
Banyak pihak yang akhir-akhir ini meragukan efektifikasi program sertifikasi guru dapat meningkatkan professionalisme pahlawan tanpa tanda jasa tersebut. Beberapa di antaranya bahkan telah melakukan penelitian untuk membuktikan bahwa program sertifikasi guru ternyata tidak berkorelasi dengan peningkatan kualitas guru. Di beberapa kasus bahkan memperlihatkan adanya penurunan kinerja guru yang telah disertifikasi.
Menyadari hal tersebut, bermunculanlah berbagai wacana dalam menanggapi kelanjutan program yang baru berjalan 4 tahun ini. Salah satu wacana yang mulai disuarakan dan termasuk ekstrem adalah penghentian program yang telah membuat guru mulai “tersenyum” itu. Penghentian program sertifikasi guru merupakan wacana yang sangat mengada-ada, apalagi jika dihubungkan dengan program remunerasi di Kementerian Keuangan. Kasus Gayus dan beberapa pejabat di Dirjen Pajak Kemenkeu sudah jelas mencoreng dan menistakan program remunerasi kementerian tersebut. Miliaran rupiah “dirampok” oleh satu orang saja “yang ketahuan” di Kemenkeu. Jika dibandingkan dengan program sertifikasi, maka dana miliaran dapat diperuntukkan untuk guru, ribuan jumlahnya.
Persoalan remunerasi di Kemkeu dan persoalan sertifikasi guru dapat disamakan bahwa hanya terjadi pada kasus-kasus tertentu, tetapi perlu dinilai secara bijak bahwa kerugian Negara dan rakyat pada kasus yang terjadi di bawah Kemkeu sungguh tak tertandingi jika disandingkan dengan kasus pada persoalan sertifikasi guru. Perlu diingat bahwa program remunerasi bisa mencapai berkali-kali lipat dari gaji awal di Kemkeu, sedangkan sertifikasi guru hanya satu kali lipat dari gaji pokok awal, itupun masih dipotong pajak dan penyalurannya tertunda-tunda. Program remunerasi pada hakekatnya hanya bertujuan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang (korupsi), sehingga tak ada tuntutan terlebih dahulu dalam peningkatan kinerja termasuk peningkatan moral manusianya. Lain dengan program sertifikasi, guru harus terlebih dahulu memperlihatkan keunggulan-keunggulan yang dimilikinya dengan data tertulis dan melalui uji materi pada asesor-asesor di perguruan tinggi yang ditunjuk. Hal ini menunjukkan bahwa program sertifikasi guru jelas lebih elegan dibanding program remunerasi.
Program sertifikasi guru sama sekali tak patut dicap telah gagal dari tujuannya. Kasus satu dua yang terjadi bukanlah indikasi kegagalan program ini, juga tak dapat diuniversalkan secara keseluruhan. Perbandingan dengan remunerasi di Kemkeu wajar diungkap untuk “menerangbenderangkan” keganjilan wacana penghentian program sertifikasi guru. Guru, sebelum adanya program sertifikasi telah terbiasa hidup kekurangan, sekarang ini sebagian di antara mereka telah dapat merasakan kelegaan hidup wajar dan belum dapat dikatakan hidup berkecukupan. Masih lebih setengah dari jumlah guru di republik ini belum merasakan “manisnya” sertifikasi tersebut. Penambahan penghasilan satu kali lipat lebih banyak dan dipotong pajak serta penyalurannya tertunda-tunda itu, jelas belum dapat dikatakan guru telah hidup berkecukupan apalagi berkelebihan seperti “Si Gayus”. Program sertifikasi merupakan anugrah bagi guru yang selama ini hidup susah, dan tak ada jalan bagi mereka untuk menumpuk harta yang haram seperti “Si Tambunan”.
Rezeki guru adalah sertifikasi tersebut, sedangkan rezeki Kemkeu adalah remunerasi. Meski dari segi jumlah jauh berbeda, tetapi tentu akan adil jika tersandung masalah seperti saat ini, penghentian remunerasi lebih diutamakan dibanding sertifikasi guru. Kesejahteraan yang dirasakan sebagian guru saat ini merupakan berkah dari kerja keras mereka selama berpuluh-puluh tahun. Program sertifikasi merupakan kelumrahan yang memang semestinya diberikan pemerintah menghargai jasa guru serta mendorong peningkatan kinerjanya.
Adanya persoalan satu dua guru yang kurang mengerti hakekat program sertifikasi guru tentu harus pula dicermati. Walau bagaimanapun, guru harus mengabdikan dirinya untuk kepentingan pendidikan anak bangsa, sehingga kinerja mereka harus selalu optimal apalagi dengan adanya penambahan penghasilan ini. Dengan jumlah guru yang hamper dua juta orang di seluruh penjuru tanah air, maka hampir-hampir kekurangbermanfaatan program sertifikasi yang dilakukan guru, tidak terpersentasekan. Jika kejujuran didahulukan, maka peningkatan kinerja dan perasaan bangga sebagai gurulah yang menyeruak selama sertifikasi ini disalurkan. Apalagi jika kita merenungi miliaran uang rakyat yang dikorup, bahkan setelah program remunerasi diterapkan. Renungkanlah… SEKIAN.