Watak tak-berdosa dari musik dan tarian yang
diperlakukan sekadar sebagai hiburan, juga dibenarkan oleh hadits shahih
yang kita terima dari Siti Aisyah yang meriwayatkan:
Pada suatu
hari raya, beberapa orang Habsyi menari di masjid. Nabi berkata
kepadaku, "Inginkah engkau melihatnya?" Aku jawab, "Ya." Lantas aku
diangkatnya dengan tangannya sendiri yang dirahmati, dan aku menikmati
pertunjukan itu sedemikian lama, sehingga lebih dari sekali beliau
berkata, "Belum cukupkah?"
Hadits lain dari Siti Aisyah... "Pada
suatu hari raya, dua orang gadis datang ke rumahku dan mulai bernyanyi
dan menari. Nabi masuk dan berbaring di sofa sambil memalingkan mukanya.
Tiba-tiba Abu Bakar masuk dan melihat gadis-gadis itu bermain, dia
berseru, "Hah! Seruling setan di rumah Nabi!" Nabi menoleh karenanya dan
berkata, "Biarkan mereka, Abu Bakar. Hari ini adalah hari raya."
Terlepas
dari kasus-kasus yang melibatkan musik dan tarian yang membangunkan
nafsu-nafsu setan yang telah tidur di dalam hati, kita dapati adanya
kasus-kasus yang menunjukkan mereka sama sekali halal. Misalnya nyanyian
orang-orang yang sedang menjalankan ibadah haji yang merayakan
keagungan Baitullah di Makkah, yang dengan demikian mendorong orang lain
untuk pergi haji, dan musik yang membangkitkan semangat perang di dada
para pendengarnya dan memberikan mereka semangat untuk memerangi
orang-orang kafir.
Demikian pula, musik-musik sendu yang
membangkitkan kesedihan karena telah berbuat dosa dan kegagalan dalam
kehidupan keagamaan juga diperbolehkan: misalnya musik Nabi Daud,
nyanyian penguburan yang menambah kesedihan karena kematian tidak
diperbolehkan, karena tertulis dalam Alquran, "Jangan bersedih atas apa yang hilang darimu."
Di pihak lain, musik-musik gembira di pesta-pesta, seperti perkawinan
dan khitanan atau kembali dari perjalanan, hukumnya halal.
Sekarang
kita sampai pada penggunaan musik dan tarian yang sepenuhnya bersifat
keagamaan. Para sufi memanfaatkan musik untuk membangkitkan cinta yang
lebih besar kepada Allah dalam diri mereka, dan dengannya mereka
seringkali mendapatkan penglihatan dan kegairanan ruhani.
Dalam
keadaan ini hati mereka menjadi sebersih perak yang dibakar dalam
tungku, dan mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa
dicapai oleh sekadar hidup prihatin, walau seberat apapun. Para sufi itu
kemudian menjadi sedemikian sadar akan hubungannya dengan dunia rohani,
sehingga mereka kehilangan segenap perhatiannya akan dunia ini dan
kerapkali kehilangan kesadaran inderawinya.