
TEHRAN - Menteri Luar Negeri Iran, Manouchehr Mottaki memuji Presiden Perancis Nicholas Sarkozy atas pidatonya mengenai kebebasan berjilbab dan kode pakaian bagi Muslim perempuan di Perancis.
"Pendekatan tersebut, yang berdasarkan sikap saling
pengertian dengan dunia Islam dan masyarakat Muslim, akan memiliki
pengaruh yang positif pada opini publik," ujar Mottaki kepada IRNA,
Senin.
"Keputusan itu juga akan meningkatkan harapan untuk kelanjutan dari pembicaraan konstruktif dengan Republik Islam," tambahnya.
"Keputusan itu juga akan meningkatkan harapan untuk kelanjutan dari pembicaraan konstruktif dengan Republik Islam," tambahnya.
Berbicara kepada IRNA, ia menambahkan bahwa praktik
hukum diskriminatif terhadap umat Islam di tempat umum di beberapa
negara Eropa termasuk Perancis selalu menjadi salah satu isu
kekhawatiran di kalangan dunia Islam, khususnya mereka yang tinggal di
Eropa.
Mottaki memberikan komentarnya tersebut atas pidato
Nicolas Sarkozy yang dibuat selama konferensi pers bersama Presiden AS
Barack Obama di Perancis pada hari Sabtu.
"Saya setuju dengan apa yang dikatakan Presiden Obama, termasuk pada jilbab dan kerudung," ujar Sarkozy.
"Tapi saya hanya mengatakan dua hal. Di Perancis, setiap gadis muda, setiap gadis yang ingin memakai kerudung atau jilbab maka dia dapat melakukannya, dia bebas memilih untuk melakukannya."
"Kami hanya menetapkan dua batas karena kita adalah negara sekuler, yaitu bahwa PNS yang yang bertugas harus benar-benar tidak menunjukkan tanda kepercayaan agama mereka, apapun itu, baik Yahudi, Ortodoks, Islam, Protestan, Katolik, sebutkan saja. Itu yang kami sebut dengan pemerintahan adil dan sekuler, "tambahnya.
"Dengan kata lain, ketika sedang bertugas di tempat kerja sebenarnya di mana mereka bekerja, harus tidak terlihat tanda apapun dari agama mereka. Kedua, kenyataan bahwa gadis muda dapat memilih untuk memakai jilbab tidaklah menjadi masalah karena sepanjang mereka benar-benar telah memilih untuk melakukannya, dan tidak dipaksakan kepada mereka, baik oleh keluarga mereka atau lingkungan mereka.
"Tapi saya hanya mengatakan dua hal. Di Perancis, setiap gadis muda, setiap gadis yang ingin memakai kerudung atau jilbab maka dia dapat melakukannya, dia bebas memilih untuk melakukannya."
"Kami hanya menetapkan dua batas karena kita adalah negara sekuler, yaitu bahwa PNS yang yang bertugas harus benar-benar tidak menunjukkan tanda kepercayaan agama mereka, apapun itu, baik Yahudi, Ortodoks, Islam, Protestan, Katolik, sebutkan saja. Itu yang kami sebut dengan pemerintahan adil dan sekuler, "tambahnya.
"Dengan kata lain, ketika sedang bertugas di tempat kerja sebenarnya di mana mereka bekerja, harus tidak terlihat tanda apapun dari agama mereka. Kedua, kenyataan bahwa gadis muda dapat memilih untuk memakai jilbab tidaklah menjadi masalah karena sepanjang mereka benar-benar telah memilih untuk melakukannya, dan tidak dipaksakan kepada mereka, baik oleh keluarga mereka atau lingkungan mereka.
"Dalam sebuah negara seperti Perancis, di mana
setiap orang dapat hidup sesuai dengan kepercayaan mereka, kami
menghargai individu, kami menghormati wanita, kami menghormati keluarga.
Saya juga telah melakukan banyak hal saat menjadi sekretaris Menteri
dalam negeri, untuk memastikan bahwa masyarakat Muslim di Prancis dapat
melakukan praktek agama dan kepercayaan mereka seperti yang lain, agama
atau kepercayaan lain di Perancis." Presiden Perancis tersebut
menyimpulkan.
Kontroversi mengenai jilbab Islam dipicu pada bulan
Oktober, 1989, ketika tiga orang perempuan diskors ketika menolak
membuka jilbab mereka di dalam kelas Gabriel Havez Middle School di
Creil, Perancis. Pada bulan November, 1989, Conseil d'Etat memerintahkan
bahwa kerudung merupakan ekspresi keagamaan yang tidak kompatibel
dengan laïcité (paham sekuler) dari sekolah umum. Pada Desember, menteri
pendidikan Lionel Jospin mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa
pendidik mempunyai tanggung jawab menerima atau menolak pemakaian jilbab
dalam kelas atas dasar kasus per kasus.
Pada bulan Januari, 1990, tiga gadis dihentikan dari Pasteur Middle School di Noyon, sebuah daerah pinggiran di utara kota Paris. Orang tua dari salah satu anak gadis yang sebelumnya dihentikan sementara dari Gabriel Havez melayangkan tuntutan kepada kepala sekolah. Setelah acara ini, para guru di sekolah menengah yang diselenggarakan di Nantua melakukan protes terhadap pemakaian jilbab di sekolah karena dianggap melanggar prinsip sekularisme.
Dari tahun 1994 hingga 2003, sekitar 100 siswa
perempuan telah diskors atau diusir dari sekolah menengah dan tinggi
karena memakai jilbab di dalam kelas. Dalam hampir setengah dari
kasus-kasus ini, pemberhentian mereka dibatalkan oleh pengadilan
Perancis.
Pada bulan Januari, 1990, tiga gadis dihentikan dari Pasteur Middle School di Noyon, sebuah daerah pinggiran di utara kota Paris. Orang tua dari salah satu anak gadis yang sebelumnya dihentikan sementara dari Gabriel Havez melayangkan tuntutan kepada kepala sekolah. Setelah acara ini, para guru di sekolah menengah yang diselenggarakan di Nantua melakukan protes terhadap pemakaian jilbab di sekolah karena dianggap melanggar prinsip sekularisme.