Menurut Presiden Turki Abdullah Gul, gelombang kerusuhan yang melanda dunia Arab mengubah Timur Tengah dengan cara yang serupa dengan revolusi tahun 1848 dan 1989 mengubah Eropa. Oleh karena itu, Israel harus beradaptasi dengan iklim politik yang baru di kawasan tersebut agar tidak dikelilingi oleh tetangga yang keras.
“Cepat atau lambat, Timur Tengah akan menjadi demokratis,” tulis Abdullah Gul dalam kolom opini New York Times edisi Rabu (4/5/2011).
Masyarakat menggelar unjuk rasa menentang pemerintahan di Bahrain,
Yaman, Arab Saudi, Oman, dan Yordania, tergerak oleh keberhasilan
revolusi di Tunisia dan Mesir.
“Rakyat di kawasan itu, tanpa terkecuali, berunjuk rasa tidak hanya
atas nama nilai-nilai universal, namun juga untuk mendapatkan kembali
harga diri dan martabat nasional mereka yang telah lama tertahan. Dalam
50 tahun ke depan, masyarakat Arab akan menjadi kaum mayoritas di antara
Laut Mediterania dan Laut Mati. Generasi baru Arab jauh lebih sadar
akan demokrasi, kemerdekaan, dan martabat bangsa,” Tulis Gul.
“Demokrasi yang muncul nantinya tidak akan bersifat pro-Israel.
Berdasar definisinya, sebuah pemerintahan demokratis harus merefleksikan
keinginan sejati dari rakyatnya. Pemerintahan semacam itu tidak boleh
menganut kebijakan luar negeri yang dianggap masyarakat tidak adil,
tidak pantas, dan memalukan. Dalam konteks semacam itu, Israel akan
dianggap sebagai pulau apartheid yang dikelilingi oleh lautan kemarahan Arab,” tambah Gul.
Gul menambahkan, rezim-rezim Arab yang muncul setelah unjuk rasa
populer akan harus mendengarkan kata-kata rakyat terkait konflik Israel
dan Palestina, bertentangan dengan kaum elite lama yang mengabaikan
keluhan rakyat mengenai penderitaan rakyat Palestina.
Banyak pemimpin Israel yang menyadari tantangan ini dan oleh karena
itu yakin bahwa menciptakan negara Palestina yang merdeka memang penting
sekali. Negara Palestina yang berdiri sendiri dan dihargai yang hidup
berdampingan dengan Israel tidak akan mereduksi keamanan Israel, namun
malah memperkuatnya. Penderitaan Palestina menjadi akar penyebab
banyaknya kerusuhan dan konflik di kawasan itu dan dipergunakan sebagai
dalih bagi ekstremisme di sudut-sudut dunia yang lain,” tulis Gul.
Tel Aviv dikecam karena menerapkan sistem apartheid yang
mendukung Yahudi namun tidak memberikan kebutuhan dasar kepada rakyat
Palestina. Untuk menghindari akibat yang mengerikan, Israel, menurut
Gul, harus mempertimbangkan secara serius proposal yang diajukan Liga
Arab pada 2002. Yakni agar Israel menarik diri hingga perbatasan tahun
1967.
Di tahun itu pula, pasukan Israel merampas Jalur Gaza, Tepi Barat dan
ibu kota negara Palestina merdeka nantinya, Yerusalem Timur. Tel Aviv
kemudian mencaplok Yerusalem Timur dan Tepi Barat namun dunia
internasional menolak mengakui kawasan yang dicaplok.
Pasukan Israel mundur dari Gaza pada 2005, namun militer Israel sejak
saat itu kerap menggempur Jalur Gaza dengan serangan brutal yang
berdarah.
Namun demikian, belum ada satupun Negara-negara di timur tengah
ataupun Negara muslim yang benar-benar berani mengambil tindakan militer
terhadap Israel, usaha yang mereka laukan selama ini “sebatas”
mengecam. Kecaman yang benar-benar tidak pernah dipedulikan oleh Israel.