dijelaskan dalam lima analisa dan rekomendasi khusus hasil perjalanan 16 anggota komisi VIII ke Australia dalam rangka menggodok RUU tentang Fakir Miskin, melalui situs resmi mereka www.ppi-australia.org pada Selasa (3/5/2011).
Pertama, RUU penanggulangan fakir miskin (PFM) tidak
diperlukan karena telah ada UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
tahun 2004 dan UU Kesejahteraan Nasional (2009).
“DPR harusnya memastikan implementasi UU SJSN dan UU Kesejahteraan
Sosial sebelum membuat sebuah draf baru yang berusaha mengelola isu
kebijakan sosial untuk fakir miskin,” tulis PPIA.
Kedua, pemilihan Australia sebagai tempat studi
banding adalah tidak relevan. Seharusnya, untuk belajar penanggulangan
kemiskinan, anggota DPR lebih baik belajar di negara-negara yang
memiliki kedekatan sejarah, sosial dan budaya dengan Indonesia seperti
Jepang, Korea Selatan, Taiwan, China dan India.
“Dalam hal ini, kami menyayangkan kepergian Tim Panja ke Australia,”
dalam rilis yang ditandatangani Ketua Umum PPIA, Mochamad Subhan Zein.
Ketiga, jumlah rombongan yang banyak dinilai
mubazir, sehingga melakukan pemborosan anggaran. Secara matematis,
anggaran Rp. 811 juta yang dialokasikan kepada 16 anggota Komisi VIII
DPR RI dalam waktu 6 hari merupakan sebuah jumlah yang patut
dipertanyakan. PPIA menyarankan penyesuaikan jumlah delegasi yang
diberangkatkan dalam kunjungan kerja sesuai dengan kebutuhan. Cara ini
mendukung efisiensi kunjungan kerja karena mereka yang diberangkatkan
adalah mereka yang betul-betul memahami persoalan RUU yang diajukan.
Keempat, perolehan informasi yang seharusnya bisa di
dapat di Indonesia. Tim PPIA menyarankan sebaiknya kalau hanya dialog
seperti itu, ada baiknya pemateri saja yang diundang ke Indonesia, hal
tersebut lebih menghembat biaya pengeluaran uang Negara. Selain itu
dialog seperti itu saja bisa dilakukan via internet, dengan
teleconference, sehingga lebih hemat biaya.
Kelima, kendala bahasa. Banyak anggota DPR yang tidak pandai berbahasa Inggris.
Karena itu PPIA menyarankan adanya pembatasan izin kunjungan kerja
anggota DPR bagi mereka yang tidak memiliki kecakapan berbahasa asing
yang mencukupi untuk menerima dan menyampaikan informasi secara dua arah
dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan oleh:
a. Ijasah pendidikan tinggi di negara yang yang menjadi tujuan
kunjungan kerja, atau di negera yang berbahasa yang sama dengan negara
yang dituju, dan atau;
b. Kepemilikan sertifikasi kecakapan berbahasa, misalnya IELTS
(International English Language Testing System) atau TOEFL (Test of
English as a Foreign Language), HSK (Hanyu Shuiping Kaoshi), TFI (Test
de Francais International), DELE (Diplomas de Espanol como Lengua
Extranjera), dan ALPT (Arabic Language Proficiency Test).
“Metode ceramah yang dilakukan seharusnya bisa dilakukan di
Indonesia. Dan materi-materi yang dipaparkan pun bisa didapatkan melalui
situs di internet,” kata PPIA.
Atas hal tersebut, PPIA menyampaikan beberapa rekomendasinya untuk
kebaikan bangsa Indonesia ke depan. Di antaranya adalah rombongan yang
berangkat haruslah memiliki kualifikasi yang baik dalam hal bahasa.
Anggota yang tidak mempunyai kualitas, harus dilarang ikut bepergian ke
luar negeri. Kemudian, DPR RI seharusnya mengoptimalkan sumber informasi
dari internet di mana mereka telah memiliki situs tersendiri.
Sementara itu, untuk mengkonfirmasi rilis PPIA, Abdul Kadir Karding,
Ketua Komisi VIII yang memimpin rombongan belum bisa dihubungi melalui
teleponnya.