Resmikan Jilbab, Sarkozy Tumbuhkan Harapan Baru

Written By Juhernaidi on Senin, 13 Juni 2011 | 12:41:00 PM

Menteri Luar Negeri Iran, Manouchehr Mottaki memuji Presiden Perancis Nicholas Sarkozy atas pidatonya mengenai kebebasan berjilbab (Berita SuaraMedia)
TEHRAN  - Menteri Luar Negeri Iran, Manouchehr Mottaki memuji Presiden Perancis Nicholas Sarkozy atas pidatonya mengenai kebebasan berjilbab dan kode pakaian bagi Muslim perempuan di Perancis.
"Pendekatan tersebut, yang berdasarkan sikap saling pengertian dengan dunia Islam dan masyarakat Muslim, akan memiliki pengaruh yang positif pada opini publik," ujar Mottaki kepada IRNA, Senin.

"Keputusan itu juga akan meningkatkan harapan untuk kelanjutan dari pembicaraan konstruktif dengan Republik Islam," tambahnya.

Berbicara kepada IRNA, ia menambahkan bahwa praktik hukum diskriminatif terhadap umat Islam di tempat umum di beberapa negara Eropa termasuk Perancis selalu menjadi salah satu isu kekhawatiran di kalangan dunia Islam, khususnya mereka yang tinggal di Eropa.

Mottaki memberikan komentarnya tersebut atas pidato Nicolas Sarkozy yang dibuat selama konferensi pers bersama Presiden AS Barack Obama di Perancis pada hari Sabtu.

"Saya setuju dengan apa yang dikatakan Presiden Obama, termasuk pada jilbab dan kerudung," ujar Sarkozy.

"Tapi saya hanya mengatakan dua hal. Di Perancis, setiap gadis muda, setiap gadis yang ingin memakai kerudung atau jilbab maka dia dapat melakukannya, dia bebas memilih untuk melakukannya."

"Kami hanya menetapkan dua batas karena kita adalah negara sekuler, yaitu bahwa PNS yang yang bertugas harus benar-benar tidak menunjukkan tanda kepercayaan agama mereka, apapun itu, baik Yahudi, Ortodoks, Islam, Protestan, Katolik, sebutkan saja. Itu yang kami sebut dengan pemerintahan adil dan sekuler, "tambahnya.

"Dengan kata lain, ketika sedang bertugas di tempat kerja sebenarnya di mana mereka bekerja, harus tidak terlihat tanda apapun dari agama mereka. Kedua, kenyataan bahwa gadis muda dapat memilih untuk memakai jilbab tidaklah menjadi masalah karena sepanjang mereka benar-benar telah memilih untuk melakukannya, dan tidak dipaksakan kepada mereka, baik oleh keluarga mereka atau lingkungan mereka.

"Dalam sebuah negara seperti Perancis, di mana setiap orang dapat hidup sesuai dengan kepercayaan mereka, kami menghargai individu, kami menghormati wanita, kami menghormati keluarga. Saya juga telah melakukan banyak hal saat menjadi sekretaris Menteri dalam negeri, untuk memastikan bahwa masyarakat Muslim di Prancis dapat melakukan praktek agama dan kepercayaan mereka seperti yang lain, agama atau kepercayaan lain di Perancis." Presiden Perancis tersebut menyimpulkan.

Kontroversi mengenai jilbab Islam dipicu pada bulan Oktober, 1989, ketika tiga orang perempuan diskors ketika menolak membuka jilbab mereka di dalam kelas Gabriel Havez Middle School di Creil, Perancis. Pada bulan November, 1989, Conseil d'Etat memerintahkan bahwa kerudung merupakan ekspresi keagamaan yang tidak kompatibel dengan laïcité (paham sekuler) dari sekolah umum. Pada Desember, menteri pendidikan Lionel Jospin mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa pendidik mempunyai tanggung jawab menerima atau menolak pemakaian jilbab dalam kelas atas dasar kasus per kasus.

Pada bulan Januari, 1990, tiga gadis dihentikan dari Pasteur Middle School di Noyon, sebuah daerah pinggiran di utara kota Paris. Orang tua dari salah satu anak gadis yang sebelumnya dihentikan sementara dari Gabriel Havez melayangkan tuntutan kepada kepala sekolah. Setelah acara ini, para guru di sekolah menengah yang diselenggarakan di Nantua melakukan protes terhadap pemakaian jilbab di sekolah karena dianggap melanggar prinsip sekularisme.
Dari tahun 1994 hingga 2003, sekitar 100 siswa perempuan telah diskors atau diusir dari sekolah menengah dan tinggi karena memakai jilbab di dalam kelas. Dalam hampir setengah dari kasus-kasus ini, pemberhentian mereka dibatalkan oleh pengadilan Perancis.

Simulasi Jangka Sorong