Bila saldo rekening tiba-tiba membengkak tidak wajar, tidak ada salahnya berfikir mendapat durian runtuh. Tetapi, bagi akademisi yang mengkhususkan diri dibidang pencucian uang, fenomena itu menjadi pertanda 'money laundring' atau pencucian uang. Sayangnya, pengusutan money laudring sulit dilakukan tanpa pembuktian terbalik.
"Itu bisa dilihat dari indikasinya, ada rekeningnya. Misalkan saya bekerja di Trisakti, tidak mungkin ada transaksi 1 miliar. Karena di swasta, gaji saya hanya sekitar Rp 8 juta," kata ahli hukum pidana Universitas Trisakri, Yenti Garnasih, saat bersaksi untuk Bahasyim Assifiie di PN Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Senin (6/12/2010).
Pencucian uang merupakan modus modern untuk membuat uang ilegal menjadi terlihat wajar. Caranya dengan menstransfer uang itu ke rekening seseorang, lalu ditransfer lagi hingga ke beberapa tangan. Atau dengan cara membeli properti, emas, saham atau asuransi. Kemudian hasilnya ditransfer lagi ke rekening si pelaku aktif atau pelaku pasif (penadah).
"Uang kejahatan pencucian uang bisa berasal dari korupsi, penyuapan, asuransi, psikotropika, perdagangan senjata gelap, penggelapan, pemalsuan, prositusi, perpajakan, kehutanan, kelautan," imbuhnya
Untuk menjerat pelaku pencucian uang, UU No 25/2003 tentang Anti Pencucian Uang membolehkan asas pembuktian terbalik. Artinya, polisi atau jaksa tidak perlu lelah membuktikan. Justru si tersangka atau terdakwa yang harus membuktikan asal-usul uangnya dan didukung dengan bukti kuat. Kalau tidak bisa membuktikan, si pelaku terbukti melanggar hukum.
"Sayangnya sampai sekarang belum ada hakim yang memerintahkan pembuktian terbalik. Syaratnya, ada indikasi kejahatan awal sebelum uang kejahatan itu dicuci," tukas Yenti.
Selain menyayangkan sikap hakim, ia juga menyayangkan pemerintah yang tidak ada kemauan politik membongkar kejahatan pencucian uang. Padahal, kalau berkehendak, pemerintah dapat mengejar aset dan uang koruptor yang dibawa lari ke luar negeri seperti ke Singapura.
"Tinggal membuat surat permohonan ke pemeritah Singapura atau mana, tolong donk itu dibawa pulang. Ada ketetapan pengadilan. Political will belum ada," tukasnya.
Fenomena membiarkan uang rakyat lari ke luar negeri, menurutnya telah berlangsung lama. Sejak 1997, dia menilai tidak ada itikad baik untuk mengejar para koruptor. Keprihatinan itu yang mendorong Yenti mengambil gelar doktor dibidang pencucian uang. Gelar pertamakali di Indonesia itu ia peroleh setelah melakukan riset di Washington University.
"Kita diblack list oleh negara asing. Nggak ada investor jarang masuk. Kan sebagai warga negara boleh donk prihatin," tukas dia.
Dalam catatan detikcom,di PN Jakarta Selatan, Jodi Haryanto seorang terdakwa pasal pencucian uang Rp 32 miliar sempat lolos beberapa waktu lalu. Ketua majelis hakim, Haswandi hanya menghukum mantan wakil bendahara umum Partai Demokrat itu dengan penjara 1 tahun karena pasal pemalsuan surat. Sementara pasal pencucian uang dinyatakan tidak terbukti.
Pakar Hukum Sesalkan Pengadilan yang Belum Memanfaatkan Pembuktian Terbalik
Written By Juhernaidi on Selasa, 07 Desember 2010 | 1:00:00 AM
Label:
Nasional